Mengungkap Korporatisasi Aktivitas Protes Global

506
Protest Inc.: The Corporatization of Activism. Peter Dauvergne and Genevieve LeBaron (eds.). Cambridge: Polity Press, February 2014.

Jakarta, CSW – Aktivitas NGO (non-governmental organization) atau yang di Indonesia lebih populer dengan istilah LSM (lembaga swadaya masyarakat) sudah cukup lama berlangsung. Tetapi seberapa efektif sebenarnya aktivitas LSM tersebut? Dan apakah aktivitas itu betul-betul “murni,” dalam arti tidak ada kepentingan lain yang menyusupinya?

Bagaimana aktivisme politik dapat memberikan dampak yang lebih besar? Dalam bukunya Protest Inc., Peter Dauvergne dan Genevieve LeBaron berpendapat, pada saat ini korporatisasi protes telah memberi kita sedikit lebih dari ilusi aktivisme. Aktivitas tersebut melayani keinginan dan kegelisahan warga untuk melakukan sesuatu (walaupun dengan cara mereka sendiri). Tetapi pada akhirnya, aktivitas itu gagal mencapai akar penyebab sebagian besar masalah global.

Menurut peneliti dari Sekolah Kebijakan Sosial, Sosiologi, dan Riset Sosial di Universitas Kent, Inggris, Alex Hensby, buku karya Dauvergne dan LeBaron itu merupakan serangan marah, frustrasi, dan pesimistis terhadap kondisi protes dan aktivis saat ini. Tetapi apa yang harus dilakukan tentang hal itu, sepertinya tidak ada yang tahu. Buku ini adalah bacaan provokatif bagi mereka yang tertarik dengan politik protes dan masa depan LSM dan gerakan sosial.

Dekade terakhir ini adalah waktu yang menarik untuk mempelajari gerakan sosial. Antara 2010 dan 2012, kita melihat gerakan Musim Semi Arab (Arab Spring), protes anti-pengetatan di Yunani dan Spanyol, protes mahasiswa di Chili, Kanada dan Inggris, serta kebangkitan (dan kejatuhan) Wikileaks. Belum lagi menyebut Gerakan Pendudukan (Occupy Movement) global. Kebangkitan ini telah mengilhami banyak cendekiawan untuk mempelajari perangkat-perangkat baru yang tersedia tentang perbedaan pendapat dari kalangan para aktivis.

Suram dan Pesimistis

Publikasi terbaru oleh Manuel Castells dan Paul Mason tentang berbagai aktivitas protes itu, antara lain, menekankan kekuatan jaringan organisasi dan komunikasi yang cepat dan lancar, yang dibantu oleh teknologi komunikasi dari sumber-sumber terbuka.

Para penulis ini biasanya enggan untuk mencoba dan menuliskan resep untuk masa depan aktivitas protes semacam itu. Meski demikian, mereka setidaknya menemukan alasan untuk melihat optimisme dalam perjuangan aktif para aktivis melawan represi negara, dan menolak mantra neoliberal bahwa “tidak ada alternatif.”

Mengingat konteks seperti ini, mungkin tampak mengejutkan bahwa –dalam penilaian mereka tentang kesehatan kontemporer gerakan sosial global– Dauvergne dan LeBaron menghasilkan buku yang begitu suram dan pesimistis terhadap prospek gerakan tersebut.

Dalam Protest Inc.: The Corporatization of Activism, kedua penulis berpendapat bahwa kita tidak hanya melihat tren menuju korporatisasi politik negara, tetapi juga korporatisasi protes. Hal ini paling jelas terlihat dalam cara kelompok advokasi, LSM, dan organisasi gerakan sosial (SMO, social movement organization) semakin mengejar kemitraan dengan perusahaan-perusahaan yang seharusnya mereka lawan.

Pada saat yang sama, gerakan akar rumput mendapat tekanan baru dari apa yang oleh kedua penulis disebut sebagai “sekuritisasi perbedaan pendapat” dengan negara-negara, yang mengizinkan taktik polisi militer terhadap pengunjuk rasa.

Buku Protest Inc. mencerminkan keberadaan kapitalisme global yang paling merusak, yang menekan para aktivis untuk jatuh ke dalam arusnya, dengan memberikan solusi yang ramah terhadap masalah-masalah dunia. Tentu saja, Dauvergne dan LeBaron berpendapat, solusi semacam itu tidak menentang apa yang telah menjadi titik buta penting dalam lingkup aktivis yang terkorporatisasi, yaitu kapitalisme global itu sendiri.

Ditransfer Secara Diam-diam

Menurut pengamatan Hensby, buku ini mengacu pada campuran tema lama dan baru. Bagi banyak ilmuwan politik, diskusi tentang individualisasi dan penurunan modal sosial (Bab 4), dan pelembagaan organisasi aktivisme (Bab 5), sudah tidak asing lagi. Namun, studi kunci tertentu – terutama karya Jordan dan Maloney yang berjudul The Protest Business? — anehnya tidak diulas di buku ini.

