Wisata Glow dan Pentingnya Peran Masyarakat Sipil

315
foto dok. Kompas

Jakarta, CSW – Perencanaan wisata malam Glow Kebun Raya di Kebun Raya Bogor menuai banyak kritik dan kecaman. Yang mengecam mulai dari masyarakat, budayawan, hingga pakar, karena wisata Glow dianggap membahayakan ekosistem asli Kebun Raya Bogor.

Respons ini mendorong pemerintah Bogor menekan penyelenggara wisata Glow, untuk melakukan kajian lebih mendalam terhadap pembangunan wisata malam Glow Kebun Raya Bogor.

Glow Kebun Raya Bogor merupakan atraksi malam yang direncanakan dan dilaksanakan PT. Dyandra.

Sesuai dengan namanya, di program wisata ini, di Kebun Raya Bogor akan dipasang berbagai jenis lampu dan proyeksi visual, yang membuat suasana malam di Kebun Raya menjadi gemerlap.

Para pengunjung juga akan disuguhi iringan musik dan narasi, yang bercerita tentang sejarah beragam tumbuhan hingga berdirinya Kebun Raya, selama kunjungan mereka di Glow Kebun Raya.

Dengan konsep ini, dilansir dari situs web resminya, Glow Kebun Raya diusung menjadi taman botani malam pertama dan terbesar di Indonesia. Ia diharapkan dapat berkembang menjadi kebun raya, seperti Desert Botanical Garden, Singapore Botanic Gardens, Fairchild Tropical Botanic Garden, Atlanta Botanical Garden, dan Botanical Garden Berlin.

Kritik dan Penolakan

Dilansir melalui Kompas.com, Rizki Ramadhan, selaku Project Manager Glow Kebun Raya, menjelaskan bahwa Glow sudah direncanakan sejak 2019. Salah satu tujuannya untuk mengenalkan beragam tumbuhan kepada generasi milenial melalui tata letak yang “instagrammable.”

Berbagai intervensi telah dilakukan di Kebun Raya Bogor untuk menunjang pembangunan wisata malam Glow Kebun Raya Bogor yang lebih “kekinian.” Yakni, mulai dari pembangunan kincir air hiasan, beberapa tempat swafoto, rumah pueblo warna-warni, dan water fountain, tebaran bangku, jembatan semen, lampu taman, lampu apung, lampu sorot, hingga lampu neon warna-warni.

Akan tetapi, rencana pengembangan ini memicu banyak penolakan dan kritik dari berbagai elemen masyarakat.

Penolakan datang dari budayawan, yang menganggap bahwa atraksi yang disajikan oleh Glow hanya menonjolkan sisi komersialisasi daripada konservasi, dan tidak sejalan dengan fungsi Kebun Raya Bogor. Mereka melakukan aksi protes terhadap wisata Glow Kebun Raya dengan berunjuk rasa di depan pintu Kebun Raya Bogor pada Jumat, 1 Oktober 2021.

Kritik juga datang dari seorang dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB, Melani Abdulkadir Sunito. Ia mengatakan, pemasangan lampu justru berdampak buruk bagi ekosistem malam Kebun Raya Bogor.

Selain itu, penolakan juga datang dari berbagai komunitas lingkungan. Mereka menganggap, pengembangan wisata Glow bertentangan dengan cita-cita menjadikan Kebun Raya Bogor sebagai World Heritage Site atau Situs Warisan Dunia.

Komersialisasi Kebun Raya Bogor melalui wisata Glow ini dianggap tidak sejalan dengan cita-cita tersebut, dan berpotensi menggagalkan tujuan tersebut.

Penggalangan Petisi

Salah satu komunitas yang menentang pengoperasian wisata Glow adalah Komunitas Peduli Kebun Raya Bogor.

Diprakarsai oleh Dr. Satyan Sunito, Komunitas Peduli Kebun Raya Bogor menggalang sebuah petisi yang berisi penolakan Glow melalui situs change.org. Hingga Selasa, 5 Oktober 2021, sudah ada 9.071 orang yang member tanda tangan dari target 10.000 tanda tangan.

Petisi lain dengan tuntutan sama juga dibuat oleh Komunitas Sepakat Bogor. Hingga Senin, 4 Oktober 2021, petisi ini sudah ditandatangi oleh 18.353 orang.

Wali Kota Bogor Bima Arya sendiri telah meminta pihak pengelola Kebun Raya Bogor, untuk tidak melanjutkan wisata alam Glow jika pengoperasiannya terbukti memberi dampak negatif bagi ekosistem asli Kebun Raya Bogor.

Lebih lanjut, ia meminta agar penggunaan cahaya lampu di tempat konservasi harus melewati kajian yang lebih dalam. Ia juga memastikan tidak akan mengizinkan Glow beroperasi sebelum mendapatkan hasil kajian pakar.

Respons ini Bima sampaikan setelah ia mendapat surat terbuka dari lima kepala di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang merasa keberatan dengan pengoperasian wisata Glow.

Fungsi Kebun Raya

Polemik Glow Kebun Raya ini menunjukkan pentingnya andil masyarakat sipil dalam mendorong proses perkembangan kebijakan di sebuah tempat.

Respons Bima Arya juga dapat dilihat sebagai sebentuk bukti, bagaimana masyarakat sipil memiliki posisi yang kuat dalam proses penyejahteraan Indonesia, atau pencapaian tujuan yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Kritik dan respons dari masyarakat berhasil mendorong pemerintah untuk melakukan pengkajian yang lebih mendalam terkait wisata alam Glow. Wisata itu berpotensi membahayakan ekosistem Kebun Raya Bogor, yang telah terbentuk selama 200 tahun.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah memastikan, fungsi kebun raya –yaitu, konservasi, penelitian, edukasi, wisata, dan jasa lingkungan– akan tetap berfungsi dengan baik. Meski begitu, peran masyarakat sipil tetap diperlukan sebagai pengawas, yang memastikan fungsi asli Kebun Raya Bogor setelah wisata Glow beroperasi.

(Berliyantin/rio)