Jakarta, CSW –
Jakarta, CSW – Mumpung DPR sedang diwajibkan untuk meninjau kembali UU Cipta Kerja,
kami di CSW meminta agar DPR meninjau kembali pasal-pasal tentang UU Jaminan Produk Halal. Terutama pasal-pasal tentang posisi Majelis Ulama Indonesia.
Perlu dipertimbangkan kembali apakah nama MUI perlu ada dalam UU itu. Atau kalaupun masih ada, apakah perlu posisi MUI sekuat seperti yang ditetapkan di situ.
Ini bukan karena kami anti-MUI. Tapi MUI seharusnya menjadi lembaga berkumpulnya para ulama untuk membicarakan masalah kemaslahatan umat.
MUI seharusnya tidak menjadi perusahaan berskala raksasa. MUI mengelola bisnis ratusan triliun rupiah yang diperoleh dari sertifikasi halal. Angkanya tidak diketahui persis.
MUI tidak pernah terbuka tentang data sertifikat halal ini. Tapi kita coba untuk menghitungnya.
Kami memperoleh informasi tentang sebuah surat yang dikirim MUI ke DPR. Ini terjadi di saat DPR sedang menggodok UU Cipta Kerja. MUI meminta DPR menyerahkan utusan sertifikat halal kepada MUI saja, dan bukan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Dalam surat itu, MUI menyatakan bahwa mereka sangat berpengalaman dalam menangani sertifikasi produk halal.
Mereka menyatakan setiap tahunnya, MUI memberi sertifikat halal kepada 150 juta produk di Indonesia, per tahun.
Itu angka yang luar biasa.
Kalau saja untuk setiap sertifikat halal, MUI menetapkan tarif Rp1 juta, maka uang yang diterima MUI adalah satu juta rupiah dikali 150 juta. Alias Rp150 triliun rupiah, per tahun.
Saya kurang percaya bahwa MUI bisa memberi sertifikat pada 150 juta produk. Realistis saja, ada berapa besar sih tim yang dimiliki MUI di seluruh Indonesia untuk bisa bekerja seberat itu?
Tapi itulah yang termuat dalam surat MUI sendiri.
Dan kalaulah angka sebenarnya hanyalah sepersepuluhnya, maka uang yang mengalir masuk ke MUI mencapai Rp15 triliun rupiah. Tentu saja angka yang tetap luar biasa.
Apalagi kalau kita tahu bahwa biaya pengurusan sertifikat halal bisa jauh melampaui satu juta rupiah. Karena itulah bisa dikatakan bahwa MUI sebenarnya adalah bisnis raksasa.
Anda mungkin akan bertanya, kok bisa?
MUI ini kan majelis kumpulan para ulama. Mereka adalah semacam lembaga swadaya masyarakat. Bukan pemerintah, bukan lembaga negara, dan bukan perusahaan.
Lalu, bagaimana ceritanya sehingga MUI bisa sekaya ini?
Kisahnya harus sama-sama kita pelajari. Sertifikasi halal memang pertama kali dikembangkan MUI pada tahun 1990-an. Saat itu tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk memperoleh sertifikat halal.
Kebutuhan akan sertifikat halal meningkat di era 2000an ketika semangat syariah dan hijrah menguat. MUI yang menetapkan sendiri proses dan harga sertifikat halal. Semua suka-suka mereka.
Kantor cabang MUI ada di semua kabupaten di Indonesia. Di setiap cabang ada jasa sertifikat halal. Merekalah yang melayani kebutuhan pengusaha yang ingin memperoleh label halal.
Ketika itu memperoleh sertifikat halal adalah pilihan. Boleh iya, boleh tidak.
Namun di zaman Presiden SBY berkuasa, terdapat desakan agar sertifikasi halal ini menjadi wajib.
Perjuangan kelompok-kelompok ini pun berhasil. Hanya beberapa hari sebelum Presiden SBY turun dari kursi kepresidenannya, UU Jaminan Produk Halal disahkan.
UU ini menyatakan bahwa dalam lima tahun, UU ini harus dijalankan. Karena itulah, keramaian soal kewajiban sertifikasi halal ini baru terasa pada 2019.
Jadi, dengan adanya UU ini, sertifikat halal yang semula pilihan sekarang menjadi wajib.
Posisi MUI, di satu sisi, nampak seperti dilemahkan oleh UU. Dalam UU ini, yang punya otoritas dalam sertifikat halal adalah BPJPH.
