Berkarier Di Luar Negeri, Setelah Dapat Dana LPDP Melimpah

1082

Jakarta, CSW – Kali ini saya ingin bercerita tentang sebagian anak muda pintar di Indonesia. Mereka mendapat beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan, alias LPDP, yang berada di bawah Kementerian keuangan.

Dengan dana itu mereka melanjutkan kuliah di universitas-universitas top dunia. Tau nggak uang itu datang darimana? Datang dari APBN, alias uang rakyat. Biaya yang dikucurkan bisa mencapai Rp 1 miliar dan Rp 2 miliar per orang.

Tapi setelah lulus, sebagian mereka ternyata memilih tidak pulang ke Indonesia. Kalau kuliahnya dibiayai orangtua, atau yayasan swasta, atau pemberi dana asing sih, ya terserahlah.

Tapi ini kan dibiayai rakyat? Melalui LPDP, selama 10 tahun terakhir, pemerintah memberi beasiswa bagi mereka yang bisa menembus ujian masuk S2 dan S3 universitas terkemuka di dunia.

Besaran beasiswanya lebih besar dari beasiswa dana asing, seperti Fulbright AS atau Chevening Inggris. Program ini digagas oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sri Mulyani menganggap kalau Indonesia mau maju, negara harus membiayai pemuda-pemudi terbaik di Indonesia untuk kuliah di perguruan tinggi unggulan di negara-negara maju.

Universitas-universitas itu dianggap lebih berkualitas dari pendidikan tinggi di dalam negeri. Jadi anak-anak muda itu dilatih dan dididik di sana, dan diharapkan dengan bekal pengetahuan yang dimiliki bisa membangun Indonesia.

Karena itu ketika ternyata ada banyak penerima beasiswa yang malah memilih kerja di luar negeri, muncul banyak pertanyaan. Kalau ujung-ujungnya mahasiswa itu tidak mengabdikan pengetahuannya di Indonesia, buat apa juga rakyat membiayai pendidikannya?

Ini menjadi ramai dibicarakan gara-gara ada twitter di akhir Juli lalu berkisah tentang penerima bea siswa LPDP yang tidak pulang ke Indonesia, setelah mendapat gelar Master atau Doktor. Alasan tidak pulang itu bermacam-macam.

Sebuah akun twitter bercerita tentang kasus menarik. Ini menyangkut suami istri orang Indonesia penerima beasiswa di Inggris. Mereka tidak buru-buru pulang karena ternyata ingin menikmati beragam fasilitas yang disediakan pemerintah Inggris bagi keluarga penerima beasiswa.

Fasilitas dari Inggris itu berupa sekolah gratis hingga jenjang SMA bagi anak penerima bea siswa. Modusnya begini. Mula-mula yang memperoleh beasiswa adalah si suami. Dia kuliah di Inggris, membawa istri dan anak, selama misalnya 4 tahun untuk memperoleh gelar doctor.

Selama 4 tahun itu, anaknya memperoleh banyak fasilitas gratis. Pemerintah Inggris memang memberi bantuan bagi orang yang dianggap tidak mampu. Nah para penerima beasiswa LPDP ini masuk dalam kategori ‘tidak mampu’ menurut ukuran pemerintah Inggris.

Karena itulah mereka berhak memperoleh fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan gratis. Setelah si suami lulus, giliran si istri yang kuliah, empat tahun lagi. Sang suami menetap di sana karena mendampingi istri.

Selama 4 tahun berikutnya, fasilitas serupa diperoleh anak atau anak-anak mereka. Gara-gara tweet itu, banyak netizen bercerita dengan nada negatif. Kasus suami istri dianggap tidak seberapa. Soalnya, setelah delapan tahun akhirnya mereka toh kembali ke Indonesia.

Yang lebih dipersoalkan adalah mereka yang memilih kerja di luar negeri karena misalnya mendapat tawaran gaji tinggi atau mendapat kedudukan yang penting. Sejauh ini, LPDP sudah mengirimkan hampir 33 ribu penerima beasiswa. Yang sudah lulus sekitar 16 ribu orang.

