Jakarta, CSW – Masyarakat Sipil Indonesia perlu belajar dari apa yang terjadi di negara tetangga kita Filipina. Putra diktator Ferdinand Marcos, yang akrab dipanggil Bongbong, unggul mutlak dalam pemilihan Presiden Filipina Dengan lebih dari 95 persen suara dihitung, Bongbong meraih sekitar 30 juta suara. Ferdinand Marcos Junior itu meraih lebih dari dua kali lipat suara saingan terdekatnya, Wakil Presiden Leni Robredo. Leni Robredo cuma memperoleh sekitar 14 juta suara. Bagaimana anak diktator dan koruptor bisa terpilih menjadi Presiden Filipina? Kemenangan Bongbong terjadi berkat kampanye media sosial yang masif.
Kampanye ini berhasil mengubah citra kelam era Marcos lama. Diktator Marcos sempat berkuasa 31 tahun, hampir seperti Soeharto di Indonesia. Era Marcos diwarnai periode darurat militer, dan pelanggaran HAM yang mengerikan. Ditambah korupsi yang meluas di pemerintahan, dan hampir terjadi keruntuhan ekonomi. Bank Dunia dan PBB melaporkan, ada 10 miliar dollar Amerika uang hasil korupsi yang dicuri Marcos. Tetapi di medsos saat ini, era Marcos dipropagandakan sebagai zaman keemasan. Zaman yang penuh kemakmuran dan bebas kejahatan.
Kampanye medsos yang manipulatif ini sudah berlangsung intensif dalam 10 tahun terakhir. Bongbong juga diuntungkan oleh komposisi pemilih di Filipina. Mayoritas pemilih adalah kaum muda, yang tidak mengalami represi zaman diktator Marcos. Kepada mereka, Bongbong menggambarkan diri sebagai tokoh yang pro-perubahan. Bongbong menjanjikan kebahagiaan dan persatuan. Seolah-olah angin surga di Filipina. Rakyat Filipina sudah lelah selama bertahun-tahun oleh konflik politik, kesulitan ekonomi yang dilanjutkan dengan kesulitan pandemi.
Rakyat yang susah haus akan cerita yang lebih baik, walaupun cerita itu penuh tipu. Padahal, Bongbong hanya berbicara sedikit tentang detail kebijakannya saat berkampanye. Yang diomongkan Bongbong juga daftar janji yang biasa-biasa saja. Bahkan sebagian besar cuma melanjutkan kebijakan Presiden Duterte. Sebetulnya tidak ada yang baru. Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Evi Fitriani, berkomentar, kemenangan Bongbong bisa terjadi karena sistem demokrasi yang belum matang. Budaya politik di Filipina belum menunjang sistem demokrasi. Orang memilih hanya karena uang, hubungan pribadi, atau persona pribadi si kandidatnya. Di Filipina, dinasti keluarga yang kaya mendominasi kongres serta partai politik.
Hal ini sudah terjadi sejak zaman dulu, seperti keluarga Aquino dan Marcos. Jadi walau diktator Marcos sudah dijatuhkan, proses hukumnya tidak tuntas. Malahan dalam waktu lima tahun, keluarga Marcos bisa come back. Bongbong bisa memulai karir politik lagi. Ia mulai dari jabatan gubernur, anggota senat, lalu terpilih jadi presiden. karena mereka punya pengikut, yang dulu diuntungkan sejak zaman Marcos berkuasa. Ditambah lagi, banyak masyarakat Filipina yang miskin dan tingkat pendidikan belum merata. Sehingga rakyat mudah dibohongi oleh pemberitaan medsos, yang memutar balik sejarah. Evi memperingatkan, hal yang sama juga bisa terjadi di Indonesia.
Banyak pihak berusaha membangun imej tentang kejayaan Orde Baru. Ada aktivis mahasiswa yang mengatakan, zaman Orde Baru penuh kemakmuran dan kebebasan. Padahal banyak media yang kritis telah dibreidel di zaman Soeharto. Di zaman Soeharto, rakyat tidak bebas bersuara, dan tidak bebas berorganisasi. Jumlah partai politik juga sangat dibatasi. Jika mahasiswa yang terdidik saja bisa ditipu, apalagi rakyat biasa yang awam. Untuk itu, Evi meminta masyarakat Indonesia, agar lebih cerdas. Evi juga mengharap peran media, yang tidak disetir kelompok-kelompok tertentu. Karena, dalam kasus di Filipina, yang banyak bermain adalah media alternatif. Media ini disebar oleh kelompok Bongbong dengan kekuatan uang. Jadi, untuk mengatasi manuver sejenis di Indonesia, media yang independen harus diperkuat. Kelompok-kelompok civil society juga harus diperkuat.
Tujuannya adalah untuk membuat counter narasi. Staf Peneliti di Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional, Wasisto Raharjo Jati, ikut berkomentar. Ia menilai, terpilihnya Bongbong di Filipina sebagai peringatan untuk demokrasi di Indonesia. Soalnya, gejala politik ini sudah kian umum di Asia Tenggara. Secara regional, selain bangkitnya klan Marcos, muncul pemerintahan militeristik di Myanmar dan Thailand. Hal ini menunjukkan lampu kuning terhadap perkembangan demokrasi di ASEAN. Artinya, termasuk pula demokrasi Indonesia. Masyarakat sipil Indonesia perlu aktif bersuara memperjuangkan demokrasi. Masyarakat sipil sudah harus bersiap menujuk pemilihan presiden dan wakil rakyat pada 2024. Jangan sampai Indonesia mengalami situasi politik seperti Filipina.