Kontroversi Dana Asing ICW dan Klarifikasinya

404
Foto: ICW

Jakarta, CSW – Politisi Partai Gerindra Arief Poyuono mempertanyakan transparansi penggunaan kucuran bantuan dana program atau grant (hibah) yang diterima Indonesia Corruption Watch (ICW) baru-baru ini.

Menurutnya, ICW banyak menerima bantuan dari luar negeri. Dari informasi yang Arief terima, ICW menerima kucuran dana dari dua lembaga luar negeri di dua tahun yang berbeda.

Pada 2013, ICW menerima dana dari UNODC (United Nations Office of Drugs and Crime) melalui KPK sebesar 2,8 juta dollar AS dan Rp 1,4 miliar. UNODC adalah badan di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang fokus pada kampanye melawan penggunaan obat terlarang, tindakan kriminal, dan korupsi.

Lalu pada 2015, ICW juga dikatakan Arief menerima dari USAID sebesar 289 juta dollar AS. USAID adalah badan independen dari pemerintah AS, yang bertanggung jawab atas bantuan untuk bidang ekonomi, pembangunan, dan kemanusiaan untuk negara-negara lain dalam mendukung kebijakan luar negeri AS.

Menurut Arief, ICW diduga tidak pernah melakukan pertanggungjawaban penggunaan dana tersebut kepada publik. Kata Arief, pertanggungjawaban secara terbuka itu penting, agar pengelolaan uang itu terbukti dijalankan dengan bersih.

Ia juga merujuk aturan tentang penggunaan dana asing yang diterima setiap ormas dan LSM. “Tata cara penggunaan dana asing oleh ormas atau pun LSM telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 38/2008,” kata Arief.

“Pada pasal 40 Permendagri itu disebutkan, pelaksanaan penerimaan bantuan asing dan pemberian kepada pihak asing oleh ormas diinformasikan kepada masyarakat melalui media publik.”

Arief bahkan mensinyalir, bantuan luar negeri yang diterima ICW melalui KPK itu tidak  bisa dipertanggungjawabkan dan tidak bisa diaudit oleh BPK RI. Menurutnya, BPK RI pernah ingin melakukan audit dan menemukan kejanggalan dana ICW.

Namun, menurut Arief, keinginan itu langsung dibalas ICW dan Ketua KPK Abraham Samad dan kawan-kawan saat itu, dengan menetapkan ketua BPK RI Hadi Purnomo sebagai tersangka.

Kampanye Anti-Rokok dan Anti-Tembakau

Arief Poyuono bukan satu-satunya pihak yang mempertanyakan soal bantuan dana asing yang diterima ICW. Sebelum itu, sejumlah pihak juga sudah melakukan hal yang sama.

Anggota DPR RI dari PDI Perjuangan, Ribka Tjiptaning, pernah angkat suara ketika ICW dikabarkan mendapat kucuran dana dari Bloomberg Initiative, lembaga fund raising Amerika Serikat, pada Juni 2012. Menurut Ketua Komisi IX DPR RI periode 2009-2014 itu, ICW sebagai lembaga yang concern memberantas korupsi, ternyata terlibat dalam kampanye anti-rokok dan anti-tembakau.

Sebelum itu, ICW dikabarkan menerima dana sebesar 45.470 dollar AS dari Bloomberg Initiative. Dana tersebut ditujukan untuk mendukung pengurangan dampak buruk dari industri tembakau terhadap kesehatan masyarakat. Yakni, dengan mendukung perubahan mendasar dalam kebijakan pemerintah lewat diterbitkannya Rancangan PP Tembakau. Dana tersebut dikucurkan pada periode program bulan Juli 2010 hingga Maret 2012.

Tidak hanya ICW yang menerima dana dari Bloomberg Initiative. Sejumlah lembaga pemerintah dan nonpemerintah juga dikabarkan ikut menerima dana, di antaranya Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, dan Forum Warga Kota Jakarta (Fakta).

Ribka menilai, adanya kucuran dana itu salah satunya berujung pada rencana Kementerian Kesehatan mengeluarkan Rancangan PP Tembakau. Padahal, kata Ribka, rancangan aturan itu dikritik oleh 15 juta petani yang hidupnya tergantung pada industri tembakau.

“Kalau ICW selama ini menghajar saya soal ayat Tembakau yang hilang, lebih baik berkaca. Sekarang siapa yang benar dan siapa yang terima dana asing,” ujar Ribka. Ribka sebelumnya pernah dikritik oleh sejumlah lembaga karena diduga menghilangkan pasal pelarangan tembakau di UU Kesehatan.

Anggota Komisi IX DPR RI periode 2009-2014, Poempida Hidayatulloh, juga angkat suara untuk kasus yang sama. Ia mempertanyakan, apakah bantuan yang diterima ICW itu dana bersih, bukan hasil dari pencucian uang. Ia juga mempertanyakan, bagaimana ICW memastikan bantuan itu tidak terindikasi hasil pencucian uang dan mempertanggungjawabkannya.

Poempida juga menegaskan, bantuan asing harus patuh pada aturan, yakni tidak boleh melakukan intervensi kebijakan. “Ini kan dampaknya sudah banyak digunakan untuk mempengaruhi kebijakan,” katanya.

Tidak hanya dipertanyakan, ICW bahkan pernah beberapa kali dilaporkan ke penegak hukum karena menerima bantuan dana asing.

Pada Mei 2015, LSM Pekat Indonesia Bersatu melaporkan ICW ke Bareskrim Polri terkait aliran dana dari pihak asing. ICW dilaporkan dengan dugaan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pokok penggelapan.

