Jakarta, CSW – Mas Nadiem Makarim terus diserang. Kebijakannya tentang pencegahan dan kekerasan seksual di kampus dituduh akan melegalisasi seks bebas. Karena itu dia diminta untuk mencabut Peraturan Mendikbud Ristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
Di media sosial bahkan beredar hashtag #NadiemOleng. Tapi ada satu perkembangan menarik yang terjadi. Pada awalnya yang gencar menyerang adalah aktivis dan kelompok Islam.
Tapi kini tumbuh juga dukungan dari sesama aktivis dan kelompok Islam. Bisa dibilang, terjadi pembelahan. Ada yang pro ada yang kontra. Dan yang pro ini bicara terbuka di banyak media. Sebenarnya kenapa ada kelompok-kelompok Islam yang menentang?
Yang dominan adalah tuduhan bahwa peraturan Mas Nadiem ini akan melegalkan perzinahan. Dan yang jadi pangkal persoalan adalah definisi ‘kekerasan seksual’. Jadi peraturan ini kan dibuat untuk mencegah kekerasan seksual.
Yang dicegah bukan cuma pemerkosaan. Tapi juga aktivitas seksual lain yang dilakukan dengan paksaan, seperti meraba-raba atau bahkan membuat joke mesum yang merendahkan perempuan.
Jadi aturan ini secara jelas mengatur beragam aktivitas seksual yang dilakukan dengan paksaan atau tanpa persetujuan korban.
Masalahnya karena yang diatur adalah aktivitas seksual yang melibatkan paksaan, para pengkritik menganggap ini artinya mengizinkan aktivitas seskual yang dilakukan tanpa paksaan, alias suka sama suka.
Dari logika itulah, lahir sikap bahwa aturan ini harus ditolak karena melegalkan perzinahan.
Salah seorang aktivis Islam yang sangat keras menyerang adalah Mustofa Nahrawardaya.
Politisi Partai Ummat ini menuduh peraturan Nadiem akan memperbolehkan hubungan seksual suka sama suka di mana saja di wilayah kampus.
Dia menulis begini:
“Jadi jika mau sama mau, tidak dilarang dilakukan di lobi rektorat. Atau di depan perkuliahan. Atau di tempat parkir. Atau di lorong gedung perkuliahan? Karena bukan dianggap kekerasan seksual.”
Kecaman terhadap pernyataan Mustofa banyak berdatangan. Dia dianggap memiliki imajinasi terlalu liar tentang kehidupan mahasiswa di kampus. Tapi sebelum Mustofa, ada banyak aktivis Islam yang menyerang peraturan tersebut. Ormas Islam pertama yang menyuarakan penolakan adalah Majelis Ormas Islam (MOI).
MOI terdiri dari 13 anggota LSM Islam di Indonesia. Anggotanya antara lain adalah Persatuan Umat Islam (PUI), Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Syarikat Islam (SI), Persatuan Islam (PERSIS), Wahdah Islamiyah, Hidayatullah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), dan beberapa lainnya.
Mereka meminta agar aturan ini dicabut karena dianggap melegalkan perzinaan, dan dianggap mendukung perilaku seksual LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Mereka bilang peraturan itu secara tidak langsung melegalisasikan perzinahan.
Menurut MOI, peraturan ini akan mengubah cara pandang mahasiswa sehingga tidak lagi memandang perzinahan sebagai kejahatan.
Selain itu, penolakan datang dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Para tokoh PKS beramai-ramai menyuarakan sikap mereka melalui media sosial. Muhammad Nasir Djamil, anggota DPR dari PKS bahkan menuduh peraturan ini disusupi kepentingan pendukung seks bebas.
Penolakan juga disampaikan oleh Muhammadiyah. Mereka menyatakan aturan ini melegalkan perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Muhammadiyah menilai peraturan ini tidak menetapkan nilai agama sebagai standar benar dan salah dalam aktivitas seksual.
Tak ketinggalan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menolak aturan Nadiem dan memintanya agar dicabut. MUI meminta agar revisi peraturan tersebut wajib sejalan dengan syariat, Pancasila, UUD 1945, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Namun setelah serangan gencar datang, kini muncul pula banyak dukungan dari kelompok dan aktivis Islam. Salah satu yang keras sekali mendukung adalah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).
KUPI bahkan menganggap peraturan ini adalah bagian dari jihad melindungi orang-orang yang harus dilindungi. Melalui juru bicaranya, Kiai Faqihudin Abdul Kodir, KUPI menyatakan peraturan Mendikbud ini bukan saja harus diapresiasi, tapi harus di dukung penuh oleh umat Islam.
“Peraturan ini sangat Islami, sangat syar’i,” katanya.
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar juga secara terbuka mendukungnya. “PKB berkomitmen mendukung segala upaya penghapusan kekerasan seksual,” katanya.
Wakil Ketua DPR RI ini menolak anggapan bahwa peraturan Nadiem ini akan melegalkan perzinahan. Aktivis lain yang juga memberikan dukungan adalah Alissa Wahid, Koordinator Jaringan Gusdurian.
Menurutnya, kebijakan ini merupakan komitmen untuk memberantas salah satu dosa besar di dunia pendidikan, yaitu pelecehan seksual. Menurut Alissa, kasus kekerasan seksual banyak terjadi dan akan terus terjadi karena tidak ada payung hukum yang bisa digunakan untuk mencegah kekerasan seskual di kampus.
Ironisnya, kata Alissa, karena tidak ada payung hukum, kasus itu diselesaikan secara ‘damai’. Karena itu, Alissa melihat aturan Nadiem ini sebagai upaya penting untuk membangun kampus yang bersih dari kekerasan seksual.
Pembelaan terhadap Permen PPKS juga datang dari pemuka agama. Di antaranya, Kiai Faqih Abdul Qodir. Penulis buku ‘Perempuan bukan Sumber Fitnah’ menawarkan logika yang menarik.
Ia mengambil contoh ayat Alquran, surat An-Nur ayat 33, yang memuat perintah Allah agar umat Islam tidak memaksa perempuan untuk menjadi pelacur. Kata Faqih, bahwa ayat tersebut melarang perempuan menjadi pelacur dengan paksaan, tidak berarti perempuan boleh menjadi pelacur tanpa paksaan.
Begitu juga dengan aturan kontroversial ini. Katanya, bahwa peraturan ini melarang aktivitas seksual yang dilakukan dengan paksaan, tidak berarti mengizinkan aktivitas seksual tanpa paksaan.
Faqih meminta umat Islam mendukung Peraturan Menteri ini, karena manfaatnya jelas akan dirasakan oleh para insan kampus.
Pembelaan lain datang dari Kalis Mardiasih. Penulis muda NU itu menyatakan tuduhan negara melegalisasi zina atau seks bebas melalui aturan Menteri adalah tuduhan mengada-ada, kebohongan besar, sekaligus fitnah besar.
Kita mungkin akan terus menyaksikan perdebatan ini di hari-hari ke depan. Tapi kami berharap pemerintah jangan sampai membatalkan peraturan yang jelas-jelas akan mencegah kekerasan seksual dan melindungi masyarakat kampus ini.
Kami juga berharap kelompok-kelompok yang anti tidak memiliki prasangka buruk tentang tujuan aturan ini. Tidak mungkinlah pemerintah ingin melegalkan perzinahan.
Kalau ada masukan tentang bahasa yang digunakan, itu tentu saja bisa dibicarakan dan dikritik. Tapi janganlah sampai menuntut agar aturan ini dibatalkan karena hanya soal bahasa. Mudah-mudahan semua pihak mau mendengar.