Aktivis dan Pemuka Agama Dukung dan Bela Permen PPKS

449
foto dok. nu.or.id

Jakarta, CSW – Dukungan dan pembelaan terhadap Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permen PPKS) terus mengalir.

Dukungan dan pembelaan tidak hanya datang dari insan kampus dan aktivis pro-pemerintah, tapi juga dari aktivis dan pemuka agama yang selama ini dikenal kritis terhadap pemerintah.

Salah satunya adalah Bivitri Susanti. Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan menilai Permen PPKS hadir untuk mengisi kekosongan hukum atas maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus yang tidak bisa dijangkau oleh sejumlah Undang-undang (UU) yang ada.

Menurut Bivitri, mahasiswa rata-rata berusia mulai dari 18 tahun dan sudah bukan lagi tergolong anak. Karena itu, mahasiswa tidak bisa dilindungi oleh UU Perlindungan Anak (UU PA). Di sisi lain, mayoritas mahasiswa juga belum menikah. Karena itu, tidak bisa mengacu pada UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) maupun UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO).

“Permen ini menjadi jawaban atas kekosongan untuk menciptakan ruang yang lebih aman bagi seluruh pihak di perguruan tinggi,” kata Bivitri.

Ia juga membela Permen PPKS dari tuduhan melegalkan zina. Menurutnya tuduhan itu terlalu mengada-ada dan terlalu dicari-cari.

Pakar Hukum Tata Negara itu menyatakan Permen PPKS terbatas pada pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. Hal-hal yang tidak diatur di dalamnya, sambungnya, bukan berarti boleh dilakukan.

“Kalau mau menyoal hubungan dengan consent, misalnya, kan sudah ada juga aturan pasal perzinaan dalam KUHP,” ujar Bivitri.

Aktivis lain yang juga memberikan dukungan terhadap Permen PPKS adalah Alissa Wahid. Koordinator Jaringan Gusdurian itu menyatakan Permen PPKS merupakan komintmen untuk memberantas salah satu dosa besar di dunia Pendidikan, yaitu pelecehan seksual.

“Kasus kekerasan seksual di kampus ibarat rahasia umum karena kerap terjadi kampus-kampus Indonesia,” kata Alissa dalam pernyataan sikap terhadap Permen PPKS.

Sialnya, kampus justru menjadi aktor kunci dalam upaya melindungi pelaku kekerasan seksual, alih-alih berpihak pada korban. Hasil liputan kolaborasi #NamaBaikKampus oleh Tirto, The Jakarta Post, dan Vice Indonesia, mencatat adanya 174 laporan sepanjang 2019 dari 79 kampus di Indonesia. Ironisnya, kata Alissa, karena tidak ada payung hukum, kasus itu diselesaikan secara ‘damai’.
Karena itu, Alissa mengajak pimpinan perguruan tinggi untuk menerapkan Permen PPKS dan menjadikannya sebagai bagian dari sosialisasi pengenalan kehidupan kampus yang bebas dari kekerasan seksual.

Pembelaan dari Pemuka Agama

Pembelaan terhadap Permen PPKS juga datang dari pemuka agama. Di antaranya, Kiai Faqih Abdul Qodir.

Penulis buku ‘Perempuan bukan Sumber Fitnah’ itu mengkritik kelompok yang menyerang Permen PPKS dengan alasan frase ‘tanpa persetujuan korban’ yang berarti membolehkan seks bebas.

Menurut Faqih, logika kesimpulan seperti ini, dalam Ushul Fiqh, teori hukum Islam, dikenal istilah ‘mafhum mukhalafah’, atau memahami kebalikan dari yang tertulis. Logika ‘mafhum mukhalafah’, lanjutnya, masih diperdebatkan secara konsep dan sejauh mana bisa dipraktikkan.

