Jakarta, CSW – Apakah pemerintah perlu mengontrol masjid-masjid yang ada di Indonesia? Pertanyaan ini sekarang menjadi pembicaraan di masyarakat sipil. Karena ada pernyataan dari Kepala Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol. Rycko Amelza Dahniel bulan lalu.
Dalam sebuah rapat dengan Komisi III DPR RI, Rycko mendapat pertanyaan dari anggota Komisi III DPR Safaruddin. Safaruddin menyinggung soal karyawan PT KAI Indonesia yang terpapar paham radikalisme dan kasus terorisme.
Dikatakan juga di masjid itu, penceramahnya suka mengolok-olok pemerintah dan menyebarkan rasa kebencian. Menangapi pernyataan itu, Rycko memberi contoh tentang negara-negara lain di dunia Islam.
Dia mengatakan bahwa di banyak negara di Timur Tengah, dan juga di Malaysia dan Singapura, pemerintah memang mengontrol ketat kegiatan di masjid, termasuk ceramah-ceramahnya. Rycko juga mengatakan di sejumlah negara, seperti Qatar dan Maroko, kontrol itu mudah dilakukan karena masjid-masjid di sana adalah milik pemerintah.
Dengan merujuk pada pengalaman di negara-negara lain itu, Rycko mengatakan bahwa hal serupa mungkin bisa diterapkan di Indonesia. Rycko mengusulkan supaya pemerintah Indonesia perlu mengontrol masjid-masjid, tapi jangan dilakukan sendiri.
Kontrol masjid harus dilakukan secara bersama-sama. Kontrol kolektif itu melibatkan banyak pihak, seperti tokoh agama, MUI, sampai para akademisi.
Dengan cara ini, masjid nggak bisa merasa bebas-bebas saja menampilkan penceramah yang radikal.
Ini perlu dilakukan karena adanya jaringan Islam radikal yang sengaja menyasar masjid-masjid BUMN. Untuk itu perlu ada pengawasan atas agenda ibadah dan daftar penceramah demi menghindari hadirnya narasi kekerasan di tempat ibadah.
Dalam kesempatan lain, Rycko mengakui kalau kontrol terhadap rumah ibadah ini tidak mudah. Masalahnya masjid di Indonesia sangat banyak dan beragam. Ada yang masjid pemerintah, ada yang BUMN, ada masjid milik pribadi, masjid pesantren dan sebagainya.
Karena itu BNPT pun sadar pengeontrolan masjid ini tidak sederhana. Pernyataan Rycko ini kemudian mendapat banyak tanggapan. Berbagai organisasi agama meminta agar gagasan itu tidak diwujudkan.
Yang keberatan dengan rencana pengontrolan rumah ibadah ini termasuk MUI, Muhammadiyah dan juga Persekutuan Gereja Gereja Seluruh Indonesia. Ketua MUI KH Anwar iskandar menganggap rencana pengontrolan rumah Ibadah itu berlebihan.
Menurutnya yang lebih penting adalah penangkalan intoleransi. Nggak perlu sampai ada pengawasan sampai ke dalam-dalam masjid. Dia setuju kalau pemerintah menindak penceramah atau khatib yang menyebarkan ajaran-ajaran intoleran.
Tapi nggak perlu sampai mengontrol rumah ibadahnya. Begitu juga Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas menyatakan rencana BNPT itu bertentangan dengan konstitusi. Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pdt Gomar Gultom pun menganggap usulan tersebut merupakan langkah mundur dari demokratisasi.
Menurut Pendeta Gultom, masalah yang sekarang terjadi adalah kurang tegasnya pemerintah dalam menghadapi berbagai ujaran kebencian. Begitu pula Sekretaris Jenderal DMI Imam Addaruqutni mengatakan usulan Kepala BNPT itu tidak selaras dengan nilai-nilai demokrasi, melainkan lebih mengarah kepada pemerintahan totalitarianisme.
Jadi ada banyak sekali protes terhadap rencana kontrol rumah ibadah ini. Kita mungkin perlu memahami adanya kekhawatiran yang dilontarkan masyarakat sipil. Namun di sisi lain, gagasan Ketua BNPT itu sebaiknya juga tidak ditanggapi dengan sikap antipati yang berlebihan.
Radikalisme di Indonesia adalah sebuah masalah besar yang memang bisa mengancam kesatuan dan keutuhan bangsa. Selama ini kita sudah sangat sering mendengar tentang adanya penceramah-penceramah yang menyuarakan kebencian.
Karena itu memang perlu ada pengawasan bersama. Seperti dikatakan Ketua BNPT, pemerintah seharusnya tidak melakukan kontrol sendirian. Perlu ada kerjasama dengan berbagai pihak. Misalnya saja Majelis Ulama Indonesia dan Dewan Mesjid Indonesia.
MUI dan DMI mungkin bisa membuka pos pengaduan kalau ada jemaah yang merasa terganggu dengan khotbah-khotbah radikal. Sesudah itu MUI dan DMI bisa berkomunikasi dengan pemerintah untuk menangani penceramah-penceramah yang semacam ini.
Nggak perlu dengan tindakan keras. Cukup dengan berdialog dan berdiskusi dengan penceramah tersebut. Begitu juga di masjid-masjid BUMN, seharusnya ada penanggungjawab dari BUMN yang bersangkutan yang bisa mengawasi isi ceramah dan pengajian di masjidnya.
Ini perlu dilakukan karena umat islam di Indonesia memiliki kepercayaan tinggi terhadap mereka yang dianggap sebagai ulama. Apa yang disampaikan para penceramah di masjid-masjid bisa begitu saja dipercaya dan diikuti oleh para Jemaah.
Akan jadi masalah kalau ternyata penceramah yang dipercaya itu justru menyebarkan ajaran kebencian yang bertentangan dengan nilai-nilai agama itu sendiri. Karena itu mari kita dukung pemerintah dalam upayanya memerangi radikalisme agama di Indonesia. Termasuk dalam mencegah jangan sampai masjid-masjid di Indonesia menjadi tempat penyebaran ajaran radikal.