Bentrok Massa PP vs BPPKB Banten, dan Konsekuensi Pelanggaran dalam UU Ormas

625
foto dok. Detik

Jakarta, CSW – Pemuda Pancasila (PP) dikabarkan terlibat bentrok dengan Badan Pembinaan Potensi Keluarga Besar (BPPKB) Banten pada Minggu (26/9). Bentrok terjadi di Markas BPPKB Banten yang berlokasi di Desa Gekbrong, Cianjur, perbatasan Cianjur-Sukabumi.

Bentrok berawal ketika Markas BPPKB Banten dirusak massa PP. Tindakan itu lalu memancing kemarahan massa BPPKB Banten. Dua kubu massa pun saling serang menggunakan senjata tajam. Satu orang dikabarkan meninggal dunia akibat bentrok tersebut.

Kapolres Cianjur AKBP Doni Hermawan menyatakan, satu orang yang meninggal dunia itu adalah anggota PP. “Selain itu, dari kedua pihak juga ada beberapa orang yang mengalami luka,” kata Doni.

Suasana di Sukabumi dikabarkan mencekam. Massa PP melakukan razia dan penyisiran di sepanjang Jalan Lingkar Selatan, jalur ramai menuju Cianjur dan Bogor, dengan menggunakan sepeda motor pada Senin dini hari. Mereka juga mendatangi Pos BPPKB Banten dan merusaknya.

Warga yang berada di lokasi menyaksikan puluhan massa PP mengendarai sepeda motor sambil berteriak-teriak. “Kejadiannya sekitar pukul 23.00 WIB. Puluhan massa yang memakai atribut PP merusak Pos BPPKB Banten yang ada di dekat Terminal Lembursitu,” kata Dede (35), seorang warga setempat kepada wartawan.

Dede tidak mengetahui persis apakah pos tersebut kosong atau ada anggota BPPKB Banten di dalamnya. Ia mengaku hanya bisa melihat dari kejauhan, ketika massa menghancurkan atap hingga dinding pos tersebut.

Bentrokan yang Menjalar

Bentrok antara PP dan BPPKB Banten bukan kali pertama. Sebelumnya massa PP dan massa BPPKB Banten sudah terlibat bentrok di Sumedang pada Minggu (26/9). Dari bentrok di Sumedang itulah lalu menjalar ke Cianjur, Sukabumi, hingga Kabupaten Bandung.

Bentrok di Sumedang bermula ketika salah satu oknum anggota PP diduga mengganggu proyek pembangunan puskesmas di Desa Sukagalih, Sumedang Selatan. Proyek ini sedang ‘diamankan’ BPPKB Banten.

Kapolres Sumedang AKBP Eko Prasetyo Robbyanto menyatakan, oknum anggota PP menurunkan bendera ormas BPPKB Banten yang diduga tengah mengamankan proyek pembangunan itu. Massa BPPKB Banten yang merasa tersinggung akhirnya menyerang markas PP Sumedang.

“Sekretariat MPC PP Sumedang diduga telah dirusak oleh anggota BPPKB. Sejumlah anggota Ormas PP mengalami luka-luka. Anggota PP melakukan serangan balasan ke sekretariat BPPKB, yang berada di Kelurahan Regol Wetan Sumedang,” tutur Eko.

Belakangan, Polres Cianjur dikabarkan menetapkan dan menahan 5 anggota BPPKB Banten, yang menjadi tersangka pelaku pembunuhan satu anggota PP tersebut. Empat tersangka dinyatakan membacok korban dan yang lain memukul dengan benda tumpul. Korban meninggal dunia dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Atas perbuatannya, lima tersangka itu dijerat Pasal 170 ayat (2) ke 3 KUHP dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara dan atau pasal 351 ayat (3) KUHP dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara dan atau 10 tahun penjara.

Larangan dan Sanksi bagi Ormas dalam UU Ormas

Pengurus atau anggota ormas harus sadar, KUHP bukanlah satu-satunya aturan main yang bisa menjerat mereka jika melanggar hukum. Di luar itu, ada UU Ormas yang juga menyebut ketentuan sanksi bagi ormas yang melanggar, termasuk ancaman pidana.

Tapi sebelum mengetahui apa saja ancaman dalam UU Ormas, baiknya kita mulai dengan apa saja hal-hal yang dilarang dilakukan dalam UU tersebut.

UU Ormas pertama ditetapkan 1985. Setelah berlaku selama lebih dari 20 tahun dan semangatnya dianggap sudah tidak relevan dengan semangat reformasi, UU itu kemudian diganti dengan UU yang baru, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Ormas.

Dalam UU baru tersebut terdapat sejumlah larangan yang harus dihindari ormas dan sanksi bila melanggar. Dalam Bab XV Larangan Pasal 59 disebutkan, ada 13 larangan bagi ormas yang dibagi menjadi 4 kluster. Dari 13 itu, yang relevan dengan kasus bentrok massa PP dan BPPKB Banten di Sumedang, Cianjur, Sukabumi, dan Kabupaten Bandung setidaknya ada 2, yaitu ayat 2 huruf d dan huruf a.

