Benarkah Hasil Survei Tergantung Pesanan?

600

Jakarta, csw – Saat ini semakin sering kita mendengar hasil-hasil survey tentang calon presiden 2024. Ada pihak-pihak yang meragukan hasil-hasil survey semacam itu. Tuduhannya, hasil survey-survei itu sebenarnya tergantung pesanan mereka yang membayar. Jadi hasilnya tidak objektif. Tapi benarkah: hasil survey tidak bisa dipercaya? Menurut kami di CSW, tuduhan semacam itu berlebihan.

Mungkin ada hasil survey abal-abal, tapi ada cukup banyak di Indonesia yang bisa diandalkan. Ada sejumlah lembaga survey yang punya kredibilitas tinggi. Di antaranya adalah: SMRC, Lembaga Survei Indonesia, Indikator, CSIS, Litbang Kompas, Charta Politica, Poltracking, Cyrus Network, dan beberapa lainnya. Hasil-hasil survey mereka selama belasan tahun terbukti bisa dipercaya.

Menariknya, hasil survey mereka pada umumnya kurang lebih tak jauh berbeda. Jadi kalau hasil survey SMRC menunjukkan saat ini Ganjar Pranowo unggul sebagai capres, maka hasil serupa ditunjukkan Indikator, Lembaga Survei Indonesia, CSIS dan seterusnya. Apakah mereka berkolusi satu dengan yang lain?

Hampir pasti tidak. Lembaga-lembaga survey tersebut adalah perusahaan yang saling berkompetisi. Jadi tidak masuk akal kalau mereka bersama secara sengaja melahirkan hasil yang sama. Juga tidak masuk akal kalau dikatakan hasil survey mereka tergantung pesanan.

Misalnya saja, kalau semua tergantung pesanan, apakah itu berarti semua lembaga survey yang tadi disebut dibayar oleh Ganjar? Lagi-lagi jawabannya, hampir pasti tidak. Hasil survey mereka kurang lebih sama karena mereka semua mengikuti metode penelitian yang sama.

Melakukan survey nasional di Indonesia yang sangat luas tidak gampang. Pemilih di Indonesia pada 2024 mencapai 190 juta di 34 provinsi Tantangan bagi peneliti adalah bagaimanakah bisa mengetahui pendapat 190 juta orang itu?

Yang paling ideal adalah mewawancarai 190 juta orang. Tapi itu tidak realistis. Untunglah dalam metode penelitian, dikenal apa yang disebut sebagai sampling. Sebagaimana istilahnya, sampling merujuk pada sampel.

Keseluruhan penduduk Indonesia adalah populasi. Sementara yang diwawancara peneliti adalah sampel. Dengan mewawancarai hanya misalnya 2000 sampel, peneliti sudah bisa memproyeksikan hasilnya pada keseluruhan penduduk Indonesia.

Namun agar memang bisa mewakili keseluruhan penduduk, penarikan sampel penelitian tidak bisa dilakukan sembarangan. Dan ini bukan perkara yang mudah dan murah. Kalau syarat-syarat pengambilan sampel diabaikan, hasil akhir sebuah penelitian bisa tidak berarti.

Misalnya saja kita sering mendengar adanya polling yang dilakukan media social. Jadi misalnya ada akun twitter yang mengajukan pertanyaan : apakah Anies Baswedan pantas menjadi Presiden RI? Lantas, di bawahnya tersedia pilihan: like kalau setuju, retweet kalau tidak setuju.

Misalkan saja ada 1000 orang menjawab. Ada 800 yang like dan hanya 200 yang retweet Bisakah disimpulkan bahwa mayoritas warga menganggap Anies pantas menjadi Presiden RI? Ya tidak. Hasil jajak pendapat seamacam itu tidak bisa digunakan untuk mengetahui pendapat masyarakat secara umum.

Seribu orang yamg menjawab pertanyaan tweet itu bukan sampel yang mewakili masyarakat secara umum. Bisa jadi si pemilik akun memang adalah pendukung Anies, sehingga yang menjadi friends atau followers dia juga umumnya adalah pendukung Anies.

