MENGAPA IDI MEMECAT TERAWAN?

313

Jakarta, CSW – Ikatan Dokter Indonesia memberhentikan mantan Menteri Kesehatan dr Terawan Agus Putranto dari keanggotaan IDI. Pemberhentian ini menimbulkan kehebohan. Dr Terawan memang kontroversial. Ia dikenal dengan metode cuci otak untuk penyembuhan stroke. Metode ini tidak pernah diakui oleh komunitas dokter di Indonesia. Ia juga melahirkan Vaksin Nusantara yang juga tidak diakui Badan POM

Namun di sisi lain, ia dianggap punya reputasi dan terobosan yang mengagumkan. Ia sempat menjadi dokter kepresidenan baik di era SBY dan Jokowi. Ia pernah menjabat sebagai Kepala RSPAD tahun 2015. Ia mengklaim sudah menyembuhkan puluhan ribu pasien lewat metode cuci otaknya. Ia juga sempat diangkat menjadi Menteri Kesehatan ketika Jokowi naik jadi presiden pada 2019. Karena itu ketika kini IDI menyatakan memecat Terawan, dukungan pun mengalir terhadapnya.

Bahkan beredar hashtag #bubarkan IDI. Wakil Ketua DPR Sufini Dasco Achmad menganggap keputusan IDI membahayakan masa depan dunia kesehatan di Indonesia. Keramaian ini mirip dengan apa yang terjadi pada 2018. Ketika itu muktamar IDI mengeluarkan rekomendasi agar Dr Terawan diberhentikan sementara. Saat itu, serangan pada IDI gencar dilakukan.

Yang bicara pun bukan tokoh main-main. Ada SBY, Abu Rizal Bakrie, Prabowo Subianto, dan Dahlan Iskan. SBY bahkan membuat video delapan menit khusus untuk membela Terawan. Mereka menyatakan mereka sudah merasakan manfaat pengobatan dengan cara cuci otak ala Terawan. Namun, kecaman itu tak bisa melunturkan sikap IDI. Pertanyaannya: apakah IDI layak memecat Terawan dan apa akibatnya?

Kita bicara dulu tentang IDI. Dalam sebuah masyarakat demokratis, kehadiran asosiasi profesi sangatlah penting. Ini terutama terkait dengan penegakan standard etika dan disiplin perilaku. Ada anggapan bahwa yang paling tahu soal etika dan disiplin perilaku sebuah profesi adalah mereka yang bergerak di profesi itu sendiri. Salah satu tugas utama Ikatan Dokter Indonesia adalah menjaga etika dan disiplin para dokter.

Etika IDI ini menjadi sangat penting karena profesi kedokteran menyangkut kesehatan atau nyawa manusia. Apa yang akan terjadi kalau dokter melakukan malpraktik sampai merugikan kesehatan pasien? Atau dokter sembarangan memberikan obat yang diraciknya sendiri? Bahkan baru-baru ini ada kasus seorang dokter muda yang menyebarkan video reka adegan persalinan di medsos.

Dokter semacam itu harus diberi sanksi. Dan yang bisa memberikan sanksi adalah organisasi profesinya. Kalau seorang dokter melanggar kode etik IDI, dokter itu memang tidak bisa kena hukum pidana. Tapi dalam kasus IDI, keputusannya bisa berdampak pada karier professional seorang dokter. Ini terutama terkait Surat Izin Praktek yang harus dimiliki setiap dokter. SIP sebenarnya dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan.

Namun SIP baru bisa keluar kalau ada rekomendasi aosisasi profesi. Di Indonesia, satu-satunya asosiasi profesi yang diakui adalah IDI. Jadi IDI memberikan dan bisa juga mencabut rekomendasi itu. Inilah yang sekarang terjadi pada dokter Terawan. IDI mencabut surat rekomendasinya, sehingga dr Terawan tidak bisa berpraktek.

Pertanyaannya: apa ada cukup alasan bagi IDI untuk memberhentikan Terawan? Keberatan terhadap Terawan sebenarnya sudah dimulai pada 2013. Saat itu sudah banyak yang mempersoalkan metode cuci otak yang digunakan Terawan Majelis Kehormatan Etika Kedokteran IDI sudah meminta Terawan memberikan bukti ilmiah bahwa metode tersebut efektif dan aman untuk dilakukan. Terawan semula berjanji akan menuliskan dasar-dasar medis metodenya dalam majalah neurologi di akhir 2013.

