Jakarta, CSW – Pas kemarin di Jakarta masyarakat tegang nunggu keputusan Mahkamah Konstitusi, nah terjadi juga peristiwa unik di Solo. Lucu iya, tapi memperihatinkan juga iya. Jadi di kota itu ada demonstrasi ratusan orang di depan rumah dinas putra Presiden, Gibran Rakabuming Raka, di Loji Gandrung. Gibran ini kan memang walikota di sana.
Tapi dia kan juga jadi pusat perhatian karena dia mungkin sekali menjadi cawapres Prabowo Subianto, sesudah keluar keputusan MK yang menyatakan orang yang pernah menjabat kepala daerah bisa jadi calon presiden atau wakil presiden.
Nah, demonstrasi ini nggak jelas tujuannya apa. Apa soal kebijakan Gibran di Solo? Atau soal kemungkinan pencalonan dia jadi cawapres Prabowo? Ternyata peserta demonstrasinya sendiri itu gak paham.
Dan itulah yang saya katakana lucu sekaligus memprihatinkan. Ratusan peserta unjuk rasa itu adalah warga yang terlihat berusia setengah tua. Nggak ada tuh anak muda. Mereka itu melakukan tradisi Jawa yang disebut tapa bisu.
Tapa bisu adalah bentuk protes rakyat terhadap raja-raja Jawa. Ini sudah biasa dilakukan sejak berabad lalu. Dulu, tapa bisu dilakukan dengan menjemur diri berjam-jam di alun-alun yang berada di depan Keraton Surakarta.
Nah kali ini, dilakukannya di depan rumah dinas Gibran. Durasinya pun nggak sampai 10 menit. Peserta demo berjalan kaki dari Stadion Sriwedari dengan membawa sejumlah spanduk dan poster.
Isi spanduk dan posternya adalah kecaman terhadap apa yang disebut politik dinasti. Salah satu spanduk yang dicetak di atas kain merah putih berisi tulisannya gini: “Kami muak dengan politik dinasti!”
Di poster yang lain ada pula kalimat: “Ojo Dumeh”, yang berarti “Jangan mentang-mentang”. Di depan rumah dinas Gibran, mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya. Salah satu peserta membakar kemenyan yang menandakan prosesi tapa akan dimulai.
Setelah itu, koordinator aksi bernama Joko Pleci meminta peserta aksi memulai tapa bisu selama lima menit. Usai bertapa, mereka langsung membubarkan diri kembali ke Stadion Sriwedari.
Nggak ada orasi, nggak ada pernyataan sikap. Mereka bubar jalan , yaudah begitu aja. Ketika sesudah aksi, Joko Pleci ditanya wartawan tentang tujuan aksi, dia tidak menjawab jelas. Dia bilang, mereka nggak punya tendensi apa-apa.
Tapi dia yakin para pemimpin sudah memahami pesan yang disampaikan. Dia nggak bilang, aksi itu ditujukan untuk Gibran. Dia juga nggak secara tegas bilang ini ada kaitannya dengan kondisi politik sekarang.
Dia cuma bilang, “Mungkin ada kaitannya.” Tapi dia tegas-tegas menolak kalau aksi itu dilakukan terkait dengan sidang MK tentang batas usia pimpinan negara. Kata Joko Pleci, masyarakat Solo tidak tahu dan tidak ada komentar apa-apa tentang keputusan MK.
Sayangnya tapa bisu versi singkat itu nggak bisa disaksikan langsung oleh Gibran yang sedang berada di kantor Walikota. Anak istrinya pun nggak berada di rumah dinas itu. Jadi bisa dibilang aksi itu dilakukan di depan rumah tanpa penghuni.
Gibran itu baru datang beberapa saat setelah aksi bubar. Karena itulah dia menyusul ke stadion Sriwedari untuk bertemu langsung dengan para demonstran. Dia ingin nanya, apa yang menjadi keluhan masyarakat Solo.
Pertemuan berlangsung, tapi percakapannya menggelikan. Dialog Gibran dengan warga ini direkam sama wartawan, Videonya bisa disaksikan di media sosial. Para warga peserta demo itu naïf, lugu, jujur bicara tentang mengapa mereka ikut demo.
Gibran bahkan mengajak mereka untuk datang dan ngobrol di rumahnya, tapi mereka menolak dengan wajah malu. Gibran berulangkali bertanya, apa keluhan yang ingin disampaikan.
Ada beberapa orang yang ditanya begitu. Dan jawabannya sama: “Tidak tahu”. Republika misalnya mengutip jawaban peserta demo bernama Fitri. Fitri menjawab dia datang karena ikut-ikutan diajak teman dan senang bisa kumpul-kumpul.
Tapi ketika ditanya Gibran, apa tujuan demo, Fitri menjawab tidak tahu. “Saya cuma rakyat kecil. Saya cuma minta yang terbaik saja,” katanya. Ada pula video pendek yang menampilkan ibu peserta demo dengan membawa karton bertuliskan “Budaya Tapa Bisu”.
Ketika Gibran minta dia menjelaskan alasan ikut demo, dia jawab: “Nurut mawon, Mas” atau nurut saja. Gibran bertanya, apa maksudnya Tapa Bisu? Dia Cuma ketawa. Gibran tanya lagi nih, “Jadi protesnya apa?”
Sambil tesenyum malu, dia bilang: “Mboten ngertos” atau tidak mengerti. Republika juga mengutip percakapan Gibran dengan korlap aksi. Korlap itu kelihatan sekali bingung ketika ditanya apa sih tujuan aksinya?.
Ketika ditanya apa keluhan yang ingin disampaikan, dia menjawab: “Siap-siap, tidak ada keluhan. Mas Gibran tetap top.” Dia juga mengacungkan dua jempol. Dengan geli Gibran pun berkomentar: “Kalau top, kok didemo?”
Seperti saya katakan, demonstrasi ini lucu tapi sekaligus memprihatinkan. Unjuk rasa adalah sebuah hal normal dalam demokrasi. Demonstrasi adalah sebuah cara komunikasi yang diizinkan oleh konstitusi kita.
Gibran pun sebagai walikota tidak melarangnya. Tapi apa yang terjadi kemarin itu jauh dari sebuah komunikasi politik yang normal. Mereka yang ikut turun ke jalan itu jelas-jelas nggak paham masalahnya apa.
Mereka tidak tahu apa itu dinasti politik, Mahkamah Konstisusi dan segala hal terkait lainnya. Mereka itu adalah orang-orang baik yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Sangat mungkin ya mereka dibayar.
Istilah kasarnya, mereka ditunggangi. Menurut kami di CSW, hal-hal yang semacam ini seharusnya nggak lagi boleh dilakukan. Kalau memang ada pesan yang ingin disampaikan ke pemerintah, dalam hal ini Gibran, ya sampaikan saja secara langsung.
Janganlah mengeksploitasi kalangan menengah ke bawah untuk tujuan politik sendiri. Hal semacam ini loh yang bisa merusak demokrasi Indonesia. Dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi