Aliansi Ulama-Negara Hambat Demokrasi dan Pembangunan di Dunia Muslim

1288
foto dok. KTT FIB UGM

Jakarta, CSW – Aliansi ulama dan negara adalah faktor yang menghambat demokrasi dan pembangunan di dunia Muslim. Demikian kesimpulan dari laporan yang dikeluarkan oleh lembaga Tony Blair Institute for Global Change pada 2 September 2021. Laporan itu ditulis oleh Dr. Ahmed T. Kuru, pengajar Ilmu Politik di San Diego State University.

Laporan yang aslinya berjudul “The Ulema-State Alliance: A Barrier to Democracy and Development in the Muslim World” itu dimunculkan di publik, tak lama setelah kelompok Taliban berkuasa lagi di Afganistan, pertengahan Agustus 2021. Taliban berkuasa di Kabul, menyusul mundurnya pasukan AS dan NATO dari negeri Asia Tengah itu.

Mungkin kedua momen ini tidak ada hubungannya secara langsung. Adalah kebetulan saja, momennya berdekatan. Namun, karena Afganistan termasuk bagian dari dunia Muslim, maka laporan ini otomatis juga terkait dengan kondisi negeri yang selalu bergolak tersebut.

Dalam laporan itu, Kuru menyatakan, berbagai hambatan struktural dengan akar sejarah yang dalam telah menghambat kemajuan di 50 negara mayoritas Muslim di dunia. Negara-negara ini cenderung mendapat skor di bawah rata-rata global pada kriteria utama, yang digunakan untuk mengevaluasi demokrasi dan pembangunan sosial ekonomi, seperti tingkat melek huruf dan harapan hidup.

Islam dan kolonialisme Barat biasanya dituding dan disebut sebagai sumber masalah ini. Tetapi penjelasan seperti itu problematik dan berfungsi untuk menyebarkan Islamofobia, anti-Westernisme, dan penyesatan untuk melempar kesalahan.

Sebaliknya, seperti dikemukakan dalam laporan ini, penyebab utama otoritarianisme dan keterbelakangan di banyak negara mayoritas Muslim adalah aliansi antara ulama Islam dan otoritas negara.

Terbentuknya Aliansi

Antara abad ke-8 dan 11 – sebuah era yang dikenal sebagai Zaman Keemasan Muslim – kelas ilmiah/terpelajar dan pedagang adalah mesin yang mendorong kemajuan ilmiah dan ekonomi. Namun, pada pertengahan abad ke-11, aliansi negara-ulama mulai terbentuk.

Aliansi ini secara bertahap meminggirkan kaum terpelajar dan pedagang independen. Inilah yang menyebabkan stagnasi intelektual dan ekonomi selama berabad-abad di dunia Muslim.

Berdasarkan pemeriksaan ulang sejarah ini, Ahmed Kuru mengusulkan visi baru untuk masa depan dunia Muslim. Ia merekomendasikan reformasi mendasar, baik dalam hubungan agama-negara maupun ekonomi. Pada abad ke-19 dan ke-20, penguasa reformis dan sekularis telah melemahkan aliansi mereka dengan para ulama.

Alih-alih mendorong munculnya kelas-kelas intelektual dan ekonomi yang dinamis untuk mengisi kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan, para penguasa ini malah memperluas peran birokrat militer dan sipil, yang menganut ideologi otoriter dan memaksakan kontrol negara atas perekonomian.

Sejak tahun 1970-an, beberapa negara Muslim terkemuka, seperti Iran, Mesir dan Pakistan, telah mengalami Islamisasi. Islamisasi ini telah menghidupkan kembali aliansi negara-ulama dan memberikan status konstitusional pada syariah.

Selanjutnya, setelah krisis minyak 1973, banyak negara Muslim, khususnya di kawasan Teluk Persia, menjadi “negara rente” (rentier states), yang menggunakan rente minyak untuk mendanai aliansi negara-ulama di dalam negeri dan agenda-agenda Islam di luar negeri.

