Jakarta, CSW – Ada berita buruk: Jurnalisme Indonesia saat ini sedang sekarat alias mati perlahan. Tau nggk kenapa? Karena teknologi digital. Kok bisa begitu? teknologi digital memang memudahkan pertukaran informasi tapi, teknologi ini yang juga menyebabkan media beralih fokus. Fokus media sekarang bukan lagi kualitas konten.
Seperti, konten yang informatif, mendidik, menghibur atau kritik sosial. Tapi berapa banyak sebuah laman diklik atau dibuka. Pengelola tidak peduli kualitas isi kontennya. Nah yang ngomong ini bukan orang sembarangan.
Tetapi Wenseslaus Manggut, atau akrab dipanggil Wens. Wens adalah Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia atau AMSI. AMSI dideklarasikan pada 2017. Anggota AMSI saat ini ada lebih dari 410 media siber di Tanah Air.
Wens diwawancarai oleh BenarNews dan disiarkan 20 Oktober lalu. Menurut Wens, jurnalisme di Indonesia saat ini kalah oleh surplus informasi, ujaran kebencian dan hoaks. Semua informasi sampah itu sekarang beredar bebas di media sosial.
Surplus informasi sampah disebarkan melalui platform besar. Seperti: Google, Facebook, Instagram, dan Twitter. Wens bilang, dominasi informasi sampah dan hoaks di medsos itu melemahkan jurnalisme.
Ia membuat berita yang otentik menjadi kurang relevan. Jadi Wens mendorong pemerintah untuk membuat undang-undang. Undang-undang ini akan mengatur sektor hulu dari ekosistem digital di Indonesia.
Undang-undang ini hadir untuk mengganti atau melengkapi UU ITE. UU ITE yang dimaksud adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik nomor 11 tahun 2008. Kata Wens, UU ITE saat ini seperti pemadam kebakaran.
Kalau ada api hoaks, api itu dipadamkan. Kalau ada api ujaran kebencian, itu juga dipadamkan. Pemerintah saat ini sibuk dalam urusan memadamkan seperti itu. Padahal dia levelnya negara.
Dengan level negara, seharusnya pemerintah bisa menata instalasi digitalnya. Tujuannya, mencegah supaya tidak terjadi kebakaran. Jadi, bukan sekadar memadamkan apinya doang.
Inilah kelemahan UU ITE yang ada sekarang. Tindakan baru dilakukan ketika kerusakan sudah terjadi. Artinya, nasi sudah terlanjur jadi bubur. Terus, apa yang harus pemerintah lakukan?
Menurut Wens, Indonesia harus punya undang-undang yang meregulasi platform. Wens memberi contoh Jerman. Jerman sudah membuat undang-undang media sosial atau NetzDG.
Undang-undang Jerman ini dapat mengatur platform. Bila ada berita hoaks, dalam waktu 24 jam Anda akan mendapat denda. Di Indonesia, UU ITE seharusnya bisa seperti ini. Masalahnya, UU ITE ini keywords pertamanya adalah transaksi.
Dalam urusan kebebasan berpendapat, kata-kata transaksi itu ytampak janggal. Jika pakai perumpamaan penumpang dalam bus, UU ITE di Indonesia itu mengatur audiens atau penumpang. UU ITE bukan mengatur bus.
Tetapi NetzDG Jerman itu mengatur bus yang mengangkut penumpang. Apa bedanya Mengatur penumpang itu selalu post factum alias sesudah kejadian. Hoaks-nya sudah menyebar dulu. Ujaran kebenciannya sudah beredar dulu.
Kerusakannya sudah terjadi dulu. Akibatnya, orang sudah keburu emosi, berdemo dan membakar fasilitas publik. Baru orangnya ditangkap, tapi kerusakan sudah terjadi. UU ITE yang post factum tuh seperti itu.
Bedanya dengan NetzDG, Jerman menindak di hulunya. Kalau di hulunya platform yang diatur, maka platform akan cari cara supaya hoaks itu tidak beredar. Atau, kalaupun beredar, itu akan ditekan jangkauan dan penyebarannya.
Jadi, kalau di Indonesia kontennya masih dibiarkan seperti ini, risikonya fatal. Industri media akan tergiring dalam ekosistem yang sekarang. Tinggal bikin aja konten receh, konten sadur, atau konten click bait.
Ini dianggap jauh lebih menguntungkan daripada menaati aturan konten. Seperti aturan di pasal-pasal undang-undang pers. Atau panduan kode etik jurnalistik. Media jurnalistik yang tak peduli kualitas konten, berarti gawat. Jurnalisme itu praktis telah sekarat, dan tinggal menunggu dikubur saja. Yuk, kita selamatkan jurnalisme Indonesia lewat konten yang berkualitas!