Jakarta, CSW – Harian Kompas baru saja menerbitkan laporan investigatif yang pasti membuat malu sebagian perguruan tinggi di Indonesia. Kompas membongkar praktek-praktik curang di dunia akademik.
Perguruan tinggi kan seharusnya menjadi teladan buat pendidikan di Indonesia. Kita memandang hormat para professor, para guru-guru besar yang ada di kampus-kampus terkemuka.
Profesor itu guru besar loh, bukan guru kecil, bukan juga guru yang sedang-sedang saja. Guru besar itu sudah jabatan paling tinggi di kalangan pengajar. Jadi kita bayangkan mereka itu kan pasti udah super duper pinter di bidangnya dan pantas jadi teladan.
Sebelum lebih jauh, saya disclaimer dulu. Yang dimaksud di sini tentu bukan gelar professor kehormatan ya. Di Indonesia kan ada professor-profesor kehormatan. Yang dapat gelar itu misalnya Bu Megawati dan Pak SBY.
Nah kalau mereka tidak usah dinilai lagi tingkat intelektualitasnya. Mereka dapat gelar itu kan karena alasan politik. Jadi mereka nggak masuk dalam pembicaraan kita kali ini. Profesor yang akan kita bahas kali ini adalah guru besar yang meniti karir dari bawah.
Biasanya mereka mulai dari dosen biasa, terus naik ke rektor kepala, naik lagi ke rektor, dan di puncak adalah jadi professor. Untuk itu diperlukan waktu belasan atau bahkan lebih dari 20 tahun.
Jadi menjadi professor adalah indikator intelektualitas sekaligus pengabdian seorang dosen. Laporan investigatif Kompas mengubah citra itu. Kompas menunjukkan bahwa ternyata untuk menjadi professor bisa dilakukan dengan cara-cara curang dan licik.
Ini terkait dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi sebelum seseorang diputuskan berhak memperoleh gelar professor. Dia harus sudah jadi dosen selama minimal 10 tahun.
Dia harus punya gelar Doktor. Dia harus aktif mengajar, bikin penelitian, membimbing mahasiswa, dan melakukan pengabdian masyarakat. Dia harus dinilai memiliki keahlian dalam bidang ilmu yang ditekuni.
Dan ada satu lagi syarat, si dosen harus menulis karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi, yang disebut jurnal terindex Scopus. Bila dia sudah memenuhi semua persyaratan itu, pencalonannya akan dinilai oleh Dewan Guru Besar di kampusnya.
Bila lolos, pencalonannya kemudian dikirim ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi, menjadi professor itu butuh proses yang nggak mudah. Tapi yang paling berat adalah syarat menulis di jurnal terindex Scopus tadi.
Sebenarnya, mahasiswa S2 dan mahasiswa S3 juga harus menulis di jurnal ilmiah. Tapi nggak harus di jurnal internasional, apalagi jurnal internasional terindex Scopus. Kalau jurnal terindeks Scopus, jauh lebih sulit.
Untuk bisa menembus jurnal semacam itu, si dosen harus fasih menulis dalam bahasa Inggris atau bahasa internasional lain. Kualitas artikelnya pun harus tinggi, harus mendalam, dan digarap secara serius.
Maklumlah, jurnal-jurnal semacam itu memiliki dewan redaksi yang pakar bidangnya masing-masing, dan harus datang dari minimal empat negara. Di Indonesia juga sudah ada beberapa jurnal internasional berindeks Scopus.
Tapi tetap saja artikel si dosen akan dinilai oleh sejumlah reviewer dari beberapa negara berbeda. Review terhadap artikel yang dikirim ke jurnal dilakukan dengan secara ketat. Si dosen harus siap ditolak karyanya berulang kali di awal, sampai akhirnya bisa lolos diterima.
Prosesnya bisa memakan waktu sampai lebih dari satu atau dua tahun. Sebenarnya indeks Scopus pun ada tingkat-tingkatnya. Dari Scopus 1 yang paling tinggi sampai ke Scopus 4 yang paling rendah. Yang paling sulit untuk ditembus adalah yang Scopus 1.
Nah untuk bisa jadi professor, karya ilmiah itu bisa saja masuk ke Scopus 4. Tapi untuk bisa lolos ke sana pun perlu effort. Di sinilah ganjalan utama bagi banyak dosen di Indonesia. Ada banyak dosen yang tidak mau cukup berjuang, membuat penelitian dan kemudian menuliskannya sebagai artikel ilmiah.
Begitu juga ada banyak dosen yang sebenarnya tingkat pengetahuannya sedang-sedang saja sehingga sulit sekali untuk bisa menulis karya ilmiah yang bisa diterima di jurnal internasional.
Atau bisa saja si dosen sebenarnya pinter tapi tidak punya waktu untuk menulis artikel jurnal secara serius. Mereka mungkin sudah senior, sudah mengajar lebih dari 10 tahun, rajin mengajar, bikin penelitian, tapi tidak sanggup kalau harus menulis artikel dengan standard internasional.
Sebenarnya di Indonesia ini ada sih jasa-jasa asistensi pembuatan artikel yang bisa membantu dosen menyiapkan artikel untuk jurnal. Mereka bahkan membantu dosen mengirimkan artikel ke jurnal internasional.
Tapi pada dasarnya, mereka hanya membantu ya. Penulis naskah tetap harus dilakukan si dosen. Sementara yang dibongkar Kompas bukan yang seperti itu. Kompas menunjukkan bahwa di sejumlah kampus, si dosen menggunakan joki berbayar.
Kompas tidak menyebut berapa tarifnya, tapi pasti sangat mahal. Si joki ini bahkan membantu sejak awal menyiapkan rancangan penelitian, mengumpulkan data di lapangan, menyelesaikan naskah final, dan yang terakhir membuat artikel itu bisa diterima di jurnal.
Jadi paket lengkap. Kompas mengungkapkan contoh lain yang sama tidak etisnya. Caranya adalah si dosen membajak karya mahasiswa bimbingannya. Jadi dosen kan biasa menugaskan mahasiswa untuk menulis artikel ilmiah sebagai karya akhir.
Nah karya-karya terbaik dari para mahasiswa inilah yang kemudian dikirimkan ke jurnal internasional, dengan nama si dosen sebagai nama penulis utamanya. Nama si mahasiswa hanya dicantumkan sebagai penulis kedua.
Atau ada pula dosen yang memanfaatkan skripsi mahasiswa bimbingannya sebagai artikel yang dikirim ke jurnal internasional. Skripsi itu dibuat berdasarkan penelitian yang sepenuhnya dilakukan si mahasiswa.
Tapi di artikel jurnal tersebut, yang ditulis sebagai peneliti pertama adalah si dosen. Menurut Kompas, praktik-praktik semacam ini di dunia akademik di Indonesia terjadi massif dan sistematis.
Mudah-mudahan laporan Kompas ini bisa membuka mata para pengelola perguruan tinggi dan pemerintah untuk menghentikan praktik-praktik licik tersebut. Saya, Rizka Putri, undur diri.