Ternyata tulisan itu tidak pernah dibuat Terawan. Di tahun-tahun berikutnya, laporan terus masuk ke meja IDI. Salah satu kritik utama datang dari Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia (Perdossi), pada 2016. Karena itulah pada 2018, kasus Terawan secara khusus dibahas dalam Muktamar IDI. IDI memutuskan Terawan karena melakukan pelanggaran berat dengan sejumlah alasan. Pertama, mengiklankan diri secara berlebihan. Ketika itu beredar iklan di Youtube mengklaim bahwa kelumpuhan dapat disembuhkan dalam waktu kurang dari 30 menit melalui metode Terawan.

Kedua, Terawan tidak kooperatif pada sidang Majelis. Terawan tak memenuhi panggilan berulangkali Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI sejak sidang pertama pada pada 5 Januari 2015. Menjelang Muktamar, Terawan kembali dipanggil, tapi tetap mangkir. Ketiga, Terawan menarik bayaran dalam jumlah besar pada tindakan yang belum ada bukti medisnya. Tarif Terawan dikabarkan berkisar Rp 30-40 juta.

Masalahnya, Terawan tidak kunjung bisa membuktikan bahwa metodenya dapat diandalkan menurut ilmu kedokteran. Untuk diakui, Terawan seharusnya membuktikan melalui uji klinis secara berkelanjutan. Dimulai dengan percobaan pada hewan, untuk kemudian dilanjutkan dengan manusia. Hasilnya harus dipublikasikan di jurnal. Dan juga harus dinilai dan memperoleh sesama sejawat dokter.

Terawan menyatakan metodenya sudah diuji sehingga ia memperoleh gelar doctor di Universitas Hasanuddin. Namun para promotornya di sana juga menyatakan mereka sendiri begitu saja mempercayai apa yang dikatakan Terawan tanpa pernah meneliti sendiri. Keempat, menjanjikan kesembuhan pada pasien. Secara etis ini tidak diizinkan karena sebenarnya metode apapun tidak bisa sepenuhnya diyakini bisa menyembuhkan pasien. Keempat alasan itulah yang menyebabkan Muktamar IDI merekomendasikan pencabutan sementara keanggaotan Terawan sebagai anggota IDI.

Dalam keputusan Muktamar itu juga dinyatakan bahwa Terawan harus bisa mempertanggungjawabkan metode yang ia gunakan. Bila Terawan tidak juga menunjukkan itikad baiknya, Mukatamar meminta IDI memecat Terawan secara permanen. Pemecatan Terawan saat ini adalah kelanjutan keputusan Muktamar 2018 tersebut. Terawan dianggap tidak menunjukkan itikad baik karena sampai sekarang tidak bisa menunjukkan bukti bahwa metodenya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Tapi bukan itu saja. Terawan dianggap tidak berniat baik saat ini karena juga melakukan beberapa hal . Pertama, ia melakukan promosi kepada masyarakat luas tentang Vaksin Nusantara sebelum penelitian vaksin tersebut selesai. Kedua, Terawan tiba-tiba saja menyatakan dia adalah Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Klinik Indonesia (PDSRKI) Padahal organisasi tersebut tidak pernah diakui IDI.

Ketiga, Terawan menerbitkan Surat Edaran (SE) pada 11 Desember 2021 yang berisikan instruksi kepada seluruh ketua cabang dan anggota PDSKRI di seluruh Indonesia, Terawan menginstruksikan para anggota PDSKRI agar tidak merespon ataupun menghadiri acara PB IDI. Karena itulah, terawan dianggap tidak memiliki itikad baik. Kita tentu prihatin dengan kasus ini Karena itu nampaknya sekarang semua bergantung pada dokter terawan. Sebaiknya dokter Terawan melakukan pembuktian ilmiah tentang metode cuci otak yang digunakannya. Dengan pengalamannya selama ini, tidak sulit rasanya bagi dia untuk melakukannya.