Jakarta, CSW – Pimpinan dan masyarakat kota Cilegon, Depok, Padang, harus malu nih. Menurut penelitian SETARA INSTITUTE, kelima kota itu masuk dalam kelompok kota paling tidak toleran di Indonesia. Ini terungkap dalam rilis laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2022 yang baru saja diumumkan Setara Institute. Sebaliknya, kota yang dinilai SETARA memiliki indeks toleransi paling tinggi adalah Singkawang.
Di bawah Singkawang, ada Salatiga di tempat kedua. Lalu, yang ketiga Bekasi, keempat Surakarta, dan yang kelima Kediri. SETARA mengeluarkan IKT secara rutin sejak 2015. SETARA sendiri adalah LSM yang melakukan penelitian dan advokasi tentang demokrasi, kebebasan politik dan hak asasi manusia. Penelitian dilakukan di 94 kota di seluruh Indonesia.
Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan 4 variabel, seperti regulasi pemerintah kota, regulasi sosial, tindak pemerintah, dan demografi sosio keagamaan. SETARA melakukan penelitian rutin ini untuk memberi gambaran tentang kinerja pemerintah dalam mengelola kerukunan, toleransi, dan wawasan kebangsaan. Apa yang dilakukan SETARA ini sangat layak dipuji loh, karena tahun-tahun ini, kita memang mendengar meningkatnya praktek-praktek intoleransi yang terjadi di Indonesia.
Pelarangan pembangunan rumah ibadah, pembangunan paksa umat yang sedang beribadah, dan juga penutupan atau penyerangan rumah ibadah sudah terjadi berulangkali. Begitu juga ada pemerintah yang mewajibkan siswi sekolah negeri mengenakan pakaian seragam dengan mengikuti identitas agama tertentu. Dengan IKT ini bisa terlihat kok, seberapa jauh pemerintah dan masyarakat di daerah bisa mencegah atau justru mendukung praktek intoleransi.
DI sisi lain, IKT ini juga bisa jadi rujukan tentang daerah-daerah yang mendukung dan menjaga kerukunan, keharmonisan dan keberagaman. Tim peneliti SETARA bekerja sepanjang tahun. Untuk menilai indeks tolaransi di sebuah kota, SETARA mempelajari program pemerintah di sebuah daerah dalam menata toleransi dan kerukunan. Juga mempelajari apakah kota tersebut memiliki dan menerapkan kebijakan yang membuka ruang dialog antar umat beragama, etnis dan suku.
Selain itu diperhatikan juga ya apakah di kota itu berlangsung perayaan semua umat beragama, perayaan budaya, serta apakah masyarakat terlibat dalam perayaan itu. Nah, begitu juga dicatat apakah di kota tersebut berlangsung peristiwa-peristiwa yang diskriminatif. Sebaliknya, yang menyebabkan sebuah kota mendapat indeks toleransi rendah kalau kota itu memiliki pemimpin yang mengedepankan identitas agama tertentu.
Misalnya pemimpin itu mengeluarkan kebijakan yang melayani kaum mayoritas dan mengabaikan kaum minoritas. SETARA juga mempelajari apakah di kota-kota itu, masyarakat sipil terpolarisasi oleh identitas keagamaan, etnis dan kelompok lainnya. Singkat kata, SETARA bukan bikin survey dengan minta pendapat masyarakat atau tokoh ya.
SETARA benar-benar mempelajari peraturan dan kebijakan di sebuah daerah, berita-berita tentang toleransi dan intoleransi di wilayah itu, serta pengamatan tentang apa yang terjadi di sana. Penelitiannya itu mendalam loh. Dan ternyata dari tahun ke tahun, polanya kurang lebih memang sama. Singkawang misalnya hampir selalu berada di puncak kota yang toleran. Kota ini memang menarik. Singkawang terletak di pedalaman Provinsi Kalimantan Barat.
Singkawang menarik karena keragaman budayanya. Jumlah penduduknya 240 ribu jiwa. Mereka sangat multietnis dan multiagama. Umat Islam sekitar 53%, diikuti pemeluk Budha sekitar 34%, Kristen 13%, dan lain-lain. Tapi di kota itu, warna Tionghoa sangat terasa. Singkawang bahkan dijuluki kota Seribu Kelenteng, karena di setiap sudut kota itu dapat ditemui banyak bangunan vihara atau lebih dikenal sebagai kelenteng atau pekong.
Setiap tahun, di Singkawang juga ada perayaan Cap Go Meh, tahun baru Imlek yang ramai dan meriah sebagai salah satu ciri khas kota itu. Kondisi ini berbeda terbalik dengan Cilegon. Di kota itu ada ada 382 masjid dan 287 musholla di Cilegon. Tapi nggak ada satu pun gereja, pura, maupun vihara. Padahal jumlah warga Kristen dan Katolik di sana pada tahun 2019 mencapai 8000 orang.
Tahun lalu, Cilegon menjadi berita besar karena penolakan masyarakat secara massif terhadap pembangunan gereja HKBP Maranatha. Bahkan walikotanya turut menandatangani pernyataan penolakan pembangunan gereja itu. Bahkan ada kelompok-kelompok masyarakat yang secara terbuka bilang, di Cilegon tidak boleh ada gereja. Kondisi-kondisi itulah yang menyebabkan Singkawang dinilai sebagai kota paling toleran dan Cilegon kota yang paling tidak toleran.
Yang mengecam laporan SETARA sudah ada. Salah satunya adalah Wali Kota Depok Mohammad Idris. Dia nggak terima kotanya disebut memiliki tingkat toleransi sangat rendah. Idris menganggap metode yang digunakan SETARA nggak bisa diandalkan. SETARA sendiri menyebut Depok tidak toleran karena pemerintah menyegel masjid Ahmadiyah. Idrisnya membantah.
Menurutnya, penyegelan itu dilakukan sesuai dengan undang-undang. Menurut saya ini ya mengherankan ya. Di mana pula ada undang-undang di Indonesia yang memerintahkan penyegelan rumah ibadah? Seperti saya katakan, laporan SETARA ini nggak abal-abal. Mereka itu serius mempelajari kondisi masing-masing daerah.
Kalau ada pimpinan daerah yang tidak puas karena dinilai tidak toleran, yang sebaiknya dilakukan adalah bukan mencari-cari kesalahannya si SETARA tapi memperbaiki diri agar mereka nggak lagi dapat peringkat buncit. Yuk kita dukung SETARA. Dan selamat buat Singkawang, Salatiga, Bekasi, Surakarta, dan Kediri. Mudah-mudahan di tahun-tahun berikutnya kota-kota lain bisa mengikuti jejak lima kota terbaik ini.