Jakarta, CSW – Kami bahagia Presiden Jokowi memberikan amnesti kepada dosen Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Saiful Mahdi. Kami di Civil Society Watch termasuk salah satu organisasi yang meminta Presiden membebaskan sang dosen yang dipenjara karena sikapnya yang kritis.
DPR juga sudah menyetujui pemberian amnesti tersebut. Pada hari ini, Saiful seharusnya sudah bisa menghirup udara bebas.
Saiful Mahdi sama sekali tidak layak dipenjara. Ia justru seharusnya bisa menjadi teladan bagi seluruh dosen di Indonesia.
Secara terbuka dia mengkritik kebijakan penerimaan dosen yang terkesan korupsi. Sedihnya, karena kejujuran dan keberaniannya itu, ia dinyatakan bersalah di tiga tingkat pengadilan.
Di pengadilan negeri, ia dinyatakan bersalah. Dia naik banding. Di pengadilan tinggi, dia tetap dinyatakan bersalah. Dia mengajukan kasasi. Ternyata Mahkamah agung memutuskan Saiful tetap harus masuk penjara.
Saiful sudah berada di penjara sejak 2 September 2021. Untunglah banyak pihak yang bereaksi. Salah satunya adalah Koalisi Advokasi Saiful Mahdi yang melibatkan sejumlah LSM besar.
Di dalamnya ada wakil Kontras Aceh, LBH Banda Aceh, Paguyuban Korban UU ITE, Aliansi Darussalam untuk Kebebasan Akademik, Amnesty International Indonesia, dan beberapa lembaga lainnya.
Mereka bersama-sama meminta Presiden memberikan amnesti. Begitu juga lebih dari 85 ribu orang menandatangani petisi online menuntut pembebasan Saiful.
Permintaan masyarakat ini segera dijawab Presiden. Pekan lalu, Presiden mengeluarkan amnesti yang diharapkan. Apa yang terjadi dengan Saiful Mahdi adalah salah satu dari serangkaian bukti yang menunjukkan betapa berbahayanya UU ITE.
Saiful sebenarnya sekadar menunjukkan tanggungjawabnya sebagai seorang pendidik. Pada 2019, melalui Grup WhatsApp dia menyindir proses penerimaan PNS di Universitas Syiah Kuala yang dianggapnya berbau nepotisme.
Saiful menduga ada PNS yang diterima walaupun sebenarnya tidak layak lulus bila mengikuti prosedur resmi. Saiful sebenarnya tidak menyebut nama dalam tulisannya.
Tapi tetap saja ucapannya itu membangkitkan kemarahan Dekan Fakultas Teknik. Ia dilaporkan dan akhirnya dinyatakan bersalah dengan hukuman penjara tiga bulan dan denda Rp10 juta.
Untunglah ada Presiden Jokowi yang menyelamatkan Saiful Mahdi. Ini bukan pertama kalinya Presiden mengeluarkan amnesti kepada orang yang masuk penjara gara-gara UU ITE.
Sebelum ini, ada kasus Baiq Nuril, pada 2019. Dia adalah guru honorer di SMAN 7 Mataram, pada 2012 yang sebenarnya adalah korban pelecehan seksual atasannya.
Sang atasan melalui telepon berulangkali menyatakan kata-kata mesum dan cabul kepada Baiq. Karena takut, Baiq mengirimkan rekaman suara kepala sekolah yang mengandung muatan asusila itu kepada teman-temannya melalui WA.
Gara-gara itu, Baiq dituntut oleh sang Kepala Sekolah dengan tuduhan menyebarkan muatan yang melanggar kesusilaan. Baiq sempat divonis 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta.
Namun akhirnya, seperti Saiful, Baiq bebas karena Presiden mengeluarkan amnesti.
Ke depan, tentu kita tidak bisa terus berharap pada campur tangan Presiden ketika ada kasus-kasus serupa akibat UU ITE.
