Jakarta, CSW – Kesinambungan keuangan adalah isu krusial bagi LSM di Indonesia. Banyak yang telah berubah dalam lingkungan pendanaan LSM dalam 15 tahun atau lebih, setelah jatuhnya Soeharto dan proses demokratisasi yang mengikutinya. Terlepas dari masuknya dukungan donor internasional untuk transisi demokrasi Indonesia, saat ini LSM menghadapi tantangan yang signifikan.
Hal itu terungkap dalam penelitian yang dilakukan Ben Davis dari NSSC (NGO Service and Study Centre), Australia. Davis menulis tesisnya tentang “LSM advokasi, transnasionalisme, dan ruang politik di Indonesia.” Saat bekerja di Jakarta untuk Departemen Luar Negeri Australia, dia mengelola program jutaan dollar yang mendukung LSM lokal, lembaga think tank dan penelitian.
Davis membuat penelitian berjudul “Financial Sustainability and Funding Diversification: The Challenge for Indonesian NGOs.” Meskipun penelitian ini dilakukan bekerja sama dengan Pemerintah Australia, tetapi analisis dan temuan yang disajikan mewakili pandangan Ben Davis sendiri dan tidak selalu mewakili pandangan Canberra.
Menurut Davis, sejumlah faktor telah berkontribusi pada tantangan finansial bagi LSM di Indonesia:
Pertama, pendanaan dari donor internasional sedang menurun. Hanya segelintir lembaga donor internasional yang masih menyediakan dana untuk sektor LSM di Indonesia. Ini adalah hasil dari kemunculan Indonesia sebagai Negara Berpenghasilan Menengah Bawah (Lower Middle-Income Country) pada 2006, dan persepsi bahwa sejak 2004, Indonesia telah berhasil mengkonsolidasikan demokrasinya dan berada dalam posisi politik yang relatif stabil.
Kedua, hubungan antara LSM nasional dan LSM sub-nasional kurang berkembang. Hal ini berdampak pada kemampuan LSM kecil untuk mengakses pendanaan, pengembangan kapasitas dan peluang jaringan. LSM kecil ini beroperasi sebagian besar dalam satu kota atau –dalam beberapa kasus– dua kota atau kabupaten, di mana beberapa kabupaten beberapa waktu lalu telah dipecah secara administratif.
Ketiga, struktur dukungan masyarakat sipil yang kuat belum terbentuk. Padahal, jika sudah terbentuk, hal ini akan memungkinkan LSM untuk mengembangkan kapasitas organisasi yang diperlukan, untuk mengakses pendanaan dari sumber-sumber non-tradisional.
Keempat, sumber pendanaan alternatif kurang berkembang. Di luar zakat, belum ada budaya filantropi institusional atau strategis yang kuat untuk mendukung sektor LSM di Indonesia. Selain itu, kurang adanya kerangka peraturan daerah yang sesuai dan insentif pajak, untuk mendukung dan mendorong kegiatan filantropi.
Kelima, hubungan antara LSM dan pemerintah telah berubah secara dramatis. Proses ganda demokratisasi dan desentralisasi yang terjadi setelah jatuhnya Soeharto membutuhkan cara yang jauh lebih canggih untuk keterlibatan. Ada peluang untuk bekerja lebih dekat dengan pemerintah, untuk menginformasikan pengembangan kebijakan dan melaksanakan program. Namun, tidak semua LSM memanfaatkan peluang ini.
Pendanaan Menurun dan Stagnan
Meskipun tidak ada data yang akurat untuk menunjukkan bahwa jumlah aktual keseluruhan pendanaan yang disalurkan ke sektor LSM menurun, secara tingkatan nyata (riil) tampaknya tetap stagnan dibandingkan dengan sektor perekonomian lainnya.
Bagian lain dari ekonomi, termasuk pemerintah dan sektor swasta, telah menjadi jauh lebih canggih. Sedangkan LSM masih beroperasi dengan cara-cara yang relatif tidak berubah di era pasca-Soeharto. Ini berarti bahwa cara berbisnis di Indonesia sedang berubah, tetapi LSM kurang mampu untuk menyesuaikan dengan perubahan itu.
Konteks ini menimbulkan tantangan bagi banyak LSM Indonesia, karena mereka masih bergantung pada pendanaan dari lembaga donor internasional. Ketika sumber pendanaan dari donor internasional ini sekarang mulai berkurang dan semakin tidak aman, ketersediaan sumber pendanaan lokal nyatanya juga tetap tidak mencukupi.
Temuan penelitian kualitatif menunjukkan, sebagian besar pendapatan yang masuk ke sektor LSM di Indonesia berasal dari lembaga donor internasional. Beberapa studi menunjukkan, pendanaan donor mencapai 85-90% dari total pendanaan untuk LSM.
Berdasarkan data yang dikumpulkan untuk NSSC, diperkirakan total pendapatan tahunan untuk semua LSM Indonesia pada 2013 hanya lebih dari AU$ 330 juta (Rp 3,4 triliun). Dari angka ini, Departemen Urusan Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) kemungkinan telah memberikan kontribusi sekitar 11% dari keseluruhan pendanaan untuk sektor ini. Atau, lebih dari 40% dari perkiraan pendapatan untuk LSM tingkat nasional, menurut tinjauan yang dilakukan untuk NSSC.
Temuan penelitian kualitatif menunjukkan, selain dari beberapa organisasi kemasyarakatan dan LSM yang disponsori pemerintah, sebagian besar LSM mengalami kesulitan mengakses dana publik dan perusahaan. Mereka juga jarang mengakses dana potensial pemerintah.
LSM advokasi sangat bergantung pada lembaga donor internasional untuk anggaran mereka. Sedangkan LSM yang lebih fokus pada pemberian layanan dapat mengakses peluang dari pemerintah dan sektor swasta.
LSM Indonesia jarang memiliki sumber pendanaan yang beragam. Seperti biasa secara global, LSM melaporkan ketergantungannya pada satu sumber pendanaan untuk kegiatan mereka. Data untuk LSM dari tingkat kota/kabupaten, provinsi dan nasional yang dikumpulkan selama penelitian untuk NSSC juga mendukung temuan ini.
Survei LSM menemukan, LSM kota/kabupaten yang terletak lebih jauh dari kota-kota besar atau perkotaan di ibukota kabupaten atau provinsi cenderung lebih mengandalkan kegiatan swadana. Sekitar 45% menyatakan, pembiayaan sendiri (self-funded) atau aktivitas untuk memperoleh pendapatan sendiri (earned-income activities) adalah sumber pendanaan yang paling penting.
Untuk LSM kota/kabupaten, pemerintah (5%) dan donor internasional (15%) bukanlah sumber pendanaan utama. Ini kontras dengan LSM yang berlokasi di ibu kota provinsi, yang terutama mengandalkan donor internasional (sekitar 45%) atau LSM nasional untuk pendanaan mereka (sekitar 15%). LSM nasional bahkan lebih cenderung mengandalkan donor internasional (70%) untuk pendanaan mereka. (rio)