DOKTER INDONESIA MOGOK KERJA, GIMANA NASIB RAKYAT?

181

Jakarta, CSW – Sebagai rakyat kita harus was-was nih. Karena, para dokter yang bergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia mengancam mogok kerja. Tahu nggak kenapa? Karena mereka menganggap aspirasi mereka tidak ditampung dalam RUU Kesehatan.

Mereka mengancam mogok kalau pemerintah dan DPR masih melakukan pembahasan tentang RUU Kesehatan. Selain IDI, ada juga sejumlah organisasi profesi kesehatan yang mengancam mogok kerja.

Ini adalah mereka Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Tapi nampaknya yang menjadi motor dan paling gigih melawan adalah IDI.

Kalau dipelajari, salah satu keberatan utama mereka adalah hilangnya hak-hak istimewa IDI di dalam RUU itu. Mereka ngenggap IDI yang selama ini sangat powerful di dunia kedokteran diabaikan begitu saja.

IDI kan kita tahu ya, selama ini adalah organisasi tunggal para dokter di Indonesia. IDI sangat berkuasa menentukan nasib seorang dokter. Tanpa rekomendasi dari IDI, seorang dokter yang sudah menempuh pendidikan tinggi di sekolah terbaik, tetap tidak akan bisa berpraktek di Indonesia.

Peran IDI sebagai organisasi profesi yang memiliki otoritas untuk menentukan izin praktek dokter bisa dibilang cuma terjadi Indonesia. Di negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, nggak ada kewenangan seperti itu.

Apalagi di negara-negara maju. Masalah izin dan jaminan menjaga kompetensi dokter sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah. Kekuasaan IDI yang luar biasa ini yang ditiadakan di RUU Kesehatan baru.

Di dalam RUU Kesehatan, penyebutan nama IDI ditiadakan. Pemerintah bukannya melarang IDI, tapi nggak mewajibkan kehadiran sebuah organisasi tunggal dalam UU. Kalau para dokter mau membuat organisasi profesi tetap diizinkan.

Tapi nama dan kewenangan organisasi profesi itu nggak perlu lagi ditetapkan dalam UU. Ketentuan tentang kewajiban adanya rekomendasi IDI bagi dokter yang mau praktek juga ditiadakan.

Ini tentu akan mempermudah dokter untuk menjalankan profesi. Begitu juga RUU ini akan mempermudah lahirnya para dokter spesialis baru di Indonesia. Negara itu masih sangat membutuhkan dokter spesialias.

Rasio dokter spesialis di Indonesia jauh lebih rendah, nggak sampai 50 persen, dari standard Organisasi Kesehatan Dunia. Akibatnya penanganan kesehatan masyarakat seringkali terhambat karena minimnya dokter spesialis.

RUU ini yang akan mempermudah proses pemberian izin praktek yang diharapkan bisa menjawab kebutuhan dokter spesialis itu. Tapi berbagai kemudahan inilah yang justru membuat marah para petinggi IDI.

Mereka nggak terima kalau kekuasaan mereka selama ini untuk menentukan nasib dokter akan dilucuti dalam RUU. Mereka berdalih kalau izin praktek dokter bisa diberikan begitu mudah, kualitas dokter menjadi tidak terjamin dan tidak bisa diawasi.

Karena itulah mereka menyerukan para anggota IDI untuk sama-sama memboikot RUU dengan cara mogok. Kalau pemogokan ini sampai terjadi, kita bisa bayangin dong, betapa merananya rakyat Indonesia.

Mereka yang punya uang mungkin akan dengan mudah berobat ke luar negeri. Tapi gimana dengan nasib sebagian besar rakyat Indonesia? Bayangin kalau masyarakat tidak bisa dilayani waktu sakit parah.

Bisa-bisa korban berjatuhan. Bisa-bisa ada korban yang sampai tewas nanti gara-gara tidak ada diselamatkan dokter dan perawat yang sedang mogok kerja. Kalau ini sampai terjadi, siapa yang harus bertanggungjawab?

Para dokter sebenarnya sudah mengucapkan sumpah jabatan. Para dokter antara lain bersumpah akan membaktikan hidup guna kepentingan peri kemanusiaan. Mereka juga sudah bersumpah akan selalu mengutamakan kesehatan pasien.

Kalau sekarang mereka menolak menangani pasien cuma gara-gara posisi IDI dihapus dari RUU Kesehatan, apakah itu masih sejalan dengan sumpah jabatan mereka? RUU Kesehatan ini memang masih menjadi bola panas.

Semula dikabarkan RUU ini akan dibahas dalam sidang paripurna DPR tanggal 20 Juni kemarin. Sidang paripurna itu adalah tahap terakhir sebelum sebuah RUU disahkan. Tapi ternyata, itu batal dilakukan.

Ketua DPR Puan Maharani mengatakan rapat paripurna tentang RUU Kesehatan ditunda, sampai waktu yang tepat. Puan mengatakan saat ini RUU Kesehatan telah disepakati DPR di tingkat 1 menskipun masih ada 2 fraksi yang menolak, yaitu PKS dan Demokrat.

Puan tidak menyebut secara jelas kapan waktu yang dimaksud dengan ‘waktu yang tepat’. Yang jelas, itu belum akan dilakukan hari-hari ini. Ini menunjukkan proses pembicaraan di luar sidang belum tuntas.

Bahkan mulai ada dugaan, RUU ini belum akan disahkan di masa bakti DPR kali ini. Mungkin akan terus ditunda sampai DPR baru terbentuk tahun depan. Sangat mungkin juga penundaan ini terjadi karena adanya ancaman mogok dari IDI dan kawan-kawan.

IDI dan kawan-kawan juga menuduh kalau pembuatan RUU ini tidak melibatkan publik. Kayaknya, tuduhan ini mengada-ada ya. RUU ini mulai dibahas DPR dan Pemerintah pada Agustus 2022.

Sejak Maret 2023, pemerintah dan DPR sudah mengundang berbagai stakeholders kok untuk memberi masukan. Kemenkes mengatakan telah menyelenggarakan kegiatan partisipasi publik via zoom dan luring lebih dari 115 kali, yang dihadiri oleh 72.000 peserta.

Ini bukan hanya dilakukan di Pulau Jawa, tapi juga di luar Jawa. Semua organisasi profesi yang mengancam mogok tersebut juga diundang kok. Jadi nggak benar ya kalau dikatakan penyusunan RUU ini tidak melibatkan publik.

Beragam masukan sudah diakomodir dalam RUU. Tapi tentu saja nggak semua masukan diterima. Ada hal-hal krusial yang nggak bisa disetujui. Salah satunya adalah soal organisasi profesi.

Pemerintah menganggap pasal organisasi profesi dan kewenangannya adalah salah satu bidang masalah yang menghambat peningkatan ketersediaan, kualitas dan kapasitas tenaga kesehatan di Indonesia.

Mudah-mudahan sikap ngotot para petinggi IDI yang menolak RUU karena terganggunya kekuasaan mereka nggak sampai membahayakan masyarakat. Kita dukung lahirnya RUU Kesehatan yang berorientasi pada kepentingan rakyat.