Muhammadiyah: Kekuatan Pro Atau Anti Radikalisme?

302

Jakarta, CSW – Di awal video ini, saya mewakili Civil Society Watch, ingin menyampaikan selamat kepada Muhammadiyah. Muhammadiyah baru saja menjalani Muktamar ke-48 di Solo yang berakhir hari Minggu lalu.

Salah satu keputusan pentingnya adalah menentukan Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2022-2027. Jabatan itu kembali diiisi oleh Haedar Nashir. Begitu juga Sekretaris Umumnya kembali dijabat Abdul Mu’ti.

Berarti keduanya dianggap berhasil memimpin Muhammadiyah selama lima tahun terakhir. Kita perlu bersyukur karena duet pemimpin ini dikenal sebagai tokoh berpikiran maju, terbuka, pluralis, toleran, dan berwawasan luas.

Ini penting karena Muhammadiyah adalah lembaga masyarakat sipil yang strategis di Indonesia. Muhammadiyah bukan sekadar lembaga agama. Peran besar Muhammadiyah ditentukan oleh amal usahanya di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, dan ekonomi.

Usia Muhammadiyah sudah 110 tahun. Walaupun nggak ada angka resmi tapi anggotanya puluhan juta orang. Dalam pidatonya, Haedar menyebut ada tujuh poin yang akan menjadi arah gerak lima tahun mendatang.

Salah satunya adalah penguatan dan penyebarluasan pandangan Islam berkemajuan. Haedar juga menyatakan tantangan lain bagi mereka adalah berdakwah pada generasi milenial, Generasi Z, dan Generasi Alpha.

Apa yang dikatakan Haedar sebenarnya merujuk pada visi dan nilai dasar Muhammadiyah. Sejak awal kelahirannya, Muhammadiyah adalah gerakan reformis yang mengutamakan ijtihad.

Artinya penggunaan akal untuk melakukan interpretasi terhadap ajaran agama. Muhammadiyah dianggap sebagai kaum modernis. Mereka tidak menerima ajaran agama begitu saja.

Mereka senantiasa memahami Islam dengan kondisi kekinian. Muhammadiyah terbuka terhadap pemikiran baru, termasuk ilmu pengetahuan Barat. Karena itulah Muhammadiyah aktif mengembangkan pengembangan pendidikan.

Muatan Pendidikan yang diberikan merupakan kombinasi Pendidikan agama dan sekuler. Di Indonesia ada ribuan sekolah Muhammadiyah, dari SD sampai SMA. Muhammadiyah juga memiliki lebih dari 100 universitas.

Kepedulian terhadap lembaga pendidikan ini mencerminkan semangat Muhammadiyah untuk mengembangkan wawasan berpikir umat Islam. Ada sejumlah peristiwa tahun ini yang menunjukkan Muhammadiyah di bawah Haedar Nashir adalah sebuah organisasi yang progresif.

Salah satu yang penting adalah sikap Muhammadiyah terhadap Syiah. Muhammadiyah secara terbuka merangkul Syiah. Misalnya saja pada pertengahan tahun ini ada kunjungan Pengurus Ahlulbait Indonesia (ABI) ke kantor pengurus PP Muhammadiyah.

Beberapa hari sesudahnya perwakilan dari Universitas Iran, MIU, juga mengunjungi PP Muhammadiyah. Iran, kita ketahui, adalah negara Islam Syiah. Wakil Iran ini hendak menjajagi kemungkinan kerjasama dengan Universitas Muhammadiyah.

Sunni dan Syah selama ini adalah dua kelompok besar utama dalam dunia islam yang dianggap berseberangan. Di Indonesia sendiri, Syiah mengalami diskriminasi di sejumlah daerah.

Karena itu bila sekarang Muhammdiyah menerima secara terbuka kelompok Syiah, ini menjadi kabar baik bagi Indonesia Perwakilan Iran sendiri menyatakan, visi Muhammadiyah sejalan dengan MUI dan Republik Iran.

Mereka juga mengaku terkesan dengan prestasi Muhammadiyah dalam mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin. Lembaga seperti Muhammadiyah dianggap akan membantu menghilangkan anggapan bahwa Islam adalah agama yang penuh kekerasan, ekstrim dan radikal.

JUga ada berita lain yang menunjukkan Muhammadiyah diterima di dunia internasional Misalnya, dikabarkan Universitas Muhammadiyah Jogjakarta kebanjiran mahasiswa asing. Tahun ini ada sekitar 1.400 calon mahasiswa yang berasal dari 60 negara yang mendaftar ke UMY.

Bahkan dikabarkan juga sudah ada seorang Ketua Majelis Ulama di Filipina yang berkunjung ke Kantor Pusat Muhammadiyah di Jakarta. Dia datang ke Jakarta dengan harapan Muhammadiyah bisa berdiri resmi di Filipina.

Berita-berita semacam ini mewakili gambaran tentang bagaimana Muhammadiyah bisa menjadi organisasi Islam yang mewakili kemajuan dan keberagaman. Ini sejalan sekali dengan tema utama muktamar ke-28 di Solo, yaitu: “Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta”.

Haedar Nashir sendiri menyatakan, Muhammadiyah harus berada di garda terdepan dalam perdamaian, toleransi dan kemajuan peradaban. Dan ini sejak dulu sebenarnya sudah ada dalam Muhammadiyah.

Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912 oleh Ahmad Dahlan di kota Yogyakarta. Sejak awal, kaarakter utama Muhammadiyah adalah mendobrak kebekuan dan keterbelakangan berpikir dalam umat Islam.

Memang terkesan ada masa-masa ketika Muhammadiyah terkesan mengalami pembelokan tajam ke arah islam yang konservatif. Tapi umumnya Muhammadiyah dikenal progresif. Buya Syafii Maarif adalah contoh terbaik.

Haedar Nashir pun begitu. Ke depan Muhammadiyah kita harapkan bisa jadi kekuatan yang melawan kebekuan dan kesempitan berpikir umat Islam. Sebagai contoh, Muhammadiyah ditunggu suaranya ketika ada kewajiban jilbab yang dipaksakan terhadap siswi-siswi di sekolah negeri,

Begitu juga Muhammadiyah perlu bersikap terhadap pemaksaan perda-perda syariah, pelarangan gereja. Muhammadiyah kita harapkan berada di garda terdepan dalam proses pembebasan itu. Sekali lagi, selamat Muhammdiyah. Kita terus berharap Muhammadiyah bisa menjadi organisasi yang membawa rahmat bagi Indonesia.