Jakarta, CSW – Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) akhirnya disahkan DPR RI. Ini menjadi tonggak bagi kehadiran negara dalam upaya penghapusan kekerasan seksual dan perlindungan korban. UU TPKS disahkan dalam rapat paripurna pada 12 April lalu. Dari 9 fraksi, 8 fraksi menyakatan mendukung. Fraksi yang mendukung: Fraksi PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PAN, Demokrat, dan PPP.
Satu-satunya yang menolak sejak awal adalah Fraksi PKS. Ketua DPR Puan Maharani menyatakan UU TPKS adalah hadiah bagi seluruh perempuan di Indonesia. Para aktivis perempuan yang juga mengikuti jalannya sidang dari balkon bersorak gembira. Mereka layak gembira karena payung hukum yang mereka gagas sejak 2012 akhirnya disahkan. Semula payung hukum itu bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Pada 2016 DPR meminta naskah akademik RUU PKS dan menyepakati masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Tahun yang sama Presiden Jokowi menyatakan dukungannya.
Pada 2017, DPR sempat menyepakati RUU PKS sebagai RUU inisiatif DPR. Namun, DPR memutuskan menunda pembahasan RUU PKS pada 2018 hingga Pemilu 2019 selesai. Pembahasan RUU PKS dilanjutkan pada periode 2019-2024. Sampai 2020, pro dan kontra masih mewarnai perjalanan RUU PKS. Pro dan kontra terhadap RUU PKS tidak lepas dari hoax yang menyerang RUU Itu. RUU PKS difitnah mendukung seks bebas, melegalkan lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ). RUU PKS mencakup pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban, hingga mengatur tentang penanganan selama proses hukum. Ada 9 jenis tindak pidana kekerasan seksual dalam RUU PKS.
Yaitu, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Pengaturan yang komprehensif tentang 9 jenis tindak pidana tersebut, belum termuat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini berdampak pada keterbatasan korban dalam mengakses hak atas keadilan dan hak atas penanganan. Kasus yang dialami korban tidak akan dapat diproses melalui sistem peradilan pidana karena tidak ada landasan normatifnya bagi penegak hukum.
Kekosongan hukum ini membuka ruang bagi pelaku untuk bisa bebas dari jeratan hukum. Di sisi lain, korban tidak bisa memperoleh pemulihan atas hak-haknya yang hilang dan kerugian yang dialami. Tahun 2021 RUU PKS masuk prolegnas prioritas. Pada September 2021, nama RUU PKS diubah panitia kerja (panja) DPR menjadi RUU TPKS. Perubahan ini juga berdampak pada isi RUU, bentuk kekerasan seksual yang semula berjumlah 9 menjadi. Yaitu, pelecehan seksual, pemaksaan memakai alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, eksploitasi seksual, dan tindak pidana kekerasan seksual yang disertai dengan perbuatan pidana lain.
Perubahan ini mendapat kritik dari kelompok masyarakat sipil karena menghilangkan sejumlah elemen kunci dalam RUU PKS. Di antaranya tidak ada pengaturan terkait pemenuhan hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Juga tidak ada pengakuan dan pengaturan ragam bentuk kekerasan seksual. Ketua Panja RUU TPKS merespons kritik itu dan menyatakan terbuka untuk berdialog. Pada Januari 2022, Presiden Jokowi mendorong RUU TPKS segera disahkan. Setelah panja DPR dan pemerintah membahasnya secara maraton sejak 28 Maret sampai 7 April 2022, akhirnya RUU TPKS disahkan menjadi undang-undang. Aktivis Migrant Care, Anis Hidayah, menyatakan UU TPKS adalah hukum pidana khusus yang memiliki 6 kekuatan hukum yang progresif.
Yaitu, pemidaan, pencegahan, pemulihan, tindak pidana, pemantauan, dan restitusi bagi korban. Dari sisi lingkup, UU TPKS mengatur 9 bentuk kekerasan seksual. Yaitu, pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, penyiksaan seksual, pemaksaan perkawinan, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Yang agak mengecewakan, pemaksaan aborsi dan pemerkosaan tidak dimasukkan dalam bentuk kekerasan seksual.
Menurut Ketua Panja RUU TPKS, aborsi sudah diatur dalam UU Kesehatan, sementara pemerkosaan akan diatur secara lebih detail dalam RUU KUHP. Secara progresif UU TPKS mengatur restitusi yang menjadi hak korban. Sita restitusi dapat dilakukan sejak penyidikan. Dalam situasi pelaku tidak mampu membayar, negara memberikan hak bagi korban melalui victim trust fund (dana bantuan korban) yang akan dikelola oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. UU TPKS juga mengatur tentang pelayanan terpadu untuk penanganan dan pemulihan korban.
UU TPKS juga mengatur pemberatan pidana terhadap pelaku. Jika yang menjadi pelaku adalah pejabat negara, tenaga medis, tenaga pendidik, pemuka agama, dan keluarga, maka hukumannya diperberat sepertiga. Jika yang menjadi pelaku adalah korporasi, maka ada ancaman pencabutan izin usaha, pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan korporasi. Pelibatkan partisipasi masyarakat dan keluarga dalam pencegahan ditegaskan dalam UU TPKS. Pengesahan UU TPKS tentu melegakan. Tapi bukan berarti perjuangan untuk penghapusan kekerasan seksual sudah selesai. Mudah-mudahan kondisi darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Indonesia bisa ditekan melalui UU TPKS.