Jakarta, CSW – Apakah LSM Indonesia adalah antek asing? Pertanyaan ini kembali keluar gara-garanya pernyataan Opung Luhut Binsar Pandjaitan. Opung bilang, LSM di Indonesia itu harus diaudit karena dia curiga ada kekuatan asing yang campur tangan di negara kita lewat LSM.
Dia bicara gitu setelah memberi kesaksian di persidangan kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Kedua aktivis LSM itu dituduh mencemarkan nama baik Opung Luhut waktu di kanal youtube bilang Opung punya kepentingan bisnis di Papua dalam konteks operasi militer di sana.
Sebenarnya dalam persidangan, persoalan dana asing LSM ini sama sekali nggak disebut-sebut. Tapi bisa jadi Opung bicara begitu karena di acara sidang memang terlihat banyak orang asing yang hadir. Opung juga menjelaskan bahwa ada salah satu duta besar negara asing mendatanginya terkait kasus tuduhan pencemaran nama baik itu.
Jadi dia mungkin bicara soal dana asing karena dia mempertanyakan ketertarikan pihak asing terhadap kasusnya. Atau juga karena dia kesal saja dengan kedua tokoh yang datang dari LSM yang diketahui memang menerima bantuan dana asing.
Fatia adalah aktivis HAM dari Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Haris Azhar juga dulu aktif di Kontras dan sekarang memimpin LSMnya sendiri, yang Bernama Lokataru.
Mungkin kalian banyak tau, banyak LSM di Indonesia, walaupun bernama Lembaga Swadaya Masyarakat, tapi beroperasi dengan bantuan dana asing. Ini karena nggak mudah untuk mengumpulkan dana dari masyarakat Indonesia untuk membantu kegiatan-kegiatan advokasi yang dilakukan LSM.
Di Indonesia juga nggak banyak orang atau perusahaan kaya yang bersedia membantu LSM. Jadi salah satu sumber pembiayaan andalan LSM yaa penyandang dana atau funding asing.
Ini sudah terjadi di Indonesia sejak awal tumbuhnya berbagai LSM di periode 1980an dulu. Tapi jangan buru-buru nuduh bantuan lembaga asing itu buruk atau jahat ya. Kalau dilihat sejarahnya dulu, banyak pihak asing merasa harus menyalurkan dana ke negara-negara berkembang karena sadar, negara-negara kurang maju itu perlu dibantu.
Kepada pemerintah, negara-negara ekonomi maju itu memberikan bantuan asing dalam bentuk pinjaman. Nah Itu terjadi sampai sekarang dan bukan cuma di Indonesia. Tapi mereka juga membantu langsung ke masyarakat, karena sadar bahwa pembangunan nggak bisa hanya dilakukan pemerintah tapi juga harus melibatkan lembaga yang dibentuk masyarakat.
Dana lembaga funding itu besar sekali. Dana juga disalurkan untuk program demokratisasi, hak asasi manusia, kebebasan pers, lingkungan, kesehatan dan lain sebagainya. Jadi bantuan lembaga asing itu sebenarnya sudah biasa terjadi sejak lama. Dan dari dulu pun sudah biasa dicurigai.
Dari dulu pun LSM Indonesia sudah dituduh antek asing. Tapi sekarang ini menjadi lebih bermasalah karena banyak persoalan terkait dunia internasional. Indonesia saat ini harus berhadapan dengan kekuatan asing terkait kebijakan ekonomi kita.
Misalnya saja nih soal hilirisasi nikel. Kebijakan pemerintah Indonesia menghentikan ekspor nikel mentah jelas membuat banyak negara Eropa marah. Indonesia bahkan ditekan oleh Uni Eropa untuk membatalkan penghentian ekspor nikel.
Indonesia ditekan oleh WTO yang berpihak pada Uni Eropa. Pada saat yang sama kebijakan hilirisasi nikel juga dikecam sejumlah LSM di Indonesia karena dianggap merusak lingkungan.
Logislah kalau sikap LSM Indonesia dipertanyakan. Apakah itu murni kepedulian LSM atau karena ada titipan kepentingan asing? Begitu juga dalam kasus Papua. Pemerintah Indonesia harus berhadapan dengan gerakan separatis Papua yang berusaha memisahkan diri dari Indonesia.
Tapi pada saat yang sama banyak pihak asing yang marah kepada pemerintah karena ruang geraknya, seperti Freeport, untuk mengeruk kekayaan alam di sana dibatasi. Ada dugaan gerakan-gerakan pemberontak itu didanai pihak asing.
Karena itu ketika ada LSM-LSM dalam negeri mengecam langkah Indonesia menangani konflik Papua, pertanyaan serupa muncul lagi. Apakah kritik itu murni karena kepedulian LSM atau karena ada biaya asing di belakang kecaman itu?
Begitu juga dengan masalah kelapa sawit. Beberapa tahun yang lalu, anggota DPR RI Fadel Muhammad bahkan meminta pemerintah membekukan aliran dana LSM yang berasal dari Uni Eropa, karena LSM dituduh terlibat dalam kampanye negatif terhadap kelapa sawit Indonesia.
Kita tentu nggak ingin LSM di Indonesia sampai harus diperlakukan sebagai tertuduh pelaku kejahatan semacam itu. Tapi transparansi dan pertanggungjawaban dana LSM seperti yang diminta Opung sebenarnya bisa dimengerti.
Kalau LSM-LSM Indonesia memang memperoleh dana yang murni diniatkan dan digunakan untuk kepentingan Indonesia, seharusnya LSM nggak perlu risih dong dengan audit dana yang diusulkan.
Apalagi menurut Pusat Penelusuran dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), setiap tahunnya aliran dana asing yang masuk ke LSM di Indonesia berkisar antara 1-1.5 triliun rupiah.
Dengan dana sebesar itu, LSM rasanya perlu lebih terbuka tentang pendanaan mereka. Sebenarnya di banyak negara pun, audit dana LSM lazim kok dilakukan. Di Amerika Serikat, laporan aliran dana ini diwajibkan terutama karena urusan pajak.
Aktivitas LSM pun harus dilaporkan ke Departemen Kehakiman. Pemerintah di sana kuatir dengan pengaruh asing dalam politik domestik mereka. Demikian pula dengan isu terorisme.
Karena itu dana LSM harus dibuat setransparan mungkin. Di Inggris hal serupa juga terjadi kok. Di sana ada sebuah Komisi, bernama Charity Commission, yang mengawasi aliran dana sosial, termasuk yang diperuntukkan bagi LSM.
LSM harus mengirimkan laporan tahunan dan rekening ke Komisi. Laporan itu akan dipublikasikan secara online. Komisi juga melakukan investigasi jika ada dugaan penyalahgunaan.
Karena itu supaya LSM di Indonesia nggak lagi dituduh antek asing yang memperjuangkan kepentingan asing, ya tentunya transparansi dana diperlukan. Masyarakat perlu tahu dong siapa-siapa aja sih yang mendanai LSM-LSM Indonesia. Karena hanya dengan cara itu, kepercayaan publik terhadap LSM akan bisa dibangun. Iya nggak?