Ayat 2 huruf d berbunyi, “Ormas dilarang melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial”. Sedangkan dalam huruf a berbunyi, “Ormas dilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan.”

Lalu, apa sanksi bagi ormas yang melanggar larangan dalam UU Ormas?

Dalam Bab XVII Sanksi UU Ormas Tahun 2013 Pasal 60 dikatakan, pemerintah atau pemerintah daerah dapat memberikan sanksi administratif kepada ormas yang melanggar. Namun, sanksi administratif diberikan setelah melakukan upaya persuasif terhadap ormas yang melanggar tersebut.

Peluang untuk Memperbaiki Diri

Dengan kata lain, UU Ormas memberikan kepercayaan penuh kepada ormas yang melanggar untuk memperbaiki diri. Karena itu, pemerintah masih diminta membuka peluang melakukan upaya persuasif.

Namun, jika upaya itu tidak kunjung membuat ormas memperbaiki diri, sejumlah bentuk sanksi administratif akan diberikan. Yaitu: (a) peringatan tertulis; (b) penghentian bantuan dan/atau hibah; (c) penghentian sementara kegiatan; (d) pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

Dalam UU Ormas Tahun 2013, pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum, sebagai sanksi terberat, tidak bisa dilakukan pemerintah sendiri. Pemerintah harus menunggu keputusan pengadilan. Proses itu memakan waktu paling lama 80 hari kerja, yakni 60 hari di Pengadilan Negeri dan 20 hari di Mahkamah Agung.

Bila pencabutan surat keterangan terdaftar yang dilakukan Menteri Dalam Negeri dan pencabutan status badan hukum yang dilakukan Menteri Hukum dan HAM dikabulkan Mahkamah Agung, maka otomatis ormas itu sudah dibubarkan.

Belakangan pemerintah menetapkan UU Ormas yang baru, yaitu UU Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, Menjadi Undang-Undang.

Lebih Galak dari Sisi Sanksi

UU Ormas Tahun 2017 bisa dibilang lebih galak dari sisi sanksi dibandingkan UU Ormas Tahun 2013.

Pertama, dalam UU Ormas Tahun 2017 pemerintah diberikan mandat untuk mencabut surat keterangan terdaftar atau status badan hukum secara langsung, tanpa menunggu putusan Mahkamah Agung. Ini karena ketentuan menunggu putusan Mahkamah Agung dalam UU Ormas Tahun 2013 dihilangkan dalam UU Ormas Tahun 2017.

Dengan kata lain, jika Menteri Dalam Negeri sudah mencabut surat keterangan terdaftar dan Menteri Hukum dan HAM sudah mencabut status badan hukum sebuah ormas, ormas itu sudah otomatis dibubarkan. Ormas itu tidak punya kesempatan menggugat keputusan pemerintah itu melalui jalur pengadilan.

Kedua, selain sanksi administratif, UU Ormas Tahun 2017 juga memuat materi sanksi pidana bagi pengurus atau anggota ormas. Ketentuan ini tidak terdapat sebelumnya dalam UU Ormas Tahun 2013.

Sebagai contoh, bila anggota dan/atau pengurus ormas dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melakukan “tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial” dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama satu tahun.

Pidana Tambahan

Ketentuan ini terdapat dalam UU Ormas Tahun 2017, Bab XVIIA Ketentuan Pidana, pasal 82A ayat 1. Bunyinya:

“Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d diancam pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama satu tahun.”

Itu artinya, bila ada anggota atau pengurus ormas yang melakukan pelanggaran dalam konteks ini, maka akan diancam pidana tambahan. Selain pidana penjara seperti di aturan UU Ormas Tahun 2017, yang bersangkutan juga diancam dengan pidana tambahan seperti diatur dalam KUHP.

Selain itu, bila anggota dan/atau pengurus ormas dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melakukan “melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan,” diancam pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun.

Ketentuan ini terdapat dalam UU Ormas Tahun 2017, Bab XVIIA Ketentuan Pidana, pasal 82A ayat 2. Bunyinya:

“Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun.”

Kebebasan Berserikat Tidak Dimanfaatkan

Konstitusi kita sudah memberi jaminan bagi setiap warga untuk bebas berserikat dan mengorganisir diri. Jaminan itu termuat dalam UUD 1945 Pasal 28 dan Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28E. Jaminan tersebut itu idealnya dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Alih-alih menjadi kekuatan yang sangat dibutuhkan demi kemajuan Indonesia, ormas, terutama yang berbasis massa, seringkali terdengar malah menjadi kekuatan yang menakutkan dan merugikan kepentingan masyarakat luas. Karena itu, bisa dimaklumi jika citra ormas di mata masyarakat kurang baik. Tidak semua ormas, tentu saja.

Konflik adalah keniscayaan dan tidak bisa dihindarkan. Namun yang diharapkan adalah ormas berbasis massa bisa mengelola konflik di antara sesama mereka sendiri dengan cara-cara beradab. Larangan dan sanksi, terutama yang terdapat dalam UU Ormas, diharapkan bisa mengkondisikan itu.

Jika itu berhasil dilakukan ormas, citra ormas di mata masyarakat mungkin akan berubah. Keberadaan mereka tidak akan menakutkan dan merugikan lagi. (irw/rio)