Jakarta, CSW – Ada sebuah persoalan serius di Indonesia.Yaitu soal demokrasi dan ancaman intoleransi terhadap keberagaman. Ancaman terhadap minoritas, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat terus terjadi, Unuk meng-counter itu, berbagai organisasi civil society berupaya melakukan kampanye keberagaman. Namun upaya menegakkan kampanye ini menghadapi hambatan dari Majelis Ulama Indonesia atau MUI. Pasalnya, sampai saat ini MUI masih mengharamkan pluralisme agama. Pengharaman ini tertuang di fatwa MUI tanggal 29 Juli 2005. Menurut MUI, pluralisme agama adalah sebuah paham yang memiliki beberapa ciri. Pertama, pluralisme agama mengajarkan semua agama adalah sama. Kedua, Pluralisme agama menganggap kebenaran relative. Ketiga, pluralisme agama menganggap setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama lain salah.
Keempat, pluralisme agama mengajarkan semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. MUI menolak asas pluralisme beragama. Dalam pandangan MUI, pluralisme ini sangat berbahaya, sesat dan menyesatkan bagi umat Islam. Karena itu dalam fatwa tersebut dikatakan haram bagi umat islam mengikuti paham pluralisme agama. Betulkah pandangan MUI tersebut? Tampaknya MUI salah mendefinisikan pluralisme. Pengharaman pluralisme oleh ulama MUI berangkat dari pemahaman yang keliru tentang pluralisme. Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Faisal Ismail, berbeda pandangan dengan MUI. Faisal berusaha meluruskan pengertian tentang pluralisme. Menurut Faisal, pluralisme agama adalah paham atau pandangan tentang kemajemukan agama dan keyakinan. Bahwa ada agama-agama dan keyakinan lain di luar agama yang kita anut. Kita sadar, mengetahui, dan mengakui ‘keberadaan’ agama-agama lain tersebut.
Kita bisa saja menganggap agama kita paling benar, tapi kita harus mengakui keberadaan agama-agama dan keyakinan lain dengan versi kebenaranya. Kalimat ‘lakum dinukum wa liyadin’ di al-Quran artinya: “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Ini adalah isyarat dan pengakuan bahwa ada agama-agama lain di luar agama Islam. Faisal mengutip definisi dari kamus Random House yang otoritatif. Ternyata kata plural, pluralism tidak mengarah dan menunjukkan arti ‘menyamakan’ semua hal. Artinya, pluralisme tidaklah berarti menyamakan semua agama. Faisal berpendapat, kata pluralisme justru dipakai untuk menunjukkan keberagaman, kemajemukan, serta kebhinekaan dalam kehidupan manusia. Misalnya, pluralisme budaya, pluralisme politik, pluralisme etnik, atau pluralisme sosial. Pluralisme budaya tidak berarti menyamakan semua jenis dan ekspresi budaya, yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Pluralisme seni tidak berarti menyamakan semua bentuk dan ragam kesenian. Pluralisme politik tidak berarti menyamakan semua aliran, paham, atau ideologi politik. Demikian pula halnya, dengan pluralisme agama. Pluralisme agama tidak berarti menyamakan semua agama. Maka Faisal menegaskan, tidak ada yang salah dengan pluralisme agama.
Karena itu, pluralisme agama hendaknya diterima sebagai realitas duniawi yang mesti ada. Atas dasar penerimaan realitas itu, semua umat beragama hendaknya saling menghargai. Juga saling menghormati, dan bertoleransi satu sama lain. Cendekiawan muslim, mendiang M. Dawam Rahardjo, punya pandangan selaras dengan Faisal. Dawam menyatakan, dalam masyarakat yang majemuk itu, semua agama dan keyakinan harus dianggap benar. Yaitu, benar menurut keyakinan pemeluk agama masing-masing. Sebab, prinsip ini merupakan landasan bagi keadilan, persamaan hak, dan kerukunan antar-umat dan antar-keyakinan. Tanpa pandangan pluralis, kerukunan umat beragama tidak mungkin terjadi. Tanpa adanya pluralisme, keyakinan masyarakat akan didominasi oleh satu keyakinan tunggal. Yakni, dalam kasus ini, adalah keyakinan para ulama penyusun fatwa MUI itu. Tanpa pluralisme, kebebasan beragama akan terberangus dari bumi Indonesia. Menurut Dawam, MUI tidak bisa menetapkan seenaknya sebuah kebenaran tunggal yang harus dipatuhi. Mereka tidak berhak menyatakan bahwa agama yang satu benar dan agama yang lain salah. Atau agama dan keyakinan lain dianggap “sesat dan menyesatkan.”
Hal ini karena yang melandasi dasar negara kita, Pancasila, adalah pluralism dan kebhinekaan. Ada banyak cendekiawan muslim lain yang sudah mengkritik fatwa MUI ini. Namun apa yang dikatakan Faisal dan Dawam ini nampaknya sudah jelas untuk menunjukkan kelemahan fatwa tentang pluralism agama ini. Pengharaman pluralism jelas membawa implikasi serius. Misalnya dalam Islam sendiri, tidak terdapat satu tafsir tunggal. Paling tidak di Indonesia, selain mazhab Sunni, ada pula Syiah, ada Ahmadiyah, dan berbagai tafsir baru terhadap Islam. Kalau keberagaman tidak diakui, kelompok mayoritas bisa menindas yang lain atas dasar tafsiran tunggal tadi.
Ini sudah berulangkali terjadi. Pelarangan dan pembongkaran masjid Ahmadiyah berlangsung di banyak tempat. Begitu juga dengan keyakinan dan kepercayaan lokal di berbagai daerah, seperti Sunda Wiwitan, Kejawaen, Parmalim, dan sebagainya. Mereka sering mengalami kesulitan karena dianggap bukan agama seperti yang diyakini para ulama. Dalam prinsip pluralisme, perbedaan semacam ini harus dihargai. Masing-masing agama, keyakinan, aliran harus memperoleh hak hidup. Kita mengharapkan, MUI segera merevisi atau mencabut fatwa yang sudah berusia 17 tahun itu. MUI tidak perlu malu untuk bersikap dan bertindak benar. Juga, tidak ada kata terlambat untuk berbuat demi kebaikan bangsa.