Jakarta, CSW – Lagi ada trend baru di Jakarta. Warga ramai-ramai menolak perubahan nama jalan. Ini terkait keputusan kontroversial Gubernur DKI Anies Baswedan. Pada Juni lalu, tiba-tiba saja Anies mengganti nama 22 ruas jalan di Jakarta dengan nama tokoh-tokoh Betawi.
Begitu juga ada beberapa nama gedung yang diubah. Anies beralasan, perubahan nama jalan dan gedung itu dilakukan demi mengenang jasa para tokoh Betawi. Kata Anies, penggantian ini dilakukan serempak supaya memudahkan administrasinya.
Ini ternyata tidak begitu saja diterima masyarakat. Warga melakukan protes dengan berbagai cara. Di Condet, Jakarta Timur, warga menolak nama Jalan Budaya diganti menjadi Jalan Entong Gendut.
Warga mengganti sendiri plang nama Jalan Entong Gendut yang sudah terpasang. Plang jalan itu ditutupi kertas berwarna hijau yang bertuliskan “Jalan Budaya”. Sebelumnya warga juga memasang banner penolakan.
Di banner itu, mereka menulis: “Kami warga Jalan Budaya menolak keras perubahan nama jalan!!!!!” Di Tanah Tinggi, Johar Baru, sejumlah warga juga memprotes perubahan nama Jalan Tanah Tinggi I gang 5 menjadi Jalan A.
Hamid Arief. Mereka menolak langsung pemberian KTP baru dari Wali Kota Jakarta Pusat. Semula, acara penyerahan KTP baru itu dijadwalkan di rumah Ketua RT. Namun setibanya perwakilan Pemprov DKI, warga langsung bersama-sama menolak pemberian KTP baru.
Pertemuan pun bubar. Di Cikini, Jakarta Pusat, warga menolak nama Jalan Cikini VII diubah menjadi Jalan Tino Sidin. Mereka ramai-ramai berkirim surat kepada kecamatan. Itu cuma tiga contoh.
Di berbagai daerah lainnya, penolakan terhadap perubahan ini juga berlansgung. Masyarakat nampaknya memang tidak happy dengan gebrakan Anies Baswedan ini. Bagi warga, penggantian nama jalan yang dilakukan Anies ini bisa dikatakan mendadak.
Masalahnya, Pemprov DKI tidak melakukan mengajak warga bicara sedikitpun. DPRD DKI bahkan mengaku, tidak diberitahu apa-apa soal penggantian nama ini. Warga yang berdomisili di jalan bersangkutan tidak diberi informasi secuil pun.
Begitu juga, keluarga dari tokoh-tokoh Betawi, yang namanya dipakai untuk nama jalan. Mereka mengaku tak tahu-menahu soal penggantian nama jalan itu. Jadi inisiatif penggantian nama jalan itu bukan dari keluarga tokoh Betawi.
Mereka tidak pernah meminta kepada Pemprov DKI, agar nama tokoh Betawi digunakan menggantikan nama-nama jalan yang sudah ada. Tahu-tahu plang nama jalan baru sudah dipasang di ujung jalan. Warga terkait pun gelagapan dan heboh.
Mengganti nama jalan tentu tidak bisa dianggap sederhana. Perubahan data wilayah berimplikasi pada perubahan data administrasi kependudukan. Juga, perubahan data pelayanan publik.
Singkatnya, penggantian nama 22 jalan itu ada dampak konkretnya. Warga di jalan bersangkutan harus membuat penyesuaian dan perubahan. Mereka harus mengganti alamat yang tertera di KTP, paspor, Kartu Keluarga, SIM, STNK, dan kartu nama.
Juga kop surat kantor, perusahaan, atau lembaga, yang mencantumkan alamat di kertas suratnya. Mengurus perubahan itu sedikit-banyak akan butuh uang, waktu, dan tenaga. Anies sudah menjamin, pengurusan perubahan data dokumen warga tak akan dibebani biaya.
Disdukcapil DKI juga akan melakukan aksi jemput bola ke RT dan RW warga yang terdampak. Sepertinya semua sudah oke. Namun, pernyataan Pemprov DKI itu tak sepenuhnya benar. Penggantian alamat KTP dan Kartu Keluarga di kantor kelurahan mungkin bisa gratis. Tapi ini kan bukan Cuma urusan biaya.
Ini yang misalnya dikatakan anggota F-PDIP Dwi Rio Sambodo. Dwi mengatakan, dampak perubahan nama jalan bukan sekadar pembuatan KTP baru. Dwi menilai, Pemprov DKI seharusnya sejak awal mengkaji secara matang.
Pemprov DKI seharusnya melibatkan warga dan mengkomunikasikan dengan warga secara efektif. Sehingga warga tidak menjadi resah dan gelisah. Begitu juga Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta, Gembong Warsono, mengeritik kebijakan Anies ini.
Menurut dia, permasalahan penggantian dokumen warga, sepatutnya tak hanya berlandaskan biaya yang digratiskan. Kata Gembong, warga Jakarta ini multi kesibukan, dan beda-beda mata pencahariannya.
Bagi mereka, waktu juga sangat penting. Untuk mengurus perubahan data dokumen itu jelas perlu meluangkan waktu. Selain itu, fakta dari pelayanan jemput bola oleh Disdukcapil DKI belum ideal.
Nyatanya, pelayanan mereka juga tidak menjangkau semua masyarakat. Penggantian nama jalan ini sejak awal bukanlah aspirasi warga. Ini yang menyebabkan lahirnya berbagai gerakan masyarakat menolak keputusan Anies.
Kalau dipikir-pikir, penggantian nama itu sebetulnya tidak penting, tidak esensial. Secara konkret, penggantian nama itu tidak mengubah apa-apa bagi warga Betawi. Jika Anies begitu concern pada nasib warga Betawi, yang lebih penting bukanlah nama jalan.
Seharusnya ada program khusus dan konkret untuk membantu masyarakat Betawi. Yakni, program untuk mendukung atau menaikkan taraf kehidupan warga Betawi. Pemprov DKI perlu belajar bahwa masyarakat Jakarta tidak bisa begitu saja diatur-atur. Mereka juga punya hati. Kita perlu desak Pemrov DKI, untuk bersedia bicara lebih banyak dengan masyarakat.