Dua Pengurus MUI Bengkulu Terlibat Kasus Terorisme, Perlu Introspeksi

553
Logo halal MUI. (halalmui.org) /halalmui.org

Jakarta, CSW – Ada sejumlah kalangan di Indonesia yang resisten, jika dikatakan bahwa sejumlah “ula ma” terlibat kasus terorisme. Kalangan ini memunculkan narasi “Islamofobia,” seolah-olah seluruh urusan terorisme ini cuma “rekayasa penguasa untuk memojokkan Islam.” Sayangnya, kenyataan di lapangan terus bermunculan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bengkulu hari Minggu (13/2) telah menonaktifkan dua pengurusnya, RH dan CA. Penyebabnya, RH dan CA pada Rabu (9/2) lalu telah ditangkap tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri, karena keterlibatan dalam kasus terorisme.

Ketua MUI Kota Bengkulu, Yul Khamra, mengatakan, CA sebelumnya menjabat sebagai Ketua Komisi Fatwa. Sedangkan RH menjabat sebagai Wakil Ketua I, yang membidangi Komisi Fatwa MUI Bengkulu.

Penonaktifan oleh MUI Bengkulu tersebut dilakukan mengingat keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri beberapa waktu lalu.

Khamra mengaku terkejut dengan ditangkapnya RH dan CA, sebab keduanya merupakan anggota aktif di MUI sejak 2005. Bahkan RH pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal.  RH juga dosen bahasa Arab di salah satu universitas swasta di Provinsi Bengkulu. “Kami tidak tahu latar belakang beliau. Yang kami tahu, beliau sebagai juru dakwah,” ujarnya.

Tidak Mengejutkan

Penangkapan ini sebetulnya tidak terlalu mengejutkan, karena kasus serupa pernah terjadi di MUI Pusat. Pada November 2021, ada tiga orang tersangka kasus terorisme yang ditangkap polisi. Salah satunya adalah anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, Ahmad Zain An-Najah.

Ahmad Zain adalah adalah kader kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI). Pengamat terorisme Noor Huda Ismail mengatakan, terungkapnya kader JI pada organisasi masyarakat seperti MUI menunjukkan, kelompok ini berhasil menjalankan strategi “tamkin” atau penguasaan wilayah.

Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Ahmad Nurwakhid, mengatakan, penangkapan Ahmad Zain ini merupakan kali pertama seorang tersangka teroris berstatus sebagai anggota aktif MUI Pusat.

Dengan ditangkapnya RH dan CA, terlihat bahwa “penyusupan kader” pendukung organisasi teroris  bukan cuma terjadi di MUI Pusat, tetapi juga di MUI daerah. Bahkan di MUI daerah mungkin lebih rawan, karena pengawasan lebih longgar.

Menurut Khamra, bahkan pihaknya tidak menaruh kecurigaan terhadap RH dan CA, karena dalam kesehariannya mereka bergaul seperti biasa.

RH ditangkap Tim Densus 88 bersama dua rekannya, yaitu CA di Kelurahan Sidomulyo, Kota Bengkulu, dan M di Kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Tengah. Ketiganya diketahui tergabung dalam kelompok JI Bengkulu dan telah bersumpah setia pada JI sejak 1999.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan, mengatakan kepada wartawan, Kamis (10/1) bahwa CA terlibat sebagai Ketua JI cabang Bengkulu. Tugas CA adalah merekrut anggota atau pendukung JI. Itu posisi yang strategis.

Berseberangan dengan Pemerintah

Dengan terungkapnya dua pendukung terorisme di tubuh MUI Bengkulu, pendiri NII Crisis Center, Ken Setiawan, menyatakan, sudah saatnya dilakukan “bersih-bersih” di tubuh MUI agar masyarakat kembali percaya pada lembaga itu.

“Memang, yang salah bukan organisasi MUI-nya. Tapi dengan adanya terus-terusan pengurusnya yang ditangkap Densus, seolah-olah jaringan teroris di MUI sudah terorganisir di dalam (lembaga),” tegas Ken.

Faktanya, di tubuh MUI memang masih ada orang-orang yang berpaham radikalisme. Bahkan pernyataan-pernyataan mereka di publik dan media ada yang selalu berseberangan dengan pemerintah. “Uniknya, anggota MUI yang lain tidak bisa berbuat banyak,” keluh Ken.

Dengan perkembangan kasus di MUI Bengkulu ini, sudah saatnya MUI Pusat dan daerah melakukan introspeksi. Yakni, mengapa kasus-kasus keterlibatan dengan terorisme ini masih terus berlangsung, dan berkaitan dengan pengurus MUI.

Harus diakui, hukum untuk penanganan terorisme di Indonesia memang masih lemah. Seseorang belum bisa dijerat dengan UU Antiterorisme, jika belum melakukan tindakan yang mengarah pada terorisme.

Jadi, ucapan dan retorika dari sejumlah “ulama abal-abal” — yang bernada “membakar” dan simpatik terhadap aksi teror dan pelaku terorisme– masih belum cukup kuat untuk dijadikan dasar bagi penangkapan mereka. Maka, mereka seolah-olah bisa bergerak dengan leluasa.

Ken berharap, pemerintah segera membuat regulasi yang melarang semua paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Paham-paham itu merupakan duri dalam daging, dalam upaya memujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila. Jika pemerintah tidak tegas, unsur-unsur radikalisme ini akan makin merajalela, karena sudah menyusup ke semua kalangan.