Saat ini, sebagian besar negara Muslim berada di bawah pengaruh aliansi negara-ulama dan ekonomi rente (rentier economies). Pembongkaran aliansi ini dan restrukturisasi ekonomi akan menjadi penting bagi kemampuan negara-negara ini untuk mencapai demokrasi dan pembangunan.

Empat Rekomendasi

Laporan Institut Tony Blair ini memberi empat rekomendasi utama bagi pembuat kebijakan dan analis, yang ingin mempromosikan demokrasi dan pembangunan di negara-negara Muslim.

Pertama, penting untuk mengakui masalah otoritarianisme dan keterbelakangan, yang melanda sebagian besar negara Muslim. Adalah kontraproduktif untuk menyangkalnya dengan bersembunyi di balik relativisme budaya atau wacana dan alasan lainnya.

Kedua, kita harus berhenti menyalahkan Islam atau kolonialisme Barat semata. Tuduhan terhadap Islam sebagai penghambat pembangunan adalah tidak berdasar. Islam sangat cocok dengan kemajuan dalam sejarah awalnya, dan dunia Muslim terus menghasilkan pemikir-pemikir brilian bahkan di periode-periode berikutnya.

Terlebih lagi, dunia Muslim kontemporer bukanlah blok yang otoriter dan terbelakang. Dalam dunia Muslim itu juga mencakup beberapa kasus demokratisasi dan pembangunan.

Kolonialisme Barat tidak diragukan lagi merugikan negara-negara Muslim. Namun, bukan itu yang memulai masalah-masalah mereka. Menyalahkan imperialisme Barat semata-mata meminimalkan masalah-masalah domestik yang memang ada di negara-negara Muslim.

Ketiga, sangat penting untuk memahami bagaimana aliansi ulama-negara telah meminggirkan kaum intelektual dan wirausahawan ekonomi di dunia Muslim. Ini bukan berarti menyerukan perburuan anti-ulama atau mencari anarki tanpa negara (stateless anarchy).

Sebaliknya, itu adalah panggilan untuk menciptakan sistem yang terbuka, meritokratis dan kompetitif, di mana kelas politik, agama, intelektual dan ekonomi dapat beroperasi secara mandiri, dan tidak ada yang mampu mendominasi.

Kebebasan Berpikir

Reformasi semacam itu membutuhkan perluasan kebebasan berpikir, dengan menghapuskan undang-undang kemurtadan dan penistaan, dan perlindungan yang lebih dalam terhadap properti pribadi dengan mencegah perampasan oleh negara. Reformasi juga menuntut pelembagaan pemisahan antara agama dan negara. Islam tidak secara inheren menentang hal itu. Ada tingkat tertentu pemisahan antara otoritas agama dan politik dalam sejarah Islam awal.

Rekomendasi keempat dan terakhir berkaitan dengan ekonomi. Rente minyak telah mendanai aliansi ulama-negara selama lima dekade terakhir. Segera, rente ini mungkin kehilangan kepentingannya dengan menipisnya cadangan minyak, meningkatnya konsumsi domestik, dan/atau inovasi teknologi energi alternatif.

Banyak negara Muslim akan membutuhkan restrukturisasi ekonomi dan inovasi untuk bersiap menghadapi tantangan era pasca-minyak. Untuk menjaga stabilitas dan kemakmuran jangka panjang, negara-negara tersebut perlu membangun sistem produktif yang mendorong kewirausahaan.

Reformasi semacam itu mengharuskan aliansi ulama-negara berhenti mengendalikan kehidupan sosial politik. Transisi menuju sistem sosial ekonomi dan intelektual yang lebih terbuka akan menciptakan banyak peluang bagi negara-negara Muslim dan rekan-rekan Barat mereka, dalam hal investasi dan produksi.

Setelah keterlibatan militer dan politik yang gagal, beberapa negara Barat cenderung melepaskan diri dari sebagian besar dunia Muslim.

Sebaliknya, kemitraan baru antara negara-negara Muslim dan Barat dapat membantu proses reformasi menuju demokratisasi dan pembangunan. Selanjutnya, reformasi ini dapat memberikan dasar intelektual dan sosial ekonomi yang lebih kuat untuk setiap keterlibatan baru di antara keduanya. ***