Jakarta, CSW – Para dokter di Indonesia harus segera introspeksi diri nih. Pelayanan yang mereka berikan ternyata dianggap di bawah standard yang bisa membahayakan kondisi pasien. Karena itulah banyak warga Indonesia yang nggak mampu memilih berobat ke luar negeri, terutama Singapura dan Malaysia.
Sebenernya pembicaraan soal berobat ke luar negeri ini diawali pernyataan Presiden Jokowi, 6 maret lalu. Waktu itu Presiden mengeluhkan masih banyak masyarakat Indonesia yang berobat ke luar negeri. Dari informasi yang dia terima hampir 2 juta masyarakat Indonesia memilih berobat ke luar negeri.
Padahal Indonesia sudah memiliki banyak rumah sakit (RS) dengan fasilitas kesehatan yang berkualitas. Menurut Presiden, biaya berobat ke luar negeri itu menghabiskan Rp 165 triliun yang seharusnya bisa digunakan di Indonesia. Nah, itu artinya ada modal keluar, capital outflownya sebesar Rp 165 Triliun, katanya.
Nah, omongan Pak Presiden itu menjadi headline di mana-mana. Terus muncullah respons dari berbagai para netizen di media sosial. Mereka sendiri-sendiri berusaha menunjukkan bahwa para pasien itu ke luar negeri karena pelayanan kesehatan di Indonesia memang mengecewakan, meragukan, dan bahkan lebih mahal.
Salah satu yang mengawali kisah-kisah netizen ini adalah komedian Kiky Sahputri. Dia menulis tweet soal pengalaman mertuanya. Di Indonesia, sang mertua didiagnosa terkena stroke kuping karena pendengarannya terganggu. Sama dokter, kupingnya disuntik, tapi kondisinya makin parah.
Akhirnya diputuskanlah dia berobat ke Singapura. Dokter Singapura malah tertawa mendengar penjelasannya. Kata sang dokter, mana ada stroke kuping? Itu cuma flu, jadinya bindeng ke telinga. Dengan segera penyakit itu disembuhkan di sana. Tweet Kiky ini menarik perhatian jagat online.
Banyak yang mengiyakan cerita Kiky. Sayangnya, Ikatan Dokter Indonesia merespons cerita itu dengan gaya ‘ngeles’. Ketua Umum IDI, dr Adib Khumaidi, memastikan bahwa kemampuan diagnosis dokter-dokter di Indonesia tidak kalah dari dokter Singapura. Dia malah bilang, menjamin dokter Indonesia lebih baik, dan dokter Indonesia fokus untuk rakyat Indonesia karena pelayanan mereka sebagian besar untuk pelayanan BPJS.
Agak aneh kan? Apa coba hubungannya antara salah diagnose dengan pelayanan BPJS?Wakil Ketua Umum IDI, dr Slamet Budiarto, malah menyalahkan alat kesehatan. Dia bilang, kualitas dokter Indonesia nggak kalah dari Singapura. Yang jadi masalah, katanya, Rumah sakit di Indonesia nggak mau beli alat canggih karena mahal, kena pajak.
Menurutnya, masyarakat lari ke Malaysia dan Singapura, karena alat di sana lebih canggih sehingga dokternya bebas menggunakan alat untuk diagnosa. Jawaban para pemimpin IDI ini terkesan agak mengada-ada. Yang diceritakan Kiky itu agak mendasar ya. Masak gara-gara alat, dokter bisa salah mendiagnosa flu dengan stroke kuping? Setelah Kiky pun, selama berhari-hari muncul cerita-cerita netizen tentang kualitas pengobatan di Indonesia.
Salah satunya dari pemilik akun Tiktok, Caroline Vinna Wijaya. Dia tuh cerita ia pernah salah operasi di Rumah Sakit di Semarang. Habis operasi, di lehernya bernanah sampai bengkak. “Sampai sakit banget leher ku. Sampai aku pikir aku akan mati,” katanya. Dia kemudian memilih melanjutkan pengobatan di rumah sakit di Penang, Malaysia. Di sana, dokter langsung bisa menemukan penyebabnya.
Setelah bekas jahitannya dilihat, dokter langsung menyimpulkan hasil operasinya kurang bersih sehingga bernanah. Dan ternyata benar. Begitu dibersihkan dengan hati-hati, kondisinya membaik. Selain itu, menurut Caroline, dokter di Malaysia itu menghargai waktu pasien.
Di Indonesia, pasien bisa menunggu waktu berjam-jam sebelum akhirnya dokter datang. Di Malaysia, on time. Hal senada juga disampaikan oleh pemilik akun Tiktok bernama Lenna yang membagikan pengalamannya berobat di Singapura. Menurutnya, di Singapura, dokter sangat menghargai waktu pasien.
Di Indonesia, kata Lenna, lebih baik pasien nunggu dokter daripada dokter menunggu pasien. Dia juga bercerita tentang betapa tidak profesionalnya dokter spesialis yang di kunjungi di Surabaya. Di klinik itu, tertulis bahwa jadwal praktek sang dokter adalah pukul 6 sampai pukul 9.
Tapi ketika sang dokter melihat bahwa di ruang tunggu pasien sudah tidak ada lagi pasien, sang dokter itu pun pulang tanpa menunggu sampai jam praktek berakhir. Akhirnya, ada pasien-pasien yang tidak ditangani hanya karena mereka baru datang setelah sang dokter pulang. Lantas ada cerita Agatha Dinny di tiktok. Anaknya mengalami sakit telinga.
Nah, sama Dinny, sang anak di bawa sampai ke lima dokter THT di Indonesia. Semua dokter mendiagnosa bahwa penyebabnya adalah penyakit yang disebut Glue Ear. Intinya ini adalah semacam infeksi telinga yang disebabkan karena terperangkapnya cairan di bagian dalam tengah telinga anak. Untuk menyembuhkannya, dokter akan memasang semacam pipa untuk meniup cairannya itu.
Untuk itu, anak harus dirawat inap. Biayanya sekitar 80 juta rupiah, belum termasuk biaya rawat inap. Karena tidak puas dengan penjelasan di sini, Dinny membawa anaknya ke Singapura. Ada dua dokter THT yang dikunjungi. Yang pertama adalah seorang dokter di rumah sakit pemerintah. Dinny nggak puas dengan gaya sang dokter yang menakut-nakuti kondisi telinga si anak.
Dia kemudian datang ke dokter swasta. Di sana, si dokter memeriksa dengan sangat rinci dan memberikan penjelasan secara sabar tentang kondisi anak Dinny. Ternyata si anak mengidap apa yang disebut Kolesteatome, yaitu tumbuhnya tumor jinak di area telinga tengah atau di belakang gendang telinga. Memang harus dioperasi, tapi nggak perlu rawat inap sama sekali.
Biayanya cukup mahal, Rp 30 juta, tapi tetap jauh lebih ringan dibandingkan biaya di Indonesia. Akhirnya sang anak dioperasi di Singapura, dan sembuh. Pengakuan-pengakuan para netizen ini jelas harus didengar para dokter di Indonesia. Saya yakin para netizen ini tidak mengada-ada. Mereka nggak sedang menjelek-jelekkan dokter di Indonesia, kok.
Mereka hanya berbagi pengalaman untuk menjelaskan mengapa akhirnya ada dua juta orang Indonesia yang berobat ke luar negeri. Kita semua tentu bahagia kalau dokter-dokter di Indonesia bisa lebih dapat diandalkan, lebih melayani pasien, dan tidak memahal-mahalkan biaya.