Ini adalah sebuah lembaga pemerintah. Tapi dalam proses pemberian sertifikat halal ini, MUI tetap memegang posisi kunci sebagai pemberi fatwa.
Jadi ada empat tahapan dalam proses perolehan sertifikat halal. Di tahap pertama, pengusaha memohon izin, secara online. Di tahap kedua, dilakukan audit kehalalan produk oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). LPH akan memeriksa kandungan produk dan proses pembuatan produk.
Setelah LPH memutuskan bahwa produk tersebut masuk dalam kategori halal, produk tersebut harus diajukan ke MUI.
MUI yang akan mengeluarkan fatwa halal. Setelah itu, MUI mengirimkannya kembali ke BPJPH.
BPJPH hanya bisa mengeluarkan sertifikat halal kalau ada fatwa tertulis dari MUI. BPJPH kemudian akan mengeluarkan sertifikat halal, secara online, atau gratis.
Jadi peran pemerintah hanya ada di dua tahapan, awal dan akhir. MUI tetap punya otoritas yang sangat kuat.
Pertama, MUI memegang monopoli hak untuk mengeluarkan fatwa. Dengan itu, setiap pemohon harus bayar ke MUI.
Memang tarif itu ditentukan pemerintah batas bawah dan batas atasnya. Tapi tetap jutaan rupiah.
Kedua, MUI punya peran menentukan dalam tahap pemeriksaan kehalalan produk. Di Indonesia, saat ini hanya ada tiga Lembaga Pemeriksa Halal.
Satu adalah LPPOM milik MUI. Dua lainnya adalah lembaga milik negara: Sucofindo dan Surveyor Indonesia.
Sebenarnya UU meyatakan, lembaga-lembaga yang memiliki kapasitas penelitian seperti perguruan tinggi dapat menjadi LPH.
Tapi masalahnya untuk menjadi auditor dan mendirikan KPH, disyaratkan adanya ujian tentang kemampuan alias akreditasi.
Siapa yang mengeluarkan akreditasi dan menjalankan uji kompetensi auditor? Tak lain dan tak bukan adalah MUI.
Jadi banyak sekali calon auditor yang tidak bisa lolos ujian yang dibuat MUI.
BPJPH sepanjang 2018 dan 2019 telah mendidik 226 calon auditor halal dari berbagai LPH Perguruan Tinggi, BUMN, dan Yayasan Islam.
Tapi ternyata sampai 2021, yang lulus uji kompetensi oleh MUI kurang dari 10 orang
Kita bisa duga ada konflik kepentingan di situ. MUI tentu tidak ingin ada banyak pesaing LPPOM MUI dalam mengaudit kehalanan produk.
Dengan begitu, MUI kuat sebagai lembaga fatwa dan sekaligus sebagai LPH. Di tahap inilah biaya mengalir.
Untuk menilai proses produk halal, LPH harus mengaudit dari penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, sampai penyajian produk.
Apalagi kalau yang mengajukan permohonan datang dari luar kota, atau luar negeri.
Kami memperoleh cerita, ada anggota MUI yang minta dibiayai perjalanan ke luar negeri sekeluarga oleh pemohon sertifikat halal. Dalihnya tentu saja untuk menjalankan kewajiban mengaudit proses pembuatan produk di luar negeri.
Tapi kok yang dibiayai harus sekeluarga?
Peluang pemasukan bagi MUI juga bisa datang dari jalur lain.
MUI membuat berbagai program pelatihan. Misalnya pelatihan untuk menjadi auditor halal, pelatihan anggota LPH, atau pelatihan penyelia, yaitu orang yang di dalam perusahaan mengawasi proses produksi.
Itu semua membawa uang yang berlimpah. Karena itu, dalam pandangan kami, sudah saatnya kekuasaan MUI dipangkas.
Idealnya bahkan seharusnya nama MUI tidak perlu ada dalam UU. Atau kalaupun nama MUI masih ingin dipertahankan, seharusnya bukan hanya MUI yang ditetapkan sebagai pemberi fatwa halal.
Bukankah organisasi seperti Muhammadiyah dan NU memiliki kapasitas untuk melakukan itu.
Kami berharap DPR bersedia mendengarkan harapan ini. MUI harus dikembalikan ke perannya semula. Bukan sebagai bisnis beromzet ratusan triliun rupiah