Denny Siregar, Mafia PCR, dan Relawan Jokowi

364
foto dok. Republika

Jakarta, CSW – Kewajiban tes PCR bagi penumpang pesawat terbang ditolak masyarakat sipil. Kelompok relawan Jokowi dan pegiat media sosial yang selama ini aktif mendukung Presiden pun ramai-ramai mengecam kewajiban tes PCR itu.

Masyarakat sipil menganggap kewajiban itu mengada-ada, memberatkan masyarakat, dan dikhawatirkan bahwa itu sengaja dibuat untuk menguntungkan kelompok tertentu. Kewajiban PCR itu termuat dalam instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 53, tahun 2021.

Dinyatakan di situ bahwa sejak 24 Oktober, setiap calon penumpang pesawat terbang harus menunjukkan kartu vaksin minimal dosis pertama, dan surat keterangan hasil negatif tes PCR yang dilakukan maksimal 2×24 jam sebelum keberangkatan.

Bahkan kini sudah beredar kabar bahwa, kewajiban tes PCR ini akan diperluas ke moda transportasi lain, seperti kereta, dan bis.

Memang Presiden kemudian menyatakan bahwa tarif PCR harus ditekan sehingga mencapai Rp300 ribu per individu. Namun penurunan biaya PCR itu tetap dianggap tidak menjawab persoalan inti.

Bagi masyarakat, kewajiban itu dianggap membebani calon penumpang yang pada akhirnya akan berdampak negatif pada roda ekonomi. Kalau cuma satu orang, tambahan biaya yang harus diemban hanyalah Rp300 ribu.

Tapi kalau yang melakukan perjalanan satu keluarga yang terdiri dari orang tua dan dua anak, maka biaya tambahannya Rp300 ribu dikalikan empat, yaitu Rp1,2 juta.

Bila perjalanan dilakukan pulang pergi, angkanya naik menjadi Rp2,4 juta. Apalagi, kewajiban itu dianggap berlebihan dan mengada-ada karena pada dasarnya vaksinasi dan persyaratan antigen saja sebenarnya sudah cukup untuk mencegah penyebaran Covid-19 di pesawat udara.

Ahli epidemi dari Griffith University, Dicky Budiman, menyatakan tes PCR tidak mendesak untuk diterapkan bagi penumpang pesawat terbang. Menurutnya, perjalanan menggunakan pesawat terbang tergolong minim risiko penularan Covid-19.

Karena itu Andy menganggap persyaratan vaksinasi dan antigen saja sebenarnya sudah cukup. Selain warga sipil, yang juga keberatan adalah dunia usaha.

Dikawatirkan, kewajiban ini akan mengurangi hasrat bepergian warga yang sebenarnya dibutuhkan untuk menggerakkan ekonomi. Sektor periwisata yang sebenarnya sedang bangkit kembali akan terkena hantaman serius.

Begitu juga dengan maskapai penerbangan. Dan kondisi ini akan semakin memburuk bila kewajiban serupa diberlakukan di moda transportasi lain.

Pemerintah sendiri berdalih ini dilakukan karena saat ini sedang dilakukan relaksasi persyaratan penerbangan. Kapasitas penumpang pesawat yang semula hanya 70% sekarang akan dinaikkan kembali menjadi 100 persen.

Pemerintah juga menyatakan bahwa karena ada pelandaian angka Covid-19, terjadilah peningkatan mobilitas penduduk. Pemerintah khawatir bahwa relaksasi aktivitas masyarakat ini akan kembali meningkatkan jumlah penderita Covid-19 seperti yang terjadi di sejumlah negara maju.

Karena itulah, pemerintah memberlakukan persyaratan tes PCR.

Namun penjelasan pemerintah ini sangat bisa dipertanyakan. Kalau memang masih khawatir dengan kepadatan penumpang, kenapa pemerintah tidak mempertahankan saja kapasitas 70%?

Toh selama ini kita tidak mendengar adanya cluster Covid-19 dari pesawat terbang, ketika yang menjadi persyaratan hanyalah antigen.

Kalau kapasitas penumpang pesawat hanyalah 70% tapi tidak ada kewajiban PCR, jumlah penumpang yang akan menggunakan pesawat kemungkinan tetap akan lebih besar daripada menaikkan kapasitas penumpang menjadi 100% tapi dengan persyaratan tes PCR.

Dengan kata lain, buat apa juga menaikkan kapasitas penumpang menjadi 100%, kalau warga enggan menggunakan pesawat karena tambahan beban tes PCR pulang pergi.

