Jakarta, CSW – Kenapa Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) belum juga memberikan dukungan terhadap Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendibudristek PPKS) di lingkungan perguruan tinggi?
Bagi saya, ini mengherankan.
Selama ini BEM SI dikenal sebagai salah satu elemen mahasiswa yang memberikan perhatian sekaligus menunjukkan kepeduliannya terhadap isu-isu sosial. Mereka tidak hanya bersuara, tapi juga melakukan protes ke jalan jika kebijakan yang dikeluarkan pemerintah mereka nilai negatif bagi hajat hidup orang banyak.
Perhatian dan kepedulian BEM SI terlihat dalam sejumlah isu. Dalam isu UU Cipta Kerja, misalnya, organ berisi pengurus BEM dari berbagai kampus di Indonesia itu menyatakan menolaknya, baik sebelum maupun setelah diundangkan. Begitu juga dalam isu pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Namun sejak Permen PPKS diundangkan sejak 3 September 2021 sampai 10 November kemarin, BEM SI tampak bungkam.
Belum ada satu postingan tentang Permen PPKS di sosial media milik BEM SI. Beberapa postingan terakhir di akun Instagram BEM SI, lebih berisi narasi tentang klaim kegagalan Presiden Jokowi. Sementara akun BEM SI di Facebook dan Twitter kurang aktif.
Pernyataan dukungan dari Koordinator Pusat (korpus) BEM SI pun belum ditemukan di media online, baik dari Nofrian Fadil Akbar maupun Wahyu Suryono Pratama. Sekedar informasi, korpus adalah struktur tertinggi di BEM SI dan dijabat oleh hanya satu orang.
Tapi sejak munas ke-14 pada akhir Maret lalu di Padang, BEM SI terpecah. Dalam satu munas yang berlangsung di Universitas Andalas terpilih Nofrian Fadil Akbar, Ketua BEM Universitas Riau (Unri) sebagai korpus. Sementara dalam munas yang berlangsung di Asrama Haji Padang terpilih Wahyu Suryono Pratama, Ketua BEM Universitas Negeri Semarang (Unnes).
Audiensi ke Komnas Perempuan
Memang dalam satu media lokal ditemukan berita yang menyebut nama Wahyu dan dikaitkan dengan Permen PPKS. Mengingat berita itu dimuat pada pertengahan Agustus lalu, Permen PPKS masih tahap rancangan.
Dalam berita itu dikatakan, Wahyu bersama sejumlah pengurus BEM Unnes melakukan audiensi ke Kantor Komnas Perempuan. Selain menyerahkan kertas kebijakan atas rancangan Permen PPKS, Wahyu mendorong agar rancangan Permen PPKS segera diterbitkan.
Dunia kampus bukan tempat yang steril dari kasus kekerasan seksual. Berita tentang kasus kekerasan seksual di kampus cukup sering terdengar. Yang terbaru, pengakuan mahasiswi Unri yang jadi korban oleh terduga pelaku dosen pembimbing skripsi sekaligus dekan di fakultasnya.
Sejumlah data menunjukkan, kasus kekerasan seksual di kampus bukan perkara main-main. Komnas Perempuan menerima 27% aduan kasus kekerasan seksual terjadi di perguruan tinggi, dari keseluruhan pengaduan yang terjadi di lembaga pendidikan pada kurun 2015-2020.
Data survei Mendikbud Ristek pada 2019 menyatakan, kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15%), setelah jalanan (33%) dan transportasi umum (19%).
Permen PPKS diterbitkan untuk merespons maraknya kasus kekerasan seksual di kampus. Melalui Permen PPKS, pemerintah dapat memaksa setiap kampus menjalankan langkah-langkah pencegahan kekerasan seksual. Kampus diwajibkan membentuk satuan tugas penanganan kekerasan seksual yang anggotanya terdiri dari pendidik dan mahasiswa. Kampus yang mengabaikan peraturan ini akan diberi sanksi.