Dari jumlah itu, 138 alumni LPDP memilih tidak pulang ke Indonesia. LPDP sebenarnya sudah membuat persyaratan, para penerima beasiswa harus langsung pulang setelah selesai kuliah. Maksimal tiga bulan setelah dinyatakan lulus, mereka harus sudah berada di Indonesia,

Jangka waktu pengabdiannya di Indonesia mengikuti skema 2N+1. N adalah lama masa studi. Misalnya saja seorang penerima beasiswa kuliah di jenjang doktoral selama 4 tahun di Inggris. Ia wajib pulang dan bekerja di Indonesia selama 2 kali 4 tahun ditambah satu tahun.

Jadi ia harus mengabdi dulu selama 9 tahun. Seusai itu ia bebas untuk tinggal di negara manapun. Bila persyaratan 2N+1 itu tidak dipenuhi, alumni LPDP itu akan diberi sanksi. Mula-mula cuma peringatan, Tapi kalau tetap bandel, pelanggar wajib mengembalikan seluruh dana yang telah diperolehnya.

Di antara para penerima beasiswa yang membandel ini, salah satu kasus terkenal adalah Veronica Koman. Dia adalah penerima beasiswa LPDP yang melanjutkan pendidikan untuk memperoleh gelar Master Hukum di Australian National University.

Selain menjadi mahasiswa, Veronic juga mendukung gerakan kemerdekaan Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia. Dia bahkan dijadikan tersangka oleh kepolisian Indonesia karena dianggap memprovokasi kerusuhan di Papua pada 2019 lalu.

Veronica memilih tidak pulang ke Indonesia seusai masa kuliahnya selesai pada Juli 2019. Karena itu pada Oktober 2019, Veronica diwajibkan mengembalikan uang bea siswanya selama 2 tahun sebesar Rp 773,8 juta.

Veronica menolak dan memilih menetap di Australia. Maklumlah, di sana dia sudah diakui sebagai aktivis hak asasi manusia terkemuka. Tidak kembalinya para alumni LPDP ke Indonesia ini memang layak disayangkan.

Program ini jelas bertujuan melahirkan kader-kader terbaik bangsa. LPDP dimulai pada 2010, atas inisiatif Sri Mulyani. Tidak sembarangan universitas bisa dipilih. Hanya mahasiswa yang masuk ke perguruan tinggi peringkat atas, yang akan dibiayai.

Dana abadi yang terkumpul sampai tahun lalu sudah mencapai Rp 70,1 Triliun. Setahun sebelumnya baru Rp 52 Triliun. Yang digunakan sebagai dana pembiayaan kuliah hanyalah bunga dari dana abadi tersebut. Kehidupan si mahasiswa terjamin baik, karena pemerintah tidak hanya membiayai dana masuk kuliah dan SPP. Komponen pendanaan beasiswa dibagi ke dalam beberapa kategori.

Ada dana uang masuk, SPP setiap semester, tunjangan buku, bantuan penelitian, seminar, publikasi internasional, transportasi, serta juga dana hidup bulanan, dana kedatangan, dan dana penunjang pendidikan lainnya.

Jadi luar biasa lengkap. Beasiswa LPDP diperuntukkan untuk dua program pendidikan tinggi yakni program Magister (S2) dan program Doktoral (S3) untuk dalam dan luar negeri. Dana tunjangan mahasiswa per bulan di Amerika Serikat misalnya mencapai 30 juta rupiah, Australia 22-25 juta rupiah, Singapura 15 juta rupiah, atau ke Inggris 28 juta rupiah.

Untuk biaya penelitian, disediakan dana yang berkisar antara 30 juta rupiah sampai 150 rupiah. Bahkan agar karya mahasiswa bisa dimuat di jurnal internasional, ada pula tambahan dana sampai 25 juta rupiah. Jadi bantuan yang diberikan pada para mahasiswa Indonesia sudah optimal. Kalau ternyata mereka memilih untuk bekerja di luar negeri, rasanya sih memang kelewatan.