Karena itulah bisa dipahami, kalau masyarakat sipil ramai-ramai menolak kebijakan wajib tes PCR ini.

Selasa lalu, bahkan Relawan Jokowi Mania atau Joman resmi mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Menurut Ketua Umum Joman, Immanuel Ebenezer, instruksi Mendagri itu bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.

Menurutnya, pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara seharusnya diatur dengan Undang Undang, dan tidak bisa ditetapkan oleh instruksi menteri. Tokoh media sosial yang Jokower tulen, Mas Denny Siregar, juga dengan sangat keras menyatakan kewajiban ini adalah blunder pemerintah.

Denny bahkan mencurigai bahwa di belakang kebijakan yang merugikan masyarakat ini, ada kelompok mafia yang akan memperoleh keuntungan besar bila PCR diwajibkan. Selain itu di laman change.org, ada petisi meminta pemerintah menghapus aturan wajib PCR.

Petisi berjudul ‘Hapuskan Aturan PCR untuk Penerbangan’ itu dimulai pada 21 Oktober, dan ditujukan kepada Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perhubungan, Satuan Tugas Penanganan Covid-19, dan yang terakhir Presiden Joko Widodo.

Asosiasi Pilot Garuda (APG) juga menyatakan keberatan dengan kewajiban itu. Presiden APG, Donny Kusmanagri meminta pemerintah meninjau ulang persyaratan tersebut karena jelas akan berdampak pada jumlah penumpang pesawat.

Donny mengingatkan teknologi dalam pesawat yang dilengkapi dengan HEPA Filter dapat berfungsi untuk mencegah penularan Covid-19. Begitu juga, kalau penumpang serta awak pesawat sudah menerapkan protokol kesehatan dengan baik, kemungkinan penularan Covid-19 di pesawat akan relatif kecil.

Apalagi bila diingat, para calon penumpang tersebut sudah divaksin dan sudah memperoleh tes antigen.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, Maulana Yusuf mengatakan kebijakan itu kontraproduktif bagi pengembangan pariwisata Indonesia yang sebenarnya sedang mengalami kebangkitan.

Lembaga Perlindungan Konsumen Penerbangan dan Pariwisata Indonesia (LPKPPI) juga telah menyampaikan keberatan soal kewajiban PCR. Menurut ketuanya, Paiyadi Abadi, PCR sebaiknya tidak diberlakukan bagi penumpang yang sudah vaksin dengan dosis lengkap.

Harusnya cukup dengan antigen saja. Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia juga meminta pemerintah membatalkan kewajiban PCR.

“Memberatkan dan menyulitkan konsumen,” kata Tulus.

Selain itu, Sekretaris Jenderal Organisasi Angkatan Darat (Organda) Ateng Aryono mengatakan rencana perluasan kewajiban PCR bagi penumpang moda transportasi lain akan memicu persoalan lain, terutama menjelang periode Natal dan Tahun Baru.

Salah satu efeknya adalah kemungkinan beralihnya para penumpang ke kendaraan pribadi, atau bahkan menggunakan angkutan gelap atau ilegal. Para wakil rakyat di DPR juga tidak tinggal diam.

Ketua DPR Puan Maharani secara terbuka menyatakan peraturan baru ini membuat rakyat semakin bingung. Puan mengatakan dan mengingatkan bahwa ketika Covid-19 belum melandai, pemerintah justru memperbolehkan tes antigen sebagai syarat penerbangan.

Sekarang, ketika Covid-19 sudah melandai, kenapa tiba-tiba saja ada persyaratan tambahan, yaitu tes PCR. Kata Puan, kalau sekarang PCR diwajibkan karena kita harus berhati-hati, apakah itu berarti ketika antigen diperbolehkan kita sebenarnya tidak berhati-hati.

“Pertanyaan-pertanyaan seperti ini harus dijelaskan secara terang benderang oleh pemerintah,” kata Puan.

Gelombang protes pada kebijakan wajib PCR ini mencerminkan bahwa memang ada persoalan serius dengan peraturan tersebut. Akan mengherankan kalau pemerintah tidak bersedia mengoreksinya.

Kalau pemerintah terus bertahan dengan ketetapan itu, wajar bila ada pertanyaan sebagaimana yang disampaikan Mas Denny Siregar.

Adakah kalangan tertentu yang memperoleh keuntungan dari kewajiban PCR ini? Mudah-mudahan pemerintah bersedia mendengar harapan masyarakat sipil.