Mahasiswi Melawan Kekerasan Seksual Para Dosennya

713
foto dok. Koran Tempo

Jakarta, CSW – Majalah Tempo terbaru memuat laporan utama tentang kekerasan seksual di kampus. Dan hasil investigasi Tempo sungguh menakutkan. Tempo menurunkan sejumlah cerita tentang bagaimana kekerasan seksual terjadi di kampus-kampus ternama.

Yang paling banyak diangkat adalah Universitas Indonesia. Dan pelakunya antara lain adalah dosen senior yang selama ini dihormati karena karya-karyanya. Dia adalah seorang guru besar terkemuka. Bahkan pernah menjadi anggota DPR.

Sang profesor memang dikenal sebagai dosen yang genit. Menurut salah satu koleganya, kekerasan seksual sudah terjadi selama 30 tahun. Dan selama ini tidak ada yang berani menghentikannya.

Tempo menampilkan modus kekerasan secara cukup terperinci. Salah seorang mahasiswi yang berani bicara ke Tempo adalah Ritika. Dia bercerita tentang bagaimana dia dijebak sehingga terpaksa berada satu taksi dengan sang dosen.

Di perjalanan, si dosen memegang tangan dan paha Ritika. Menjelang Ritika turun dari taksi, si dosen bahkan sempat mencium bibirnya.

Mahasiswi lain, bernama Gayatri, melaporkan kejadian yang serupa. Saat bimbingan skripsi di ruang kerja si dosen, Gayatri sempat dipeluk.

Gayatri selamat dan melaporkan ke jurusan Ilmu Politik. Tapi karena skripsinya sudah setengah jalan, Gayatri melanjutkan bimbingan. Hanya saja, sejak saat itu, ia tidak mau menemui sang dosen sendirian.

Pelaku kekerasan seksual ini bukan cuma si dosen senior. Tempo juga mengangkat kasus dosen Fakultas Hukum yang terkenal karena sering muncul di layar televisi. Beberapa tahun lalu dia diketahui berhubungan terlalu jauh dengan mahasiswinya.

Si mahasiswi mengakui bahwa dia diperkosa. Si dosen menyatakan hubungan terjadi karena suka sama suka. Akhirnya si dosen ini diberi sanksi etik, dan keluar dari UI.

Maraknya kekerasan seksual menyebabkan dua mantan mahasiswi berinisiatif membuat pos pengaduan di UI. Namanya HopeHelps. Selama 2019-2020, mereka menerima 47 pengaduan kekerasan seksual. Tahun ini saja, sudah ada 31 pengaduan yang masuk. Padahal saat ini adalah masa kehidupan kampus tidak aktif, karena kuliah dari rumah.

HopeHelps kini memiliki perwakilan di 15 kampus di Jawa dan Bali.

Begitu juga sekarang menyebar kisah tentang dosen yang terpilih sebagai salah seorang Dekan di UI. Ini memang tidak ada dalam laporan Tempo. Tapi ramai dibicarakan setelah Tempo memuat laporan tentang kekerasan seksual di kampus.

Seperti yang terjadi di Fakultas Hukum, si dosen ini pernah menghamili mahasiswinya. Kasusnya bahkan sudah sempat dilaporkan ke HopeHelps. Tapi belakangan, si pelapor menarik pengaduannya.

Dan kini si dekan melenggang menjadi Dekan. Yang dilaporkan Tempo bukan cuma UI. Ada juga UGM dan Universitas Multimedia Nusantara.

HopeHelps di UGM tahun ini sudah menerima 12 pengaduan kekerasan seksual. Di sana juga sudah diluncurkan peraturan khusus untuk menangani kekerasan seksual.

Di UMN kasus-kasus kekerasan seksual ini bahkan terbongkar gara-gara tugas akhir empat mahasiswi jurnalistik. Berkat tulisan mereka, seorang dosen yang diketahui sering bertindak tak senonoh diberhentikan.

Laporan Tempo ini menjadi sangat penting karena adanya kontroversi peraturan Menteri Pendidikan Nomor 30 tahun 2021.

Dalam Peraturan Menteri tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi ini, termuat banyak ketetapan yang akan melindungi korban dan menghukum pelaku.

