Jakarta, CSW – Pak Erick Thohir layak dipuji nih. Dia dan timnya baru saja melakukan langkah penting buat kebebasan pers di Indonesia. Dia mengadukan Tempo karena menurutnya apa yang disampaikan Tempo kepada publik merugikan dirinya.
Tapi yang penting, dia tidak melaporkan Tempo ke Polisi. Dia hanya melaporkan Tempo ke Dewan Pers. Nah,. dewan Pers pun langsung melakukan mediasi dengan mempertemukan tim Pak Erick dengan redaksi Tempo.
Dan akhirnya Dewan Pers memutuskan Tempo bersalah karena melanggar kode etik jurnalistik. Tempo harus mengakui kesalahannya, minta maaf, dan memberi Pak Erick hak jawab maksimal 10 hari ke depan.
Menurut kami nih, ini penting karena menunjukkan Pak Erick nggak memilih jalur yang bisa mempidanakan Tempo. Kapolri memang pernah sih mengeluarkan instruksi supaya polisi nggak menerima begitu saja setiap aduan terkait kasus-kasus pencemaran nama baik melalui media.
Kapolri meminta yang dikedepankan adalah restorative justice, atau perdamaian sebelum diperkarakan sampai ke pengadilan. Tapi sebenarnya Pak Erick bisa saja tetap mengadukan kasus ini ke jalur hukum, baik dengan pasal-pasal KUHP maupun dengan Undang Undang ITE. Tapi ternyata Pak Erick memilih mengadu ke Dewan Pers, seperti yang diatur dalam UU Pers.
Langkah Pak Erick ini harus dipuji karena kalau dilihat dari kasusnya, dia memang pantas tersinggung dengan apa yang dimuat di Tempo. Ini terkait dengan yang disajikan di video Tempodotco di kanal youtubenya.
Dalam salah satu programnya berjudul ‘bocoralus politik’, ditampilkan tiga jurnalis yang ngobrol soal manuver Pak Erick. Judul obrolannya: ‘Manuver Erick Thohir Lewat PSSI dan BUMN yang Tak Disukai PDIP’.
Penggalan pendek obrolan itu disebarkan juga melalui platform Tiktok, yang seperti biasa dishare lagi oleh netizen-netizen yang lainnya. Sesuai judulnya, selama sekitar 37 menit ke tiga wartawan itu membicarakan kabar-kabar yang selama ini mereka ketahui dan mereka dengar tentang Pak Erick.
Ya namanya ngobrol, mereka nggak menyebut dong dari mana sumber informasi-informasi yang dibicarakan. Mereka menggunakan istilah ‘kabarnya’, ‘katanya’, ‘menurut yang saya dengar’, atau ‘ada yang bilang’.
Tapi isinya memang negative banget tentang Pak Erick . Jadi pak Erick itu dibilang menggerakkan para karyawan milenial di BUMN untuk mengkampanyekan dirinya. Dia juga menggerakkan BUMN-BUMN untuk mengeluarkan dana miliaran rupiah untuk mendukung manuver-manuvernya agar bisa terpilih menjadi cawapres.
Dikatakan juga, diselenggarakannya turnamen sepakbola Piala Dunia usia 17 tahun bukanlah karena jasa Erick, melainkan karena tawaran FIFA. Dibilang juga, Pak Erick dengan sengaja mengarang drama soal dibatalkannya Piala Dunia di bawah usia 20 untuk mengangkat reputasi dia. Dan juga, diceritakan bahwa Pak Erick tidak disukai Bu Mega dan Pak Ganjar.
Pak Erick rupanya merasa tersinggung dengan pembicaraan itu. Dia membantah kebenarannya. Akhirnya Tempo dilaporkan ke Dewan Pers, karena apa yang disampaikan Tempo itu dianggap tidak memenuhi kaidah jurnalistik professional.
Dalam aduan tim pak Erick, Tempo dianggap melanggar etika karena menyampaikan informasi yang tidak akurat, dan beritikad buruk. Tim Pak Erick juga menganggap Tempo melanggar kode etik karena tidak melakukan verifikasi tentang kebenaran berita itu.
Nah tuntutan ini disetujui sama Dewan Pers yang memutuskan bahwa Tempo memang melanggar kode etik. Karena itu Tempo harus minta maaf dan memberikan kesempatan untuk Pak Erick untuk melakukan hak jawab dengan mengklarifikasi tuduhan-tuduhan itu
Hak jawab itu harus dimuat semua platform media sosial Tempo. Dan Tempo menerima keputusan Dewan Pers. Tapi mereka mengaku bahwa sebelum menayangkan obrolan itu, sebenarnya Tempo sudah menghubungi Pak Erick untuk meminta klarifikasi.
Tapi nggak direspons. Tempo juga mengaku sudah memperoleh konfirmasi tentang kebenaran berita tentang manuvernya Pak Erick. Dewan Pers menganggap Tempo melanggar pasal 1,2, dan 3 Kode Etik Jurnalistik.
Konten Tempo itu dinilai tidak berimbang, tidak jelas sumbernya, tidak uji informasi, mencampurkan fakta dan opini, dan juga menghakimi. Menanggapi keputusan Dewan Pers itu, tim Pak Erick memutuskan untuk tidak melanjutkan pengaduan ini ke ranah hukum.
Tapi setelah mediasi ini selesai, ternyata ada satu hal yang jadi ganjalan. Tim Pak Erick mengeluarkan rilis terbuka yang berjudul ‘Podcast Tempo Melanggar Kode Etik’. Ini diprotes Tempo.
Menurut Tempo, sudah ada kesepakatan bahwa yang berhak memberi keterangan hanyalah Dewan Pers, dan bukan pihak pelapor. Protes ini sudah disampaikan Tempo ke pimpinan Dewan Pers.
Kami di CSW berharap persoalan ini nggak perlulah menjadi berlarut-larut. Kita bersyukur bahwa tim Pak Erik tidak mempersoalkan kasus ini sampai ke ranah hukum. Responnya juga sudah cukup adil kok.
Jadi buat apa lagi dipersoalkan soal siaran pers yang dianggap melanggar kesepakatan bersama? Langkah Pak Erick layak dipuji karena menunjukkan keberpihakan pada kemerdekaan pers di Indonesia.
Dalam demokrasi, kemerdekaan pers ini sangat penting. Pers harus punya ruang gerak yang bebas untuk menyampaikan informasi kepada publik. Media massa itu penting untuk menjadi kontrol terhadap mereka yang berkuasa.
Memang kadang-kadang, informasi yang disampaikannya salah. Tapi kalau pers selalu ditakut-takuti dengan ancaman penjara, pers jadinya akan takut untuk menyampaikan informasi kepada khalayaknya
Karena itu, cara terbaik adalah dengan meminta Dewan Pers menilai dengan objektif dan memberikan sanksi sebatas kode etik. Pak Erick dan Tim, Tempo, Dewan Pers… Respect!