Jakarta, CSW – Kemarin baru saja DPR menetapkan sembilan nama komisioner baru di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Mereka akan menjabat selama tiga tahun ke depan. KPI adalah sebuah lembaga regulasi penyiaran yang punya kewenangan luas dalam dunia penyiaran.
Isi KPI adalah wakil masyarakat. Keputusan-keputusan mereka wajib dipatuhi stasiun-stasiun televisi raksasa. Karena itulah kita sebagai masyarakat bisa banyam berharap pada mereka.
Selama ini masyarakat biasa mengadu ke KPI soal tayangan gossip, kekerasan, atau tayangan yang dianggap tidak pantas oleh anak-anak. Tapi sebenarnya ada satu tayangan televisi yang sangat bermasalah dan terkait langsung dengan kepentingan publik.
Salah satu yang berada di depan mata adalah soal bagaimana para pemilik televisi menggunakan media milik mereka untuk menjalankan kampanye politik menuju 2024. KPI memiliki kewenangan untuk mencegah media besar seperti Grup MNC atau Grup Media menjadi alat propaganda Perindo dan Nasdem.
Dalam pasal 36 ayat 4 UU Penyiaran, jelas dikatakan, “Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu”. Jadi, saya ulang ya, lembaga penyiaran wajib netral dalam pemilu nanti.
Mereka tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Sebagai contoh, grup MNC yang terdiri dari RCTI, MNC, Global Tv, dan i-News. Selama ini keempat stasiun televisi itu jelas dijadikan sarana kampanye Perindo dan Hary Tanoe.
Di sepanjang hari, mars Perindo terus menerus terdengar. Pemberitaan mengenai Hary Tanoe, istrinya, anaknya dan kader-kader Perindo juga sering muncul di berita-berita grup media itu. Berita-beritanya pun selalu positif.
Begitu juga dengan Metro TV yang mengkampanyekan Surya Paloh dan Nasdem. Bedanya, Metro TV tidak menampilkan mars Nasdem. Tapi kalau soal berita, Metro juga mengangkat Nasdem dengan intensif dan positif.
Dan sekarang begitu Nasdem mencalonkan Anies Baswedan sebagai Capres, berita tentang Anies pun selalu positif. Kalau kita kembali ke isi UU Penyiaran tadi, apa yang dilakukan MNC Group dan Metro TV ini bisa disebut sebagai pelanggaran.
Dalam hal ini, KPI sendiri sebenarnya telah menetapkan sebuah peraturan tentang perilaku lembaga penyiaran. Namanya Pedoman Perilaku Penyiaran. Dalam pasal 22 Pedoman tersebut, dikatakan bahwa lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dalam proses produksi program siaran jurnalistik.
Dikatakan pula bahwa dalam kerja jurnalistiknya, lembaga penyiaran tidak boleh dipengaruhi oleh pemodal dan pemilik lembaga penyiaran. Jadi seharusnya para jurnalis televisi menyiarkan berita secara objektif, dan bukan karena diperintahkan oleh pemiliknya.
Kalau ada berita positif tentang Anies, silahkan diberitakan. Tapi begitu ada berita negative tentangnya, media juga harus memberitakannya tanpa diintervensi pemodal. Pedoman Perilaku Penyiaran ini bahkan memuat ketentuan yang spesifik soal Pemilihan Umum.
Dalam pasal 50 dikatakan bahwa lembaga penyiaran harus bersikap adil dan proporsional terhadap peserta pemilu. Juga dikatakan bahwa lembaga penyiaran tidak boleh bersikap partisan terhadap salah satu peserta pemilu.
Jadi stasiun televisi harus adil dan tidak boleh partisan. Ini tidak berarti RCTI tidak boleh menyiarkan lagu mars Perindo setiap hari ya. Tapi kalau itu dilakukannya, RCTI wajib bersikap adil pada semua peserta pemilu yang merupakan pesaing Perindo.
Artinya kan, RCTI harus juga menyiarkan mars PDIP, mars Golkar, mars Gerindra dan seterusnya. Ini juga tidak berarti bahwa Metro TV tidak boleh menyiarkan kampanye Nasdem dan Anies Baswedan.
Tapi yang penting, Metro TV juga harus secara adil dan proporsional menyiarkan kampanye partai lain dan pesaing Anies. Itu adalah aturan yang ada dalam Pedoman yang dibuat KPI sendiri.
Para anggota KPI harus sadar bahwa pemilik stasiun televisi tidak boleh begitu saja menggunakan medianya untuk kepentingan pribadinya. Pemilik media seperti Hary Tanoe memang sudah menginvestasikan dana puluhan atau ratusan miliar rupiah pada bisnis televisinya.
Tapi, itu tidak berarti dia sepenuhnya bisa menentukan sendiri isi siaran televisinya. Dia harus tunduk pada aturan yang ditetapkan KPI. Ini terkait dengan prinsip bahwa lembaga penyiaran itu sebenarnya bersiaran dengan menggunakan frekuensi siaran yang adalah milik publik.
Frekuensi siaran bukanlah milik stasiun televisi. Frekuensi siaran adalah milik publik. Karena itu siaran yang dibawa lembaga penyiaran harus sesuai dengan kepentingan publik. Dalam konteks pemilu, isi siaran televisi tidak bisa digunakan hanya untuk kepentingan satu partai atau satu capres, melainkan semua partai dan semua capres.
Aturan ini sebenarnya sejak lama sudah ada. Tapi sekarang penerapannya menjadi jauh lebih penting. Dalam waktu satu tahun ke depan ini baik RCTI dan grupnya dan Metro akan semakin intensif mengkampanyekan partai dan kandidat yang mereka jagokan.
Kalau KPI tidak mengawasi dan menegurnya, sangat mungkin UU Penyiaran diabaikan begitu saja. Dan lebih jauh lagi, bila pengabaian terus terjadi, masyarakat kehilangan hak untuk memperoleh informasi yang objektif dan adil tentang partai dan kandidat yang akan dipilihnya pada 2024.
Hary Tanoe, Perindo, Surya Paloh, dan Nasdem bisa tetap menggunakan asset-aset mereka yang lain. Salah satunya adalah penyebaran kampanye melalui media online dan media sosial. Begitu juga dengan media cetak.
KPI sama sekali tidak punya kewenangan di media itu. Kami berharap menjelang 2024, KPI yang baru saja dilantik bersedia menjalankan amanat yang diberikan kepada mereka. Ini harus dilakukan demi kepentingan kita rakyat Indonesia.