Jadi wajar saja kalau yang mengikuti jajak pendapat mayoritas adalah pendukung Anies. Atau bisa saja, ada pihak-pihak tertentu yang mendanai netizen untuk beramai-ramai menjawab ‘komentar. Atau bisa pula ada satu orang yang memiliki beberapa akun sekaligus. Singkatnya, survey semacam ini sama sekali tidak bisa diandalkan.

Tapi survey yang dilakukan di lapangan pun bukanlah selalu sempurna. Seperti tadi dikatakan, kuncinya ada pada soal bagaimana menarik sampel dari 190 juta warga di 34 provinsi. Jumlah sampel yang ditarik tidak harus sampai jutaan, ratusan ribu, puluhan ribu atau belasan ribu orang.

Dengan perhitungan statistic, jumlah sampel yang diperlukan bisa cuma ribuan orang. Tapi ada syarat yang harus dipenuhi. Penarikan sampelnya harus dilakukan secara acak. Istilah kerennya, yang sering kita dengar, adalah random sampling. Jadi ada beberapa tahap yang harus dilalui.

Kalau yang ingin diketahui adalah pendapat rakyat Indonesia, maka penelitian harus dilakukan di semua provinsi. Itu artinya harus dilakukan di 34 provinsi. Di setiap provinsi, peneliti harus punya daftar nama warga. Dari daftar nama warga itulah, akan dipilih nama-nama responden yang akan diwawancara.

Tapi pemilihan nama warga tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Misalnya kalau di sebuah provinsi ada 1 juta warga, maka peneliti harus melakukan semacam undian untuk menentukan siapa yang menjadi responden.

Undian itu dilakukan dengan computer. Karena Indonesia sangat besar, biasanya peneliti akan melakukan pemilihan sampel secara bertahap. Misalnya, dari ribuan desa yang ada di Indonesia, mula-mula diundi 250 desa sebagai sampel. Di setiap desa, diundi 10 nama warga yang akan diwawancara.

Jumlah totalnya 2500 orang. Jadi, sebuah lembaga survey harus memiliki pasukan yang kuat. Harus ada petugas pewawancara yang terlatih di setiap provinsi. Pewawancara ini pun harus tahan banting. Sebagai contoh, pewawancara tidak bisa mengganti begitu saja respoden yang harus dia wawancara.

Misalnya saja seorang peneliti datang ke rumah calon responden dan orang tersebut ternyata tidak ada di rumah atau sedang bepergian ke luar kota. Si peneliti tidak bisa begitu saja mengganti responden dengan keluarga si responden yang ada di rumah.

Peneliti harus menunggu sampai bisa bertemu respoden. Atau bila tetap tidak bisa ditemui, peneliti harus mencari responden pengganti dengan cara memilih ulang secara acak. Kondisi-kondisi itulah yang menyebabkan hanya lembaga survey yang punya dana cukup besar yang bisa menyelenggarakan survey nasional.

Tapi yang menarik, kalau semua proses penelitian itu dilakukan dengan benar, hasil penelitiannya kurang lebih akan sama. Coba saja lihat hasil survey lembaga-lembaga yang tadi disebut. Kalau soal capres, hampir pasti yang nomor satu adalah Ganjar Pranowo, kedua Prabowo Subianto, dan ketiga Anies Baswedan.

Hasilnya kurang lebih sama, bukan karena pesanan. Hasilnya mirip karena metode yang mereka gunakan kurang lebih sama. Jadi rasanya tidak ada alasan untuk tidak percara pada hasil survey lembaga-lembaga yang punya kredibilitas. Kalau mereka main-main dengan produk penelitian mereka, itu sama saja dengan bunuh diri.

Lembaga penelitian hidup atas dasar kepercayaan orang. Begitu mereka main-main, kepercayaan akan hilang. Jadi apakah kita bisa percaya dengan hasil penelitian lembaga-lembaga survey besar? Kami di CSW dengan yakin akan menjawab: ya, bisa dipercaya. Bagaimana dengan Anda?