Dukungan Mahasiswa Berbagai Kampus
Bagi masyarakat kampus dan aktivis yang mendampingi korban, Permen PPKS sudah lama ditunggu-tunggu. Dengan demikian, korban tidak hanya mendapat perlindungan, tapi juga pendampingan dan pemulihan. Sementara pelaku, bisa dosen terpandang atau orang memiliki jabatan tinggi di kampus, akan mendapat sanksi bertingkat. Mulai dari diskors, sampai yang terberat dipecat.
Kontras dengan BEM SI, sejumlah mahasiswa dari berbagai kampus sudah menyatakan dukungan terhadap Permen PPKS. Ini setidaknya terlihat dari testimoni yang disampaikan di program Mata Najwa semalam, yang juga dihadiri Mendikbud Ristek Nadiem Makarim.
Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra, misalnya, menyatakan mendukung Permen PPKS. Menurutnya Permen PPKS sejalan dengan apa yang selama ini diperjuangkan di internal UI untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual. Sebelum ada Permen PPKS, advokasi korban sering menemui jalan buntu karena tidak ada mekanisme pengaduan yang jelas, apakah pengaduan itu ke rektor, dekan, atau pejabat kampus yang lain.
Vice Major Korps Mahasiwa Hubungan Internasional FISIP Unri, Voppi Rosea Bulki, mengucapkan terima kasih kepada Menteri Nadiem yang sudah mengeluarkan Permen PPKS. Ia, selaku pendamping mahasiswi korban, meminta perlindungan akademik bagi korban dan dirinya yang sudah mengungkapkan kasus kekerasan seksual di Unri.
“Kami tidak ingin kasus pelecehan seksual menjadi budaya, yang terus-menerus menjadi hal biasa, yang terdengar dari kalangan mahasiswa Universitas Riau. Mohon diusut tuntas predator pelaku pelecehan seksual, pak. Jangan biarkan pelecehan seksual sebagai hambatan kami untuk menjadi pemimpin di masa depan,” kata Voppi, berharap pada Nadiem.
Pulihkan Citra BEM SI yang Tercoreng
Belum terlambat bagi pengurus BEM SI memberikan dukungan terhadap Permen PPKS. Dan dukungan BEM SI terhadap permen ini bisa memulihkan citra BEM SI yang sempat tercoreng.
BEM SI pernah menyerukan penundaan pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Ini terlihat dalam postingan di Instagram BEM SI pada September 2019.
Mereka bahkan menyerukan itu sambil melakukan aksi turun ke jalan di 3 titik berbeda, yaitu Palembang, Pontianak, dan Bali. Seruan ini disampaikan oleh Koordinator Forum Perempuan BEM SI 2019, Pina Kartina.
BEM SI mengakui, RUU PKS dibuat karena keresahan atas maraknya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Namun, menurut BEM SI, sejumlah pasal dalam RUU PKS dianggap memiliki makna yang multitafsir, seperti pasal 12, 15, 18, dan 19. Karena itu, mereka menyerukan menunda pengesahan RUU PKS dan meninjau ulang secara matang.
Pandangan BEM SI terhadap RUU PKS tampak mirip dengan pandangan kelompok yang bersikap negatif dengan RUU itu, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), elemen mahasiswa sayap PKS.
Menurut mereka, RUU PKS dianggap mengakomodir tindakan seksual yang dilandasi suka sama suka dan mengakomodir kaum LGBT. Tudingan yang sama terhadap Permen PPKS.
Banyak yang menyatakan kekecewaannya atas seruan BEM SI itu. Salah satunya Ernest Prakasa. “Sikap BEM SI terhadap RUU PKS sungguh bikin ilfil ya. Yang begini mau jadi pemimpin masa depan,” cuit pelawak tunggal, sutradara, dan aktivis itu.
Mudah-mudahan BEM SI lekas memberikan dukungan untuk Permen PPKS. Jangan sampai muncul kesan BEM SI hanya peduli pada persoalan di luar kampus, sementara terhadap persoalan di dalam kampus mereka menutup mata. (Irwan/rio)