Yang jadi pokok masalah adalah UU ITE dan karena itu UU ITE harus ditulis ulang. Presiden sudah berulangkali mengungkapkan kegalauannya soal UU ITE. Dia mengatakan UU ITE tidak membawa rasa keadilan. Karena itulah pemerintah sudah mengajukan draft Revisi UU ITE ke DPR .
Jokowi menyatakan pemerintah akan meminta agar DPR menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa ditarik ulur sesuai kebutuhan. Pasal-pasal karet ini lah yang berulangkali digunakan pihak-pihak tertentu untuk membungkam hak asasi warga untuk bicara
UU ITE ini sendiri sebenarnya dilahirkan pada 2008, di era SBY. UU ini semula diniatkan untuk mencegah jangan sampai terjadi kecurangan transaksi, kejahatan elektronik. UU ITE ini juga diharapkan dapat mencegah agar internet tidak digunakan untuk penyebaran materi yang merugikan kepentingan masyarakat luas.
Masalahnya, segera sesudah UU ini disahkan, banyak korban yang berjatuhan. Pasal-pasal dalam UU ITE itu memang mengandung banyak masalah.
Misalnya saja definisi ‘pencemaran nama baik’ di UU ITE tersebut sangat kabur. Setiap orang yang tersinggung dengan pernyataan orang lain yang menyakiti hati di medsos, bisa melapor ke polisi dengan menggunakan UU ITE.
Begitu juga pasal di UU ITE tentang larangan penyebaran materi yang melanggar kesusilaan, sama kaburnya. Pada 2015, pemerintah Jokowi yang baru berusia satu tahun sebenarnya sudah berinisiatif meminta DPR mengubah isi UU tersebut.
Namun saat itu perubahan yang dilakukan hanya sederhana. Revisi UU yang dilakukan hanya soal pengurangan ancaman pidana penjara.
Akibatnya UU ini terus memakan korban. Kini pemerintah berusaha lagi mengajukan rancangan Revisi UU ITE.
Presiden sudah berulangkali menyampaikan kritiknya terhadap UU ITE. Di bawah koordinasi Menkopolhukam, dibentuk tim untuk mempelajari, meneliti, dan mengembangkan revisi yang diperlukan.
Tim tersebut merancang revisi dengan mengundang banyak pihak, termasuk sebenarnya Saiful Mahdi sendiri untuk memberi masukan. Kapolri sudah mengeluarkan surat edaran kepada jajaran POLRI untuk tidak dengan begitu saja menindaklanjuti laporan masyarakat terkait UU ITE ke pengadilan.
Kapolri meminta polisi sangat berhati-hati dan mengedepankan penyelesaian melalui dialog. Pada Juni lalu, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pedoman implementasi UU ITE.
SKB itu ditandatangani antara lain oleh Kapolri, Kominfo, dan Menkopolhukam. SKB itu diharapkan bisa melindungi masyarakat di saat Revisi UU ITE belum lagi dilahirkan.
Isi pedoman tersebut cukup terperinci dan bisa memproteksi masyarakat. Sebagai contoh SKB ini menyatakan konten cacian dan ejekan tidak bisa dipidanakan kalau itu merupakan hasil penilaian, pendapat atau bahkan kenyataan.
Lebih jauh lagi SKB ini juga menyatakan bahwa kalau konten penghinaan atau pencemaran nama baik itu disebarkan lewat sarana grup percakapan terbatas, misalnya Grup WhatsApp, tindakan itu tidak dapat dipidanakan.
Jadi pemerintah sangat serius berusaha mencegah jangan sampai ada lagi korban UU ITE yang diperlakukan tidak adil.
Kabarnya, Revisi UU ITE sudah resmi masuk ke Program Legislasi Nasional Prioritas di DPR tahun 2021. Kita berharap saja bahwa dalam sisa 3 bulan ini, DPR bisa melahirkan revisi tersebut.
Kita semua tentu bahagia Presiden terus bersedia turun tangan menyelamatkan korban-korban UU ITE.
Namun Remisi seharusnya adalah langkah darurat saja. Yang terpenting adalah UU yang bermasalah ini bisa dirombak agar tidak ada lagi korban yang dirugikan.