Jakarta, CSW – Akhirnya nih, Indonesia punya Kitab Undang-undang Hukum Pidana baru. Kemarin, 6 November, KUHP baru itu disahkan. Ini luar biasa. KUHP yang digunakan selama ini sebenarnya adalah peninggalan pemerintah Belanda.
Pertama kali diluncurkan pada 1918. Ketika Indonesia lahir, KUHP itu terus dipertahankan, dengan bahasa Indonesia tentunya. Setelah Indonesia merdeka, ada upaya untuk merevisinya. Pada tahun 1963, RUU nya mulai dibahas di DPR.
Tapi nggak pernah jadi. Berulang-ulang dicoba ditulis ulang, tapi selalu ada saja alasan untuk membatalkannya. Nah sekarang nih, akhirnya DPR dan pemerintah bisa merampungkan KUHP baru.
Bayangkan, Rancangan KUHP ini digodok sekitar 59 tahun. Jadi apa yang dicapai sekarang ini harus dipuji. Sebenarnya sebelum diluncurkan, tetap ada banyak kritik dan kecaman terhadap RKUHP ini.
Beberapa LSM terus menolak RKUHP. Antara lain: Aliansi Jurnalis Independen, LBH Jakarta, dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Salah satu tuduhan adalah RKUHP ini bertentangan dengan pasal-pasal kebebasan berpendapat dan demokrasi.
Penolakan juga ditujukan pada pasal pelarangan perzinahan. Tapi menurut kami di CSW, tuduhan-tuduhan itu berlebihan. KUHP yang baru ini sangat layak dipuji. Ada banyak pasal yang menunjukkan kemajuan.
Nih misalnya ya, dalam draft memang sempat ada pasal pelarangan penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Nah, dalam versi akhir UU KUHP, pasal itu dihilangkan.
Begitu juga para pengeritik mempersoalkan adanya pasal larangan Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan/atau Wakil. Di mata pemrotes, larangan ini akan membuat Presiden dan Wakil tidak bisa dikritik,
Ini kan nggak nyambung? Kalau dibaca, KUHP ini sama sekali tidak melarang warga mengeritik atau mengecam Presiden. Yang dilarang adalah merendahkan atau merusak nama baik, termasuk menista atau memfitnah.
Jadi, yang dilarang adalah menyebut Presiden dengan sebutan kata-kata kotor, nama binatang, atau keturunan PKI. Tapi kalau cuma bilang ‘Presiden ingkar janji’, atau ‘Presiden payah’ tentu diizinkan.
Menghina tentu berbeda dengan kritik yang merupakan hak berekspresi dan hak berdemokrasi. Dalam negara demokratis, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi.
Syukurlah, UU KUHP ini tetap mengizinkan kritik terhadap Presiden. Oh iya, kalau Presiden sampai merasa direndahkan atau dihina, harus Presiden sendiri yang mengadukannya ke polisi.
Jadi nggak bisa para pendukung Jokowi karena merasa marah pimpinannya direndahkan oposisi, lantas mengadukan penghinaan tersebut ke polisi. Ini cukup adil sih, rasanya.
Selain itu ada banyak hal penting lainnya.
KUHP baru tidak hanya memuat ancaman pidana penjara, tapi juga ada pilihan ancaman hukuman denda dan kerja sosial. KUHP juga mengurangi ancaman pidana penjara bagi orang yang melakukan pencemaran nama baik.
Di KUHP lama, pidananya penjara maksimal 12 tahun. Dalam pasal KUHP baru, hukumannya dikurangi menjadi 9 bulan penjara. Yang menarik juga pasal perzinahan. Perzinahan adalah hubungan seks antara pasangan yang tidak terikat dalam pernikahan.
DI KUHP ini, perzinahan tetap dilarang, tapi yang bisa mengadukan hanyalah pasangan, ayah/ibu, atau anak. Delik aduan menutup peluang polisi atau warga menggerebek orang yang dianggap berzinah, kecuali atas laporan keluarga inti tadi.
Pasal penodaan agama yang dalam KUHP lama bersifat karet sekarang sudah direvisi. Ingat kasus Ahok? Dia kan dulu dianggap menghina agama karena melakukan interpretasi terhadap ayat Al Quran yang dianggap berbeda dari penafsiran banyak ulama.
Dalam KUHP baru, itu tidak dianggap penghinaan agama. Yang sekarang dimaksud penghinaan agama adalah orang yang menyebarkan kebencian atau permusuhan terhadap agama atau keyakinan orang lain.
Yang menarik juga, dalam KUHP ini, hakim punya hak memberi maaf. Walau seseorang terbukti bersalah, hakim bisa memberikan maaf walau dengan syarat dan ketentuan tertentu.
Ini bisa diterapkan untuk kasus-kasus ringan. Misalnya saja ada kasus nenek yang dipidana karena tanpa izin mengambil kayu yang bukan miliknya. Kasus semacam ini sudah berulangkali terjadi.
Agar prinsip keadilan terjaga, dalam KUHP baru hakim berwenang membebaskan terdakwa yang terbukti bersalah dari hukuman pidana. Juga ada keringanan bagi terpidana hukuman mati. Sekarang terpidana masih punya waktu jeda untuk tobat.
Jika dalam masa jeda 10 tahun, terpidana bertobat dan menunjukkan kelakuan baik, hukumannya bisa diturunkan menjadi pidana penjara seumur hidup atau 20 tahun. Jadi ada banyak pasal yang menunjukkan asas penegakan keadilan yang dipandang korektif, rehabilitasi dan retroaktif.
Kita harapkan KUHP baru ini membawa keadilan yang sesungguhnya bagi bangsa Indonesia.