PUJI SYUKUR, JUDICIAL REVIEW PERMENDIKBUD PPKS DITOLAK

339

Jakarta, CSW – ALHAMDULILLAH, JUDICIAL REVIEW PERMENDIKBUD PPKS DITOLAK MA. Perjuangan kita melawan kekerasan seksual di Indonesia nampaknya dimudahkan Tuhan. Sebelumnya, DPR mensahkan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Yang terbaru, Mahkamah Agung (MA) menolak judicial review terhadap Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seks (PPKS) di Perguruan Tinggi.

Kabar penolakan MA itu langsung disambut gembira oleh Inspektur Jenderal Kemendikbud Ristek, Chatarina Muliana Girsang. Menurutnya, Permendikbud PPKS hadir sebagai solusi atas berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkup perguruan tinggi. “Pemerintah bersyukur MA telah menolak permohonan hak uji materiil terhadap Permendikbud PPKS,” ucapnya. Chatarina juga menyampaikan terima kasih kepada masyarkat yang telah mendukung penolakan JR terhadap Permendikbud PPKS tersebut.

“Saya mewakili Kemendikbud menyampaikan banyak terima kasih kepada sivitas akademika se-Indonesia serta berbagai lembaga masyarakat sipil dan komunitas yang telah mendukung melalui gerakan maupun amicus curiae agar Permendikbudristek PPKS tidak dibatalkan,” sambungnya. Sebelumnya, Judicial review itu diajukan oleh Lembaga Kerapatan Adat dan Alam Minangkabau (LKAAM) ke MA. Mereka beralasan karena pada pasal tentang bentuk-bentuk kekerasan seksual terdapat frasa “tanpa persetujuan korban” dan “yang tidak disetujui korban”.

Menurut mereka dengan frasa tersebut membuka ruang atas perbuatan asusila yang dilegalkan. Alasan lainnya, pembentukan Permendikbud tersebut tidak memenuhi asas keterbukaan. Menurut mereka, Kemendikbud tidak cukup membuka ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan. Judicial review tersebut sempat membuat khawatir beberapa kelompok masyarakat, terutama kalangan yang selama ini peduli terhadap isu kekerasan seksual di kampus. Mereka khawatir karena LKAAM pernah berhasil menggagalkan berlakunya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga kementrian tentang Pengaturan Seragam Sekolah. Komnas Perempuan langsung merespons begitu mendengar LKAAM mengajukan judicial review Permendikbud PPKS ke MA. Komnas Perempuan menyampaikan penolakannya melalui rilis yang mereka kirim ke berbagai pihak dan media massa.

Dalam rilisnya, Komnas Perempuan tegas menyerukan MA untuk menolah JR LKAAM. Ada tiga alasan yang disampaikan Komnas Perempuan mengapa MA layak menolak permohonan judicial review LKAAM. Pertama, pemohon tidak memenuhi kriteria untuk mengajukan keberatan atas Permendikbudristek PPKS karena tidak mampu membuktikan kualifikasinya, antara sebagai masyarakat hukum adat atau badan hukum publik. LKAAM juga tidak memiliki kerugian hak warga negara, tidak memiliki hubungan sebab akibat antara kerugian dan obyek permohonan, dan pembatalan obyek permohonan tidak akan menghentikan tindakan kekerasan seksual. Kedua, Kemendikbud telah memenuhi Prosedur Formal Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Permendikbud PPKS diterbitkan sesuai kewenangan dan telah memenuhi proses menerima saran dan masukan baik secara lisan maupun tertulis dari kelompok masyarakat yang akan menjadi sasaran pemberlakuan obyek permohonan. Selama satu setengah tahun Kemendikbudristek telah melakukan lebih dari 20 kali diskusi penyusunan Permendikbud itu. Ini juga ditegaskan oleh Mendikbud Nadiem Makarim. Menurut Nadiem, Permendikbud PPKS merupakan salah satu produk hukum terlama yang dibuat oleh Kemendikbud. Ketiga, frasa “tanpa persetujuan korban” atau “tidak disetujui oleh korban” untuk mengidentifikasi beberapa hal antara lain: membedakan antara kekerasan dengan aktivitas seksual lainnya dan untuk mengenali siapa pelaku dan siapa korban.

Penolakan judicial review Permendikbud PPKS juga disampaikan sejumlah akademisi dari beberapa universitas, antara lain: Universitas Indonesia (UI), Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Mereka menyatakan pembentukan Permendikbud PPKS sudah memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu tidak ada alasan bagi MA untuk mengabulkan permohonan judicial review LKAAM.

Sikap yang sama juga ditunjukkan Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS). PIS menganggap LKAAM tidak sensitif terhadap meningkatnya kasus-kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. “Upaya Judicial Review yang diajukan LKAAM merupakan langkah mundur dalam upaya pencehagan terhadap kekerasan seksual yang semakin meningkat di Perguruan Tinggi,” kata Ketua PIS Ade Armando. Gerakan melawan kekerasan seksual di Indonesia saat ini sudah menang. Kita layak mensyukuri dan merayakannya. Perjuangan kita selanjutnya, mendorong dan mengawal UU PPKS dan Permendikbud PPKS diimplementasikan secara sungguh-sungguh. Agar segala bentuk kekerasan seksual tidak terjadi lagi di tengah-tengah kita.