Sayangnya, aturan ini terus diprotes sejumlah kelompok Islam. Yang menolak antara lain adalah Muhammadiyah, Partai Keadilan Sejahtera, dan Koalisi Ormas Islam.

Salah satu tuduhan yang dilontarkan adalah aturan tersebut akan melegalkan hubungan seks bebas di kampus. Tuduhan ini terjadi dikarenakan aturan ini memang hanya menghukum perilaku seksual yang dilakukan tanpa persetujuan.

Dengan kata lain, peraturan ini tidak mengatur sama sekali perilaku seksual yang dilakukan suka sama suka.

Tentu saja tuduhan ini berlebihan. Pemerintah tidak melahirkan peraturan ini begitu saja di belakang meja. Mereka melakukan penelitian dan mencari data di 79 kampus. Mereka membentuk berbagai tim kajian. Mereka memperoleh masukan dari banyak pihak.

Dari sanalah pemeritah tahu betapa maraknya kekerasan seksual di kampus. Berdasarkan penelitian diketahui 77% responden mengakui pernah mengetahui adanya kekerasan seksual di kampusnya. Namun 63% menyatakan tidak pernah melaporkan kekerasan seksual tersebut.

Kekerasan seksual ini bisa terus terjadi karena pada umumnya pelakunya adalah mereka yang memiliki kekuasaan atas korban.

Yang paling menonjol adalah kekuasaan dosen atas mahasiswi. Korban adalah mahasiswi yang merasa nasibnya tergantung pada sang dosen. Misalnya terkait dengan nilai mata kuliah atau kelulusan skripsi.

Dalam kondisi semacam itu, si dosen merasa bisa melakukan apa saja. Apalagi kalau ini terjadi saat skripsi sudah setengah jadi. Ada mahasiswi yang akhirnya pasrah melakukan apa yang diinginkan si dosen.

Sebagian berkompromi. Selama apa yang dilakukan si dosen tidak terlalu jauh, si mahasiswi masih mengiya-iyakan.

Kalau baru merayu-rayu atau memegang-megang tangan atau bahu, masih dituruti. Paling si mahasiswi akan mengajak teman prianya untuk menemani kalau bertemu si dosen.

Tapi kadang hubungan menjadi terlalu jauh. Bahkan sampai tahap dihamili sang dosen.

Namun begitu kasus ini terungkap, si mahasiswi akan turut disalahkan. Seolah ini terjadi karena suka sama suka.

Yang juga sering menakutkan korban adalah ancaman gugatan balik. Dalam kasus Universitas Riau, si Dekan melaporkan balik si korban. Ini lazim terjadi. Apalagi kasus kekerasan seksual tergolong sulit dibuktikan.

Akibatnya, banyak korban yang takut melapor. Kalaupun berani, mereka tak tahu harus melapor ke mana. Pihak pimpinan seringkali juga bingung apa yang harus dilakukan ketika diketahui seorang dosen melakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswinya.

Payung hukumnya tidak ada. Apalagi selama ini ada semacam budaya memaklumi pelaku dan menyalahkan korban. Pimpinan kampus mendiamkan karena si pelaku misalnya adalah tokoh terkemuka.

Karena selama ini mereka adalah pengajar yang baik, berprestasi, melahirkan banyak karya ilmiah, mereka akan dianggap sebagai aset kampus. Karena posisinya itu, perilaku mereka akan dilindungi.

Sebaliknya, si mahasiswi yang berani bicara akan dituduh macam-macam. Para pengajar pun akan saling menutupi aksi kekerasan ini. Ketika si mahasiswi melapor, laporan itu akan didiamkan.

Mungkin jadinya berhenti di desas-desus. Tapi kemudian tidak ditindaklanjuti.

Yang mendiamkan ini bukan cuma dosen pria. Dosen perempuan pun bisa begitu. Dengan kondisi semacam ini, jelas aturan Mendikbud tentang kekerasan seksual di kampus menjadi sangat penting.

Aturan ini menetapkan langkah-langkah untuk mencegah kekerasan seksual. Aturan ini juga menetapkan sanksi yang berat bagi para pelaku kekerasan seksual. Bahkan aturan ini akan memberikan sanksi bagi kampus yang tidak patuh menerapkan aturan ini.

Mudah-mudahan masyarakat bersedia mendukungnya.