Tentu saja, buku ini membuat diskusi ini menjadi up to date. Sementara LSM dan SMO secara tradisional menyadari telah menerima dana langsung dari perusahaan-perusahaan,  Dauvergne dan LeBaron menunjukkan, bagaimana inisiatif perantara dan yayasan –seperti Global Fund to Fight AIDS (Dana Global untuk Memerangi AIDS)– memungkinkan dana itu untuk ditransfer secara lebih diam-diam .

Banyak juga yang dihasilkan dari meningkatnya jumlah eksekutif-eksekutif perusahaan di dalam dewan-dewan LSM. Mungkin yang paling kontroversial, logo Perdagangan yang Adil (Fair Trade) mulai muncul di berbagai merek yang tidak biasa, seperti Nestlé dan Starbucks.

Beberapa orang mungkin melihat hal ini sebagai cerminan pergeseran, dalam praktik perusahaan menuju perdagangan yang etis dan keberlanjutan. Namun, kedua penulis berpendapat, dengan memberikan tanda moral kapasitas Fair Trade, kapasitas LSM untuk secara terbuka mengritik praktik-praktik yang lebih jahat dari perusahaan-perusahaan ini telah rusak.

Meskipun kritik Dauvergne dan LeBaron terhadap LSM dan SMO umumnya meyakinkan, pembingkaiannya terkadang bermasalah. Tersirat di seluruh buku bahwa hubungan yang mendalam antara perusahaan dan masyarakat sipil global secara efektif menunjukkan kooptasi LSM dan SMO oleh perusahaan.

Banyak aktivis merasa muak dengan cara perusahaan tertentu mengekspresikan kredensial etis mereka. Meski begitu, Hensby membantah implikasi bahwa semua LSM atau SMO bersalah mengorbankan cita-cita mereka dengan menghubungkan dengan perusahaan.

Faktanya, banyak LSM atau SMO yang selalu melihat kapitalisme sebagai bagian dari solusi daripada masalah. Mereka tidak akan melihat disonansi kognitif, katakanlah, ketika KFC mendukung kampanye kesadaran untuk melawan kanker payudara (hal. 45).

Banyak juga yang akan membela keuntungan yang nyata dan bisa dihitung, yang diperoleh melalui perdagangan yang adil dan kebijakan pelabelan ramah lingkungan. Jadi, alih-alih sekadar masalah kooptasi, Hensby berpendapat, ini malah mencerminkan perbedaan lama antara suara liberal dan suara kiri dalam masyarakat sipil global, tentang apa lingkup yang ada dan yang seharusnya seperti apa.

Pertanyaan Serius

Akibatnya, buku ini mengajukan pertanyaan serius kepada pembaca: Apakah kita ingin LSM dan SMO yang bekerja dengan perusahaan-perusahaan, menekan perusahaan-perusahaan itu untuk mengubah nilai dan praktik-praktik mereka? Atau, haruskah kelompok-kelompok LSM dan SMO ini mempertahankan sikap independensi kritis? Dauvergne dan LeBaron tampaknya mendukung posisi yang terakhir, yang mencerminkan politik buku ini yang secara diam-diam sebetulnya radikal.

Tentu saja, kedua penulis mungkin berpendapat bahwa mengklaim kritik terhadap kapitalisme global sebagai “radikal” adalah gejala dari masalah yang dihadapi saat ini. Kritik semacam itu merupakan inti dari Gerakan Pendudukan global. Tetapi Dauvergne dan LeBaron tidak memiliki optimisme yang sama dengan banyak penulis lain tentang hal ini.

Seperti yang mereka perdebatkan di Bab 3, gerakan akar rumput semakin terinjak-injak oleh kebijakan kepolisian yang disekuritisasi. Kedua penulis menelusuri sekuritisasi perbedaan pendapat kembali ke 2001. Dauvergne dan LeBaron menemukan bahwa negara telah menggunakan undang-undang anti-teroris untuk menindak protes melalui pemolisian “perintah dan kontrol.”

Selain penaklukannya di tangan kebijakan pengamanan, Gerakan Pendudukan diberikan analisis yang relatif sedikit dalam buku ini. Ini mengejutkan mengingat bagi banyak aktivis, Gerakan Pendudukan dianggap mewakili alternatif keorganisasian yang nyata terhadap korporatisasi LSM dan SMO.

Kedua penulis berpendapat, LSM dan SMO korporat sebagian besar telah dibiarkan tanpa perlawanan, ketika LSM dan SMO korporat itu mengklaim berbicara atas nama masyarakat sipil global secara keseluruhan.

Dauvergne dan LeBaron tak ingin mengabaikan keuntungan sedikit demi sedikit yang nyata dari kampanye LSM dan SMO. Meskipun begitu, mereka menyimpulkan, hari ini kita hanya memiliki sedikit lebih dari sekadar ilusi aktivisme, yang pada akhirnya gagal mencapai akar penyebab sebagian besar masalah global.

Untuk alasan ini, buku ini mungkin harus dibaca sebagai sebuah polemik – serangan kemarahan, frustrasi dan pesimistis terhadap kondisi protes dan aktivis saat ini, terutama lembaga-lembaga terkorporatisasi dari masyarakat sipil global. Tampaknya kedua penulis ingin agar kemarahan mereka menginspirasi penalaran kritis, penelitian, dan aksi protes yang lebih besar dari para pembacanya. (rio)