Civil Society Watch Meminta BEM UI Menghentikan Penyesatan Tentang Revisi UU ITE

652
Foto dok. Detik.com

Jakarta, CSW – Civil Society Watch menyayangkan upaya Badan Eksekutif Mahasiswa  Universitas Indonesia untuk menyesatkan pendapat publik tentang usulan revisi UU ITE yang diajukan oleh pemerintah.

BEM UI nampak secara sengaja mempropagandakan imej bahwa dengan mengajukan usulan revisi UU ITE, Presiden Jokowi telah mengingkari janji dan berusaha melakukan represi terhadap kebebasan berbicara di Indonesia.

Penyesatan pendapat ini dilakukan melalui rangkaian tweet dan meme di akun resmi BEM UI dengan tema Jokowi sebagai raja ingkar janji, yang kemudian dilanjutkan dengan penjelasan Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra ketika tampil di acara wawancara oleh Karni Ilyas di channel Youtube Karni Ilyas Club (1 Juli 2021).

Di dalam tweet BEM UI, yang sayangnya sekarang sudah diturunkan, secara jelas BEM UI menyatakan bahwa Presiden Jokowi melakukan represi melalui revisi UU ITE. Di dalam tweetnya tentang usulan revisi UU ITE, BEM UI menulis: “Revisi untuk Merepresi (?)”. Dan “UU ITE Menjadi-jadi”.

BEM menulis bahwa rencana revisi UU ITE yang diajukan pemerintah kian merepresi kebebasan  dengan ditambahkannya sederet pasal karet, tanpa ada penjelasan lebih lanjut.

Dalam wawancara dengan Karni Ilyas, Ketua BEM UI juga tidak menjelaskan ‘sederet pasal karet’ tersebut. Namun Leon menyebut usulan penambahan pasal baru tentang pelarangan penyebaran kabar bohong yang dapat menimbulkan keonaran  sebagai bukti represi pemerintah.

Leon juga menyatakan bahwa jajaran Menteri ternyata hanya menyusun Pedoman Implementasi UU ITE, dan bukan melahirkan revisi UU ITE, padahal yang diminta Presiden Jokowi adalah adanya revisi UU ITE.

Bagi kami di Civil Society Watch, propaganda BEM yang menyesatkan ini akan mempersulit upaya masyarakat sipil untuk mengubah UU ITE yang selama ini sudah memakan ratusan korban warga internet di Indonesia.

Pemerintah Jokowi justru berusaha memfasilitasi revisi UU ITE sehingga muatannya tidak bisa lagi dimanfaatkan sedemikian rupa untuk menindas kebebasan berekspresi.

Dalam penyusunan revisi UU ITE, pemerintah mengundang banyak aktivis media sosial untuk memberi masukan, termasuk yang selama ini kritis terhadap pemerintah.

Usulan revisi UU ITE yang diajukan pemerintah mengarah hanya pada pasal-pasal yang selama ini sudah berulangkali menjerat warga sipil, yakni pasal tentang pencemaran nama baik, tentang kesusilaan, dan tentang penyebaran kebencian berbasis SARA.

Melalui revisi tersebut diharapkan hanya mereka yang memang menyebarkan fitnah dengan tujuan jahat, yang menyebarkan muatan pornografis, yang  dengan sengaja menyebarkan informasi yang mendorong kebencian terhadap kelompok agama atas ras tertentu, yang dapat dipidana

Sebaliknya, mereka yang misalnya sekadar bersuara keras untuk menyerang Presiden dan pemerintah atas dasar penilaiannya bahwa Presiden dan pemerntah tidak becus bekerja, tidak akan bisa diperkarakan secara hukum.

Melalui revisi ini, tidak akan ada lagi kasus pemidanaan Prita Mulyasari, Nuril Baiq, Ahmad Dhani dan Jerinx – untuk menyebut empat contoh yang cukup dikenal secara umum.

BEM menyatakan ada sederet pasal karet baru yang akan membungkam kebebasan berekspresi. Padahal satu-satunya pasal tambahan dalam revisi dari pemerintah adalah ancaman pemidanaan terhadap orang yang menyebarkan kabar bohong dan menimbulkan keonaran.

Jadi bukan hanya mereka yang menyebarkan kabar bohong yang bisa dipidana. Yang bisa diancam adalah orang yang menyebarkan kabar bohong, dan kabar bohong itu memang menyebabkan lahirnya keonaran.

Ini adalah pasal yang diusulkan bukan untuk membungkam kebebasan berbicara. Yang dilarang adalah provokasi melalui kabar bohong yang bisa menimbulkan kerusuhan.

Penjelasan Leon tentang Pedoman Implementasi UU ITE juga menyesatkan. Seperti sudah diberitakan di banyak media massa, pemerintah mengeluarkan Pedoman Implementasi UU ITE  dalam konteks belum diterimanya usulan revisi UU ITE oleh DPR. Pedoman  tersebut bukanlah produk hukum yang mengikat seluruh masyarakat. Pedoman tersebut ditujukan sebagai rujukan bagi jajaran pemerintah dan aparat keamanan saat menangani kasus-kasus konten melalui internet, agar pasal-pasal karet di dalam UU ITE tidak lagi memakan korban seperti yang sudah berlangsung selama lebih dari sepuluh tahun terakhir ini.

Pemerintah tetap menyusun revisi UU ITE. Namun revisi UU tentu tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah secara sepihak, dan memerlukan perembugan dengan DPR.

Dengan segenap latar belakang itu, CSW meminta agar BEM UI menghentikan upaya penyebaran penyesatan pendapat publik ini. Apa yang dilakukan BEM UI ini mencemarkan nama baik masyarakat sipil dan gerakan mahasiswa.

CSW tentu saja mendukung kebebasan akademik, namun kebebasan tersebut seharusnya tidak digunakan untuk melakukan penyesatan pendapat publik.

Masyarakat sipil sudah berusaha keras untuk mengubah UU ITE untuk waktu lama. Sikap pemerintah yang memfasilitasi keluhan masyarakat ini selayaknya justru didukung untuk kepentingan bersama. Bila benar BEM UI mendukung penegakan kebebasan berekspresi, BEM UI seharusnya mendukung revisi UU ITE, bukan mengecamnya.

(Silahkan saksikan juga: https://www.youtube.com/watch?v=kCReR5d_Q0Q&t=126s)

Terima kasih.

 

Ade Armando

Ketua Civil Society Watch