Civil Society Watch Sayangkan Sikap Koalisi Masyarakat yang Menolak Penyebutan KKB sebagai Teroris

501
Foto/Ilustrasi/Satgas Nemangkawi

Jakarta, CSW – Kami dari Civil Society Watch, sebagai lembaga yang peduli dengan kehadiran dan aktivitas masyarakat sipil dalam demokrasi di Indonesia, menyayangkan dikeluarkannya pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (6 Mei 2021) menyikapi ketetapan pemerintah tentang penyebutan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sebagai Kelompok Teroris.

Kami menilai pernyataan sikap itu dapat menimbulkan pandangan negatif masyarakat terhadap upaya pemerintah saat ini untuk mengatasi aksi-aksi biadab yang dilakukan Kelompok Pemberontak Bersenjata di Papua yang terus memakan korban masyarakat sipil di daerah tersebut.

Kami juga menilai pernyataan sikap itu cenderung menyudutkan pemerintah sebagai pihak yang seolah-olah dengan sengaja berusaha menindas Hak Asasi Manusia di Papua, karena melakukan rangkaian langkah tegas dan keras untuk membasmi gerakan bersenjata yang sudah memakan korban rakyat Papua.

Apalagi pernyataan sikap ini ditandatangani LSM-LSM terkemuka dan berpengaruh yang justru diharapkan dukungan dan keterlibatannya dalam mencari cara terbaik untuk menghentikan aksi gerakan bersenjata yang biadab di Papua. Para penandatangan yang menjadi bagian dari koalisi tersebut adalah: Imparsial, ELSAM, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, LBH Jakarta, ICJR, PILNET Indonesia, Centra Initiative, HRWG, Setara Institute, WALHI, PBHI, Public Virtue, Amnesty International Indonesia, dan Kontras.

Sejumlah poin dalam pernyataan Koalisi yang kami sayangkan adalah:

  1. Koalisi menganggap kebijakan penyebutan ‘teroris’ pada kelompok kriminal bersenjata ini adalah jalan pintas yang melegitimasi kekarasan yang selama ini dilakukan.
  2. Koalisi menganggap kebijakan ini mempertegas pengabaian pendekatan keamanan manusia dalam penyelesaian konflik.
  3. Koalisi menganggap kebijakan pemerintah ini akan semakin memperpanjang daftar pelanggaran HAM di Papua yang berujung pada instabilitas kondisi keamanan.
  4. Koalisi menganggap kebijakan ini semakin menghambat upaya penyelesaian Konflik Papua secara damai.
  5. Koalisi menganggap penetapan KKB sebagai teroris bermasalah karena terminologi “teroris” sarat dengan muatan politik dan rawan disalahgunakan.
  6. Koalisi menganggap pelabelan kelompok teroris kepada KKB membuka jalan atas terbentuknya pelembagaan rasisme dan diskriminasi berkelanjutan atas warga Papua secara umum.

Dalam pandangan kami, sikap semacam ini sama sekali tidak bermanfaat untuk membantu perlindungan terhadap rakyat Papua dari kekejaman kelompok-kelompok bersenjata yang sangat layak disebut kaum teroris tersebut.

Yang diperangi pemerintah bukanlah rakyat Papua. Yang diperangi pemerintah adalah kelompok-kelompok bersenjata yang membuat rakyat Papua menderita.

Laporan Gugus Tugas Papua dari Universitas Gajah Mada berjudul ‘Tindak Kekerasan di Papua (2010-2021)’ yang baru saja diluncurkan secara sangat jelas menunjukkan adanya eskalasi kekerasan yang terutama dilakukan KKB (atau kaum teroris) dalam sekitar 10 tahun terakhir dengan memakan korban masyarakat sipil, perumahan, fasilitas publik, dan pembangunan infrastruktur di Papua.

Dalama kurun waktu tersebut, terdapat setidaknya 299 kasus kekerasan, yang mengakibatkan 395 orang tewas meninggal dunia dan 1579 orang terluka. Sekitar 70% dari korban tewas adalah warga sipil. Hampir 90% warga yang luka juga adalah warga sipil. Jumlah korban sesungguhnya bisa jadi lebih banyak dari angka-angka yang terekam dalam studi UGM ini.