Laporan itu terkait dugaan bahwa ICW menerima aliran dana dari Bloomberg Initiative. Dana tersebut diberikan untuk kampanye antirokok pada anak-anak Indonesia. Padahal ICW dikenal sebagai lembaga pemantau korupsi di Indonesia, bukan lembaga yang mengawasi masalah penggunaan rokok pada anak.

 

“‎Kami melihat banyak aliran dana asing yang masuk ke rekening mereka. Saya harap Bareskrim bisa periksa ICW dalam 1-2 hari ini. Saya yakin Polri mampu tangani kasus ini. Polri sekarang cukup beda dan lebih baik,” kata Ketua LSM Pekat, Lisman Hasibuan.

Lalu pada Juni 2021, ICW dilaporkan ke Kejaksaan Agung oleh lembaga Studi Demokrasi Rakyat (SDR). ICW dilaporkan karena menerima dana hibah asing. Selain itu, ICW juga dinilai melanggar Undang Undang Nomor 8 Tahun 2008 dan Permendagri 38/2007 terutama di Pasal 40 ayat 1 dan ayat 3.

“Selama ini ICW tidak pernah melaporkan dana-dana hibah yang diterima kepada publik, melainkan hanya dilampirkan saja di laman website-nya,” kata Direktur Eksekutif SDR, Hari Purwanto.

Klarifikasi ICW

ICW mengklaim, tuduhan bahwa pihaknya tak dapat mempertanggungjawabkan dana dari UNODC –yang mengalir lewat KPK selama periode kepemimpinan Abraham Samad dan kawan-kawan– bukan kali pertama. Isu ini kembali dihembus seiring dengan gencarnya ICW dan koalisi masyarakat sipil lainnya melakukan advokasi terhadap Test Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK, yang membuat 51 pegawai KPK harus berhenti.

ICW tidak membantah menerima bantuan dana UNDOC. Tapi jumlahnya tidak sebesar yang dituduhkan Arief Poyuono. Dan itu pun bukan melalui KPK. ICW mengaku hanya menerima Rp 1,4 miliar. Itu pun untuk 5 tahun pelaksanaan program, yaitu 2010-2014.

“Dana tersebut sebagian besarnya untuk membiayai kegiatan pelatihan bagi pegawai KPK dalam penguatan kapasitas, penelitian terkait ketentuan konvensi PBB Antikorupsi (United Nations Convention Against Corruption) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia sejak 2006, dan kampanye serta advokasi penguatan kebijakan antikorupsi di Indonesia.” Hal itu dinyatakan dalam materi klarifikasi ICW, yang ditandatangani Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo, yang diterima CSW.

Lebih jauh dijelaskan, kontrak kerjasama antara UNODC dengan ICW sejak awal ditujukan untuk penguatan kelembagaan KPK. Karena itu dibutuhkan persetujuan formal dari pimpinan KPK sebagai pengambil keputusan tertinggi di KPK. ICW mengklaim program yang didanai dari Uni Eropa itu juga telah diketahui dan disetujui untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia, sebagaimana prosedur hibah internasional yang berlaku.

Di luar program ICW-UNODC, ICW tidak menampik menjalin kerjasama dengan pihak donor lain, seperti USAID, Ford Foundation, atau kantor kedutaan negara sahabat. Tapi persetujuan prinsipil atas program hibah mau pun pelaksanaannya harus terlebih dahulu didapatkan dari perwakilan Pemerintah Indonesia.

Sikap dan Pandangan CSW

Menanggapi kasus ini, pertama-tama, CSW menghargai pihak-pihak yang memberi perhatian dan melakukan kritik terhadap ICW, terkait dana bantuan luar negeri. ICW sebagai LSM, yang merupakan bagian dari civil society, berperan penting dalam upaya menegakkan sistem demokrasi di Indonesia.

Oleh karena itu, memberi masukan atau kritik tentang transparansi keuangan LSM –dalam hal ini, ICW– merupakan bagian dari upaya mempromosikan tata kelola yang baik (good governance) dan mendorong tumbuhnya civil society yang sehat dan kehidupan demokrasi.

Namun, di sisi lain CSW juga sangat mengapresiasi ICW, yang telah bersikap terbuka dan bersedia menerima masukan atau kritik. ICW terlihat juga telah menanggapi kritik itu secara proporsional, dengan memberikan klarifikasi tertulis di ruang publik, yang siap untuk dicermati oleh semua pihak yang berkepentingan.

Dalam klarifikasinya itu, ICW secara eksplisit menyatakan tidak akan mengambil langkah hukum dengan melaporkan yang pihak-pihak yang dianggap menyebarkan tuduhan sesat terkait ICW. Sikap ICW ini sesuatu yang positif dan perlu dihargai. CSW memandang, ICW telah menunjukkan sikap yang matang dan dewasa.

CSW beranggapan, pasal pencemaran nama baik memang merupakan salah satu pasal yang berpotensi mengekang kebebasan berekspresi, sebagai bagian dari kehidupan demokrasi di Indonesia. Pasal tersebut dalam praktiknya mudah sekali disalahgunakan untuk membungkam suara kritis warga masyarakat.

Maka, kami di CSW lebih memilih menggunakan jalur dialog dan adu argumentasi, serta penyampaian bukti-bukti yang relevan, sebagai cara yang bermartabat untuk mencari solusi, menyatukan perbedaan pendapat, dan memperoleh kebenaran dalam berbagai isu. Semua itu ditempatkan dalam kerangka kehidupan berdemokrasi. Dengan cara demikian, kami di CSW yakin, demokrasi Indonesia akan tumbuh sehat dan terus bertahan. (iir/rio)