Jakarta, CSW – Kesinambungan keuangan LSM merupakan tantangan utama untuk memastikan keberadaan sektor LSM yang efektif di Indonesia. Kesinambungan keuangan LSM itu memiliki dampak penting bagi upaya konsolidasi demokrasi dan kemakmuran ekonomi yang berkelanjutan di negara ini.
Kesinambungan keuangan LSM didefinisikan di sini sebagai “kemampuan untuk menghasilkan sumber daya dari berbagai sumber, yang dari waktu ke waktu akan mengurangi ketergantungan pada dana bantuan pembangunan.”
Hal itu terungkap dalam penelitian yang dilakukan Ben Davis dari NSSC (NGO Service and Study Centre), Australia. Davis menulis tesisnya tentang “LSM advokasi, transnasionalisme, dan ruang politik di Indonesia.” Saat bekerja di Jakarta untuk Departemen Luar Negeri Australia, dia mengelola program jutaan dollar yang mendukung LSM lokal, lembaga think tank dan penelitian.
Davis membuat penelitian berjudul “Financial Sustainability and Funding Diversification: The Challenge for Indonesian NGOs.” Meskipun penelitian ini dilakukan bekerja sama dengan Pemerintah Australia, tetapi analisis dan temuan yang disajikan mewakili pandangan Ben Davis sendiri dan tidak selalu mewakili pandangan Canberra.
Dalam laporannya, Davis menyatakan, mengembangkan kesinambungan finansial dan diversifikasi pendanaan penting bagi LSM, karena pada akhirnya hal akan ini memastikan bahwa dampak dari organisasi LSM ini dapat dipertahankan dari waktu ke waktu.
Praktik yang baik di dunia internasional menunjukkan, untuk memastikan kelangsungan hidup mereka, LSM membutuhkan dukungan keuangan jangka panjang dari berbagai sumber.
Pendanaan LSM
Pendanaan LSM dapat dikategorikan sebagai terbatas atau tidak terbatas (menunjukkan fleksibilitas), dan jangka pendek atau jangka panjang (mencerminkan kontinuitas). Jenis pendanaan itu meliputi:
> Pertama, hibah (pendanaan proyek atau pendanaan inti) dari sumber internasional, seperti LSM internasional atau lembaga donor atau sumber domestik seperti pemerintah.
> Kedua, hadiah atau sumbangan (wakaf, sumbangan satu kali atau biasa, dan penggalangan dana) dari perorangan atau perusahaan atau yayasan.
> Ketiga, pendapatan yang diperoleh (fee untuk kegiatan layanan dan penjualan produk atau layanan seperti pelatihan, penjualan atau bantuan teknis) dari pemerintah, masyarakat umum, kelompok kepentingan domestik atau donor internasional; dan
> Keempat, kontribusi dalam bentuk barang (misalnya, penyediaan ruang kantor atau pekerjaan pro-bono).
Berbagai jenis pendanaan ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. LSM yang tidak melakukan apa pun untuk mendiversifikasi pendanaan mereka dapat terus bertahan, tetapi seringkali lingkup mereka tetap kecil dan relatif tidak efektif.
Jenis dukungan yang diterima sebuah LSM mempengaruhi kemampuannya untuk menjadi “independen.” Yakni, untuk meningkatkan cara organisasi mereka berjalan, untuk membina generasi baru pemimpin LSM, dan untuk terlibat dengan pemerintah dan sektor swasta.
Menetapkan Agenda Sendiri
Kesinambungan keuangan digambarkan sebagai “keadaan di mana sebuah lembaga memiliki harapan yang masuk akal untuk menutupi biayanya di masa mendatang, melalui kombinasi pendanaan donor dan pendapatan yang dihasilkan secara local” (The Population Council, 2008).
Namun, perlu dicatat bahwa memiliki dukungan keuangan yang berkelanjutan tidak lantas berarti bahwa LSM akan lebih independen. Kualitas dan sifat sumber keuangan merupakan faktor lain yang menentukan independensi sebuah LSM. Sifat dukungan pendanaan (berbasis hadiah, berbasis bantuan dan lebih berbasis perusahaan) akan memiliki konsekuensi yang berbeda pada independensi (Hailey, 2014).
Kemampuan LSM untuk mengembangkan pendanaan yang berkesinambungan menjadi perhatian mendesak bagi keberlanjutan sektor LSM, sebagai aktor pembangunan di Indonesia.
LSM yang diwawancarai selama proses desain NSSC menegaskan, keberlanjutan pendanaan merupakan perhatian utama untuk sektor ini di Indonesia. Mereka menilai hal ini sebagai salah satu prioritas utama untuk dukungan di masa depan.