Pola kekerasan juga semakin brutal. Selain tembakan senjata api, tindak kekerasan juga dilakukan dengan pembacokan, pembakaran, penjarahan, hingga pemerkosaan.

Tim UGM juga menyatakan sebagian besar pelaku tindak kekerasan adalah mereka yang disebut Kelompok Kriminal Bersenjata atau gerakan Operasi Papua Merdeka. Sekitar 63% tindak kekerasan dilakukan KKB, dan 22% dilakukan warga. Hanya 6% dilakukan TNI. Hanya 4% dilakukan POLRI. Tindak kekerasan yang tercatat dilakukan TNI dan POLRI pun sangat mungkin adalah tindak kekerasan untuk mengatasi KKB.

Tim UGM mengungkapkan jumlah kekerasan oleh kaum teroris ini meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Kalau di periode 2014-2016, rata-rata jumlah tindak kekerasan oleh kaum teroris itu hanyalah 11 kasus per tahun, pada 2019 sudah naik menjadi 40 kasus per tahun. Pada 2020 naik lagi sehingga mencapai 64 kasus per tahun. Dan di tahun ini, sampai April, sudah ada 51 kasus.

Data dari Tim UGM ini jelas menunjukkan diperlukannya tindakan tegas dari pemerintah untuk melindungi rakyat Papua. Bahkan terdapat kesan bahwa kelompok teroris ini berusaha menyabot program-program pembangunan pemerintah yang dalam beberapa tahun terakhir ini secara aktif digalakkan untuk membangun kesejahteraan rakyat. Pada awal Januari 2021, misalnya, kaum teroris membakar habis BTS 4 dan BTS 5 Palapa Ring yang belum lama dipasang.

Dalam pandangan kami, pendekatan kesejahteraan dan kemanusiaan memang harus menjadi prioritas untuk membangun rakyat Papua yang di masa pemerintahan pra-Jokowi sudah terabaikan berpuluh tahun. Namun pendekatan kesejahteraan ini hanya akan bisa dilakukan apabila serangan biadab kelompok-kelompok teroris tersebut dapat dihentikan.

Kami setuju bahwa penyelesaian masalah Papua harus dilakukan dengan komunikasi dan dialog dengan masyarakat Papua. Namun dialog hanya bisa dilakukan dengan masyarakat Papua yang ingin berkomunikasi. Selama kaum teroris masih terus melakukan aksi kekerasan brutalnya, dialog dengan kelompok tersebut tak akan bermanfaat.

Kami percaya kaum teroris ini hanya menempati kelompok kecil dari masyarakat Papua. Selama ini, justru merekalah yang terus mengorbankan masyarakat Papua untuk misi-misi politik terselubungnya yang sempit dan sangat mungkin didanai oleh kekuatan-kekuatan asing atau mereka yang selama ini sudah berhasil menghisap kekayaan Papua untuk kepentingan mereka.

Tuduhan Koalisi Masyarakat Sipil bahwa perang melawan kelompok teroris ini adalah ‘jalan pintas melegitimasi kekerasan’, ‘mengabaikan pendekatan keamanan manusia’, ‘memperpanjang pelanggaran HAM’, ‘menghambat perdamaian’, ‘rawan disalahgunakan’, serta ‘pelembagaan rasisme dan diskriminasi’; adalah rangkaian tuduhan yang justru akan menghambat tercapainya stabilitas dan perdamaian di Papua. Dengan kata lain, pembangunan ketidakpercayaan pada pemerintah semacam ini bisa menghambat tercapainya kesejahteraan rakyat Papua.

Kami berharap masyarakat sipil Indonesia bisa terus terlibat dalam upaya bersama menjadikan rakyat Indonesia hidup sejahtera, damai dan terlindungi Hak Asasi Manusianya.

 

Ade Armando,

Ketua Civil Society Watch (CSW)

 

 

Narahubung: Rizka Putri (08176456654)