Ia mengambil contoh satu ayat yang relevan dengan Permen PPKS, yaitu surat an-Nur (24:33). Bunyi terjemahannya:

“Janganlah kalian paksa para perempuan muda (hamba sahaya) kalian untuk melacur, jika mereka menginginkan kesucian (dari pelacuran), karena kalian mencari keuntungan dunia. Barangsiapa yang memaksa mereka, maka sungguh Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang (kepada para perempuan tersebut) setelah mereka dipaksa”.

Faqih lalu mengajak mereka yang menyerang Permen PPKS untuk memahami ayat di atas dengan logika ‘mafhum mukhalafah’, logika yang mereka gunakan dalam menyerang Permen PPKS.

“Apakah ayat ini bisa dianggap membolehkan perempuan melacur ketika tidak dipaksa, atau boleh melacur jika atas keinginan sendiri? Karena ayatnya secara tekstual berbicara: Jangan paksa mereka melacur. Nah, gimana kalau tidak dipaksa?” tulis ulama pro perempuan tersebut di akun Facebooknya beberapa waktu lalu.

Karena itu, lanjut Faqih, Permen PPKS secara substansi, karena mencegah kekerasan seksual dan melindungi korban, adalah sudah sangat tepat dan sesuai dengan Syari’ah Islam. Sementara ketakutan bahwa frase ‘tanpa persetujuan korban’ akan melegalkan zina adalah sama sekali tidak berdasar. Apalagi di lingkungan kampus juga sudah ada kode etik yang melarang segala tindakan asusila, di samping ada norma-norma agama, budaya, dan KUHP.

“Suatu kemaslahatan yang sudah nyata tidak boleh ditinggalkan karena ada keburukan yang masih asumtif (al-mashlahah al-haqiqiyah laa tutraku li al-mafsadah al-mauhumah),” tulis Faqih mengutip prinsip dalam Ushul Fiqh.

Pembelaan lain datang dari Kalis Mardiasih. Penulis muda NU itu menyatakan tuduhan negara melegalisasi zina atau seks bebas melalui Permen PPKS adalah tuduhan mengada-ada, kebohongan besar, sekaligus fitnah besar.

Menurutnya, frase ‘tanpa persetujuan korban’ menunjukkan bahwa setiap manusia punya hak untuk merasa aman dan menolak semua intervensi yang mengancam dirinya. Frase ini juga muncul dari pengalaman korban, bahwa hanya korban yang berhak menjelaskan situasi seperti apa yang membuat dirinya merasa terancam dan dalam bahaya.

“Satu prinsip penting untuk percaya kepada suara dan pengalaman korban,” tulis Kalis di akun Instagramnya.

Terkait aktivitas seksual di luar kekerasan, Kalis menyatakan tidak semua dosa bisa dipidana dalam konteks hukum di Indonesia. Ia mencontohkan soal makan babi. Dalam Islam, makan babi dilarang. Namun negara tidak mengatur larangan makan babi dalam pidana.

“Terapi sosial untuk zina adalah lewat pencegahan. Yang justru jadi mandat dalam Permen PPKS adalah adanya pengetahuan kesehatan reproduksi dan dan sexual education di kampus. Artinya, Permen PPKS menolak zina/perilaku seksual beresiko”.

Sebelumnya, sejumlah kelompok masyarakat mempersoalkan Permen PPKS. Di antaranya Majelis Ormas Islam.

MOI terdiri dari 13 anggota LSM Islam di Indonesia. Anggotanya antara lain adalah Persatuan Umat Islam (PUI), Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Syarikat islam (SI), Persatuan Islam (PERSIS), Wahdah Islamiyah, Hidayatullah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), dan beberapa lainnya.

Mereka meminta agar Permen PPKS dicabut. Ada beberapa alasan yang mereka kemukakan. Di antaranya, aturan tersebut dianggap melegalkan perzinaan. Juga dianggap mendukung perilaku seksual LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender).

Kelompok lain yang juga mempersoalkan Permen PPKS adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (IRW/Rio)