CSW Sayangkan Mui Sumut Melakukan Kebohongan Publik, Soal Larangan Mengucapkan Selamat Natal

384
foto dok. waspada.id

Jakarta, CSW – Kami di Civil Society Watch (CSW) menyayangkan tindakan Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara (MUI Sumut), yang telah melakukan kebohongan publik dengan menyatakan Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 1981 tentang Perayaan Natal Bersama juga berisi larangan untuk mengucapkan Selamat Natal.

Sebagai ormas yang berisi pemuka agama Islam, MUI Sumut seharusnya mengedukasi umat dengan menyajikan kebenaran, bukan mengandalkan kebohongan. Sebagai ormas yang berisi pemuka agama Islam, MUI Sumut seharusnya menjadi panutan umat dalam hal bersikap dan bertindak.

Sekedar informasi, pada 9 Desember 2021, MUI Sumut merilis dokumen ‘Tausyiah MUI Sumut berkaitan Natal dan Tahun Baru 2022.’ Tangkapan layar dokumen ini beredar di sosial media dan media.

Dalam dokumen itu tercantum 5 poin yang disampaikan. Namun, yang paling disoroti adalah isi poin pertama.

Dalam poin pertama dikatakan, MUI Sumut mengimbau umat Islam untuk tidak ikut dalam perayaan Natal, agar tidak terjerumus dalam syubhat dan larangan Allah. Untuk menguatkan imbauannya itu, MUI Sumut lalu merujuk Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 1981.

Masalahnya, MUI Sumut pun merujuk fatwa ini untuk melarang umat Islam mengucapkan Selamat Natal.

“Sejalan dengan itu juga, umat Islam tidak dibenarkan untuk mengucapkan “Selamat Natal” karena Peringatan Natal sebagaimana disebut dalam Fatwa MUI tidak dapat dipisahkan dengan Nuansa Akidah yang tidak sesuai dengan Syariat Agama Islam,” tertulis dalam dokumen itu dalam poin satu.

Pada titik inilah, CSW menganggap MUI Sumut telah melakukan kebohongan publik.

Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 1981 sama sekali bukan berisi tentang larangan mengucapkan Selamat Natal. Konteks yang melatarinya pun bukan ketika umat Islam sedang berpolemik tentang boleh-tidaknya mengucapkan Selamat Natal.

Fatwa itu dilatari fenomena perayaan Lebaran, yang berdekatan dengan Natal sejak 1968, sehingga banyak instansi yang menyelenggarakan acara perayaan Halal Bihalal dan Natal secara bersamaan. Dalam acara itu, ceramah keagamaan dilakukan secara bergantian oleh ustaz dan pendeta.

Buya Hamka, yang ketika itu menjadi Ketua Umum MUI, mengecam kebiasaan itu. Menurutnya, kebiasaan itu bukanlah bentuk toleransi, tapi memaksa penganut agama Islam dan Kristen menjadi munafik. Buya Hamka bahkan menyatakan, penganjur acara itu sebagai penganut sinkretisme.

Karena itulah, ada tiga hal yang diatur dalam Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 1981 itu. Pertama, Perayaan Natal di Indonesia –meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS– tetapi perayaan Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal keyakinan dan peribadatan.

Kedua, mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Ketiga, agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.

Dengan kata lain, fatwa itu dikeluarkan dengan pertimbangan umat Islam perlu mendapat petunjuk yang jelas tentang perayaan Natal bersama, agar tidak mencampur ibadahnya dengan ibadah agama lain. Ditambah, semangatnya bukan untuk mengurangi upaya menjaga kerukunan antar umat beragama di Indonesia.

Fakta tentang Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 1981 itu dibenarkan oleh Pengurus MUI sendiri. Ketua MUI Pusat Bidang Dakwah, Cholil Nafis, misalnya, menyatakan yang diharamkan dalam fatwa itu adalah mengikuti upacara Natalan dan mengikuti kegiatan Natalan.

“Soal mengucapkan Selamat Natal itu tidak dijelaskan dalam fatwa MUI itu,” kata Cholil.

Karena itu, ia menyatakan, umat Islam boleh mengucapkan Selamat Natal kepada umat Kristiani yang merayakannya. Apalagi bagi umat Islam yang punya saudara yang beragama Kristen, dan bagi pejabat yang melayani warganya yang plural.

Ketua Umum MUI 2014-2015, Din Syamsuddin, menyatakan hal yang sama. Menurutnya, Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 1981 tidak spesifik mengatur soal ucapan selamat Natal, boro-boro melarang umat Islam mengucapkan selamat Natal.

Din sendiri tidak mengharamkan ucapan selamat Natal. “Selama dalam konteks budaya, sebagai bentuk persahabatan, maka itu itu bisa dilakukan,” katanya pada akhir Desember 2014. Meski begitu, dia menghormati jika ada ulama yang berpendapat sebaliknya.

Mudah-mudahan kebohongan publik yang dilakukan MUI Sumut tidak ditiru ormas keislaman yang lain. (IRW/Rio)