Jakarta, CSW – Para orangtua murid SDN Pondok Cina 1 Kota Depok kecewa banget mereka. Sekolah tempat anak-anak mereka belajar akan dihancurkan. Ratusan murid di sana juga harus rela diusir pindah ke dua sekolah negeri yang berada di kota Depok, yaitu SDN 3 dan SDN 5.
Ini semua terjadi karena ulahnya Walikota Depok, Mohammad Idris. Secara sepihak, tahun lalu dia mengatakan akan membangun masjid raya di wilayah yang sekarang merupakan lokasi gedung sekolah SDN itu.
Karena itulah bangunan sekolah yang harus dimusnahkan dan para muridnya harus pindah.
Para orangtua murid nggak terima dan melawan. Tiga lembaga hukum bersatu memperjuangkan hak-hak murid. LBH Partai Solidaritas Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, dan AMAR Law Firm bersatu membentuk Tim Advokasi SDN Pondok Cina 1.
Banding bersama-sama, mereka menggugat keputusan sang walikota ke PTUN Bandung. Upaya Tim Advokasi ini sebenarnya juga didukung dan dibenarkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Ombudsman, dan Komnas HAM. Apa mau dikata, Senin lalu, tanggal 11 September, PTUN menolak gugatan dengan alasan bahwa gugatan tersebut premature.
Wakil Tim Advokasi, Francine Widjodo, menyatakan tim Advokasi sedang mempertimbangkan untuk mengajukan banding. Kebijakan Mohammad Idris ini memang mengandung banyak kejanggalan.
Pembangunan masjid raya seharusnya dilakukan di ibu kota provinsi. Jadi seharusnya pembangunan masjid raya itu dilakukan di Bandung, bukan Depok. Ini saja sudah bermasalah. Rencana pembangunannya pun dilakukan dengan serba mendadak.
Tahun lalu, hanya dengan pemberitahuan seadanya, Walikota Depok menyatakan bahwa pada awal 2023 pembangunan masjid akan dimulai dengan dana APBD Provinsi Jawa Barat senilai Rp 18,8 miliar.
Walikota dengan mudah bilang, para murid SDN akan dipindahkan ke dua sekolah di Pondok Cina, yang tadi seperti saya bilang SDN 3 dan SDN 5. Murid kelas 1 sampai kelas 3 dipindahkan ke SDN 3. Sementara murid kelas 4 sampai kelas 6 dipindahkan ke SDN 5.
Guru-guru pun begitu, harus pindah ke dua sekolah itu.
Keputusan yang buru-buru dan serba nggak jelas ini ditolak para walimurid. Mereka marah karena pemerintah Depok sama sekali tidak menyediakan sekolah pengganti. Mereka menolak kalau anak-anak mereka dipindahkan begitu saja ke sekolah-sekolah baru yang sudah sesak, dan harus beradaptasi lagi dengan teman dan guru baru.
PSI bersama LBH Jakarta dan AMAR Law Firm kemudian memfasilitasi perlawanan oleh para walimurid. Kasus ini menarik perhatian publik waktu pada periode 7 November sampai 11 Desember 2022, banyak ketegangan di sana. Salah satu yang ramai diberitakan adalah waktu tanggal 11 Desember para walimurid berusaha menghadang kedatangan Satpol PP.
Satpol PP berusaha mengangkuti barang-barang di sekolah, dari meja, bangku, komputer, alat tulis dan sebagainya.
Para walimurid yang sebagian besar adalah ibu-ibu bergantian menjaga sekolah setiap hari.
Hadir pula para relawan yang terdiri dari mahasiswa, warga biasa, guru dari sekolah lain, yang bersedia menjadi guru pengganti. Gara-gara maraknya pemberitaan itu, akhirnya Pak Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memerintahkan pembangunan masjid dihentikan sementara.
Tim advokasi melakukan upaya hukum ke PTUN karena ketidakpastian status SDN 1 itu.
Ada empat alasan gugatan para orangtua murid. Pertama, tindakan Wali Kota Depok mempengaruhi kualitas dan standard pelayanan pendidikan bagi murid.
Kondisi psikis murid pun juga terpengaruh.
Sebagian murid mengalami stress menyaksikan konflik antara satuan polisi PP dengan orangtua mereka. Begitu juga pemindahan guru ke SDN Pondok Cina 3 dan SDN Pondok Cina 5 menyebabkan nilai dan prestasi murid terganggu. Padahal sebagian murid harus mengikuti ujian akhir yang menentukan kelulusan mereka.
Nih yang kedua, alasan pengalihfungsian sekolah menjadi masjid pun tidak didasarkan pada alasan yang jelas, berdasar, dan sah. Bahkan para orang tua tidak pernah diberi informasi secara jelas, transparan dan wajar terkait pengalihan sekolah menjadi masjid.
Walikota mengabaikan aspirasi, keberatan dan penolakan orangtua murid. Ketiga, Walikota tidak mempertimbangkan kepentingan murid ketika para murid harus pindah sekolah. Peleburan SDN 1 ke SDN 3 dan 5 dilakukan tidak dibarengi persiapan ruang kelas memadai.
Ternyata tidak cukup tersedia ruang di kedua sekolah tersebut untuk menerima kehadiran murid dari SDN 1. Yang terakhir, tindakan Wali Kota Depok bertentangan dan melanggar ketentuan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
Pengalihfungsian masjid itu tidak didasarkan pada kajian yang komprehensif Kebijakan Wali Kota Depok tidak dilakukan dengan melibatkan dan mengakomodasi aspirasi orangtua murid.
Pemusnahan sekolah juga dianggap tidak sah karena menurut ketentuan dalam Permendagri 19/2016, alih fungsi dan pemusnahan aset hanya dapat dilakukan terhadap barang milik daerah yang tidak digunakan. Tim Advokasi heran dengan keputusan PTUN yang mengabaikan empat faktor itu.
Menurut Francine, keputusan PTUN tersebut tidak memenuhi rasa keadilan. Tapi Tim Advokasi belum putus asa. Mereka masih akan terus memperjuangkan hak-hak orang tua murid. Apa yang dilakukan pemerintah kota Depok jelas merugikan masyarakat.
Masyarakat sipil harus menolaknya.