Responden melaporkan, ketergantungan pada pendanaan internasional mengurangi independensi dan kemampuan mereka untuk menetapkan agenda mereka sendiri. Ini adalah hal yang menjadi perhatian bersama berbagai LSM secara internasional. Kekhawatiran utama yang diangkat LSM adalah:
> siklus pendanaan pendek berbasis proyek dari hibah yang mereka terima;
> kurangnya dana yang tersedia untuk biaya operasional; dan
> kurangnya informasi dalam bahasa Indonesia tentang program pendanaan apa saja yang ada.
Terasing dari Konstituen
Sementara istilah “kesinambungan” sering digunakan di kalangan pembangunan internasional, dalam praktiknya ini sulit untuk dicapai. Pendanaan donor internasional untuk LSM, yang secara tradisional menjadi sumber pendanaan utama, umumnya berbasis proyek. Sedangkan, ketergantungan yang ditimbulkannya telah didokumentasikan secara luas.
Akibatnya, LSM mengubah agenda mereka berdasarkan perubahan prioritas donor. Hal ini mempersulit LSM untuk tetap bertanggung jawab dan mengabdi pada konstituen dan masalah lokal, dan dalam kasus lain telah mengasingkan LSM dari konstituen lokal mereka.
Kesinambungan keuangan LSM terkait erat dengan keseluruhan lingkungan tempat LSM beroperasi. Ini termasuk, misalnya, kapasitas internal LSM untuk memberikan layanan atau melakukan advokasi, hubungan antara LSM dan penyandang dana dan pemangku kepentingan penting lainnya, dan hubungan antar LSM di sektor ini.
Akibatnya, kesinambungan keuangan LSM terkait erat dengan cara pemerintah, sektor swasta, dan rekan-rekan mereka dalam masyarakat sipil memandang mereka. Kemampuan LSM untuk memberikan layanan yang dipandang memberi nilai tambah, dan tampak akuntabel serta transparan bagi para pelaku ini, juga penting dalam memastikan keberlanjutan keuangan secara keseluruhan.
Ketergantungan pada satu bentuk pendanaan berimplikasi pada kemampuan LSM untuk melayani masyarakat yang ingin mereka wakili. LSM melaporkan, mengandalkan anggaran tahun-ke-tahun, yang bergantung pada sumber pendanaan luar, berdampak pada kemampuan mereka untuk merencanakan ke depan secara memadai, dan berinvestasi dalam organisasi mereka sendiri.
Terpaksa Mengubah Misi
Ketergantungan ini berdampak pada kemampuan LSM untuk mempekerjakan staf, dan memastikan mereka memiliki kapasitas dan kapabilitas yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan program.
Ketergantungan pada sumber pendanaan juga telah memaksa LSM untuk menyelaraskan dan mengubah misi mereka, sesuai dengan preferensi donor. Dalam skenario terburuk, beberapa LSM meninggalkan misi mereka untuk mengejar sumber daya keuangan.
Tetapi, mungkin yang paling penting untuk keberlanjutan jangka panjang sektor LSM, ketergantungan semacam ini telah merusak reputasi LSM di mata publik, pemerintah, dan sektor swasta Indonesia.
Maka, mungkin tidak mengejutkan bahwa keragaman dan keberlanjutan pendanaan, secara konsisten berada di urutan teratas daftar tantangan yang diidentifikasi oleh LSM, sebagai ancaman kelangsungan hidup mereka. Ini adalah tantangan umum bagi LSM secara internasional.
Meningkatnya ketergantungan LSM pada donor internasional telah menjadi perhatian utama bagi negara-negara Asia pasca-otoriter dan berpenghasilan menengah. Dengan pengalaman “Era Keemasan LSM” di tahun 1990-an, para peneliti dan komunitas pembangunan internasional semakin memusatkan perhatian mereka pada keberlanjutan pendanaan di luar donor internasional.
Laporan Civil Society at a Crossroads mengidentifikasi basis sumber daya yang menyusut bagi masyarakat sipil secara global, sebagai salah satu tantangan utama yang dihadapi LSM. Sifat sumber pendanaan yang berbeda (donor internasional, pemerintah, sektor swasta, dan pendapatan yang diperoleh) berimplikasi pada keberlanjutan LSM.
Setiap sumber pendanaan dapat menawarkan keuntungan dan kerugian, dan mungkin cocok atau tidak untuk LSM tertentu, tergantung pada kebutuhan keuangan, nilai dan misinya. Maka, LSM harus pintar-pintar mencari cara, untuk tetap bertahan hidup di garis idealismenya. (rio)