Jakarta, CSW – Kebebasan dan kemudahan warga untuk mengunggah apapun di media daring (online) adalah berkah dari kemajuan teknologi komunikasi. Namun kebebasan selalu punya aspek risiko. Bagi yang berniat jahat, muatan yang sengaja dilempar di media daring dan media sosial bisa saja bertujuan menimbulkan kerusuhan sosial, gangguan keamanan, bahkan teror.
Kerusuhan sosial, apalagi yang bernuansa konflik SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), berpotensi meluas justru karena ada pemberitaan “dramatis” dan berlebihan di media online atau medsos. Lebih buruk lagi, jika informasi yang disebarkan itu tidak akurat, penuh disinformasi, atau bermuatan hasutan untuk lebih memperluas skala kerusuhan.
Sebagai contoh, kerusuhan sosial bernuansa SARA pernah merebak di Manokwari, Papua Barat, pada 19 Agustus 2019. Kerusuhan ini rawan dan berpotensi meluas ke daerah lain, karena mempertentangkan etnis Papua dengan etnis lain. Jika banyak etnis non-Papua jadi korban, misalnya, mungkin saja ada aksi pembalasan di daerah lain.
Maka Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menutup atau memblokir akses internet di wilayah Papua dan Papua Barat pada 21 Agustus 2019, untuk mempercepat proses pemulihan situasi keamanan di sana. Keputusan ini diambil setelah Kementerian Kominfo berkoordinasi dengan penegak hukum dan instansi terkait.
“Kementerian Komunikasi dan Informatika RI memutuskan untuk melakukan pemblokiran sementara layanan data telekomunikasi, mulai Rabu (21/8) hingga suasana tanah Papua kembali kondusif dan normal,” kata Plt Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo, Ferdinandus Setu.
Menggugat ke Mahkamah Konstitusi
Pasca pemblokiran akses internet di Papua, sejumlah netizen mempersoalkan keputusan tersebut. Mereka curiga bahkan menuding bahwa langkah itu dapat memicu tindakan represif dan sewenang-wenang aparat. Ada juga yang menilai, langkah tersebut merupakan cara pemerintah menutup-nutupi persoalan di Papua.
Sementara pemerintah, dalam hal ini Kemenkominfo, memblokir jaringan internet di Papua dan Papua Barat untuk sementara waktu, dengan alasan mempercepat proses pemulihan situasi keamanan. Pembatasan layanan internet ini juga untuk membatasi penyebaran informasi provokatif serta hoaks.
Sejumlah kelompok LSM dan organisasi wartawan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), tetap tidak mau menerima alasan yang dikemukakan pemerintah. Maka, mereka pun menggugat aturan pemblokiran internet itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
AJI mengajukan permohonan pengujian UU ITE, dan meminta pemblokiran internet dilakukan berdasarkan putusan pengadilan. AJI mempersoalkan Pasal 40 ayat (2b) UU ITE, yang berbunyi:
“Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum.”
Menurut pihak AJI, pasal tersebut membuat pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses informasi berdasarkan penafsiran yang dilakukan secara sepihak atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dianggap melanggar hukum.
Dikhawatirkan, hal ini akan membuka peluang untuk bertindak secara sewenang-wenang dalam pelaksanaannya. “Dan kekhawatiran tersebut terbukti dengan adanya kerugian konstitusional yang dialami oleh pemohon,” kata klaim pihak AJI.
Melindungi Kepentingan Umum
Setelah sekian lama, MK pada 27 Oktober 2021 menyatakan keputusannya. MK memutuskan, pemblokiran internet oleh pemerintah merupakan tindakan konstitusional. Hal itu ditegaskan dalam putusan MK dalam judicial review UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang diajukan AJI dkk.
“Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Amar putusan. Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman, dalam sidang yang dibacakan di gedung MK dan disiarkan di channel YouTube MK, Rabu (27/10/2021).
MK menilai pemblokiran dan pemutusan internet, dalam konteks ini negara diwajibkan hadir untuk melindungi kepentingan umum dari segala bentuk gangguan. Hal ini karena adanya penyalahgunaan muatan dalam menggunakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
“Terkait dengan adanya pemutusan akses, telah pula disediakan aturan mengenai tata cara untuk menormalkan atau memulihkan sehingga tetap terjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban semua pihak dalam penggunaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana cerminan kehidupan dalam suatu negara hukum,” beber hakim konstitusi Daniel.
Maka, MK menilai pemblokiran internet tidaklah bertentangan dengan prinsip negara hukum, sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat 3 UU 1945. Salah satu alasannya, internet sangat cepat dan tidak mengenal ruang dan waktu. Bila tidak diblokir dan dapat diakses, dampak buruknya akan sangat besar, yang dalam batasan penalaran yang wajar dapat menimbulkan kegaduhan, keresahan, dan/atau mengganggu ketertiban umum.
“Untuk hal inilah diperlukan kecepatan dan keakuratan yang terukur oleh pemerintah untuk dapat sesegera mungkin melakukan pencegahan dengan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar hukum,” kata hakim konstitusi, Enny Nurbaningsih.
Putusan itu tidak bulat. Dua hakim konstitusi menyatakan dissenting opinion, yaitu Suhartoyo dan Saldi Isra. Namun, suara keduanya kalah oleh 7 hakim konstitusi lainnya.
Adanya dissenting opinion ini menunjukkan, bahwa tarik-menarik antara hasrat kebebasan dan pentingnya kontrol untuk membatasi “kebebasan yang berpotensi merusak” memang masih ada. Dan, tampaknya memang akan selalu ada. (Satrio)