Jakarta, CSW – Kalau kami kembali mengangkat kasus Majelis Ulama Indonesia, ini bukan karena kami membenci ulama. Tapi sejak kami melaporkan soal bisnis triliunan rupiah di MUI pekan lalu, kami banyak mendapat kiriman informasi tentang apa yang terjadi selama ini di lembaga tersebut. Terutama terkait sertifikat halal.
Salah satu informasi terbaru yang kami peroleh adalah soal skandal korupsi di MUI. Bahkan dugaan korupsi ini menyangkut nama seorang mantan petinggi MUI yang kini menjabat sebagai staf khusus Wapres Bidang Ekonomi dan Keuangan.
Dia adalah Lukmanul Hakim, yang sampai 2020 menjabat sebagai Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Kasus ini sudah berada di tangan Bareskrim POLRI.
Tapi sampai saat ini masih terhambat karena salah seorang terduga pelaku, Muhammad Abu Annaser, masih buron. Kasus ini menyangkut sertifikasi halal bagi produk-produk yang datang dari Jerman.
Buat kami, kasus ini perlu diawasi bersama dikarenakan beberapa hal. Pertama, menyangkut MUI, yang merupakan organisasi para ulama Indonesia, yang seharusnya menjadi panutan umat.
Kedua, ada kemungkinan korupsi ini menyangkut mantan pimpinan MUI yang kini berada di dalam lingkar kekuasaan utama. Ketiga, ini menyangkut nama baik MUI dan juga Indonesia di mata internasional.
Dugaan korupsi ini terjadi pada 2016. Ketika itu badan sertifikat halal Jerman, Halal Control, menjalani proses perpanjangan akreditasinya di Indonesia.
Halal Control adalah lembaga yang memberikan jaminan kehalalan produk yang datang dari Jerman. Untuk itu, mereka memang harus memperoleh pengakuan dari MUI agar bisa beroperasi di Indonesia.
Karena masa akreditasinya berakhir pada 2017, lembaga Jerman itu memohon perpanjangan pada MUI. Yang mengurus adalah Mahmud Tatari, General Managernya. Ternyata MUI tidak segera membalas permohonan itu.
Sampai kemudian Tatari dihubungi oleh Muhammad Annaser yang mengaku dapat membantu. Muhammad meminta Tatari membayar 50 ribu euro atau setara dengan sekitar Rp775 juta untuk memperoleh perpanjangan akreditasi.
Tatari semula tidak begitu saja percaya. Dia meminta bisa dipertemukan langsung dengan pejabat MUI. Permintaan itu dipenuhi Muhammad.
Tatari datang ke Jakarta pada 26 Juni 2016 dan bertemu dengan pimpinan LPPOM MUI, Lukmanul Hakim. Menurut penjelasan Tatari, dalam pertemuan itulah Lukmanul menjelaskan bahwa itu memang merupakan prosedur resmi MUI. Dia meminta agar uang Rp775 juta itu segera dibayarkan.
Merasa tidak ada pilihan, Tatari menyanggupi permintaan itu. Sialnya, setelah pembayaran selesai, perpanjangan sertifikasi yang dijanjikan tidak kunjung ada.
Dalam kepanikan, Tatari berusaha menghubungi langsung baik Muhammad dan Lukmanul. Tapi semua upanya gagal membuahkan hasil.
Karena itulah Tatari menghubungi Kedutaan Jerman di Indonesia untuk membantu melacak kasus ini. Pada 2017, kasus ini diadukan ke polisi Indonesia.
MUI membantah bahwa ada aliran dana masuk ke pihak MUI. MUI juga mengaku tidak menetapkan biaya perpanjangan sertifikasi. MUI saat itu menuduh ini semua adalah penipuan yang dilakukan Muhammad.
Muhammad sendiri yang kemudian menghilang. Anehnya, ketika itu MUI tidak menampilkan Lukmanul untuk memberi penjelasan walau dia adalah jelas-jelas petinggi MUI.
Kasus ini semula nampak akan mengendap begitu saja. Namun ada sejumlah perkembangan penting.
Pertama, pada 2019, Lukmanul ditunjuk menjadi staf khusus Wapres KH Ma’ruf Amin. Penunjukan ini dengan segera diprotes Tatari. Kepada media, Tatari menuduh Lukmanul telah memeras dan merusak institusi halal secara massif.
Perkembangan kedua, Halal Control akhirnya memperoleh perpanjangan sertifikasi pada akhir 2019. Ini terjadi setelah BPJPH, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal, mulai berperan untuk mengambil alih peran pemberian sertifikasi halal yang semula dimonopoli oleh MUI.
BPJPH bahkan menandatangani perjanjian kerjasama dengan pemerintah Jerman dalam hal sertifikasi halal.
Perpanjangan sertifikasi itu dilakukan setelah BPJPH dikunjungi Tatari, kuasa hukumnya, Wakil Kementerian Ekonomi dan Energi Jerman, Wakil Kedutaan Jerman serta Wakil Kamar Dagang Indonesia-Jerman.
Ketua BPJPH, Prof. Sukoso, dalam kesempatan itu menyatakan penyesalan sedalam-dalamnya atas skandal yang telah terjadi.
“Secara jujur saya sangat malu dengan terjadinya skandal korupsi yang melibatkan lembaga sertifikasi halal ini,” ujar Sukoso.
Bahkan Sukoso menyatakan, kasus ini tidak boleh didiamkan karena menyangkut kehormatan dan integritas para ulama Indonesia. Dia juga khawatir bahwa korupsi di MUI ini bisa merusak hubungan dagang Indonesia-Jerman.
Seperti dikatakan di awal, bagi kami, skandal korupsi ini adalah persoalan serius. Mungkin, ini bukan kasus satu-satunya.
Kami sebelum ini sudah mengungkapkan laporan Tempo soal dana yang mengalir ke MUI dalam kasus dugaan korupsi sertifikasi halal untuk produk daging dari Australia. Kami juga memperoleh informasi lain tentang praktik serupa dalam pengurusan sertifikasi halal dari negara-negara lain.
Apa yang terungkap ini barangkali cuma seperti puncak gunung es. Kasus-kasus lainnya mungkin jauh lebih banyak. Dan kita juga bisa menduga-duga bahwa ini bukan cuma terjadi di pengurusan sertifikat halal produk asing.
Tapi juga produk-produk dalam negeri. Ini semua memalukan dan merugikan. Karena itu, kita harapkan kasus skandal korupsi sertifikasi halal produk Jerman ini bisa dibongkar tuntas.
MUI, sebagai kumpulan ulama, seharusnya jujur menjelaskan apa yang terjadi. MUI tidak bisa sekadar menyatakan itu tindakan oknum MUI. Kalau apa yang dilaporkan benar, yang bertanggungjawab adalah Mantan Ketua LPPOM sendiri.
Dengan rekam jejak seperti itu, kita mungkin tak bisa sepenuhnya percaya pada MUI. Karena itu, sebaiknya dipertimbangkan kembali posisi MUI dalam pemberian sertifikat halal.
Saat ini pemberian sertifikat halal memang diberikan oleh BPJPH. Namun BPJPH hanya bisa mengeluarkan sertifikat halal kalau ada fatwa halal dari MUI.
Dan fatwa halal MUI akan keluar setelah ada hasil pemeriksaan kehalalan produk yang dikeluarkan antara lain oleh LPPOM MUI. Jadi, ada baiknya posisi MUI dalam UU Jaminan Produk Halal ditinjau kembali.
Ini perlu dilakukan, untuk kebaikan kita bersama.