Jakarta, CSW – Mungkin Anda sudah mendengar ya bahwa Edy Mulyadi sekarang sudah ditahan. Dia sudah ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap menyebarkan kebencian. Edy ini dianggap bersalah karena minggu lalu menyebut Kalimantan Timur sebagai tempat jin buang anak. Di dalam sebuah diskusi, dia mengeritik pemerintah yang memindahkan Ibu Kota negara ke Penajam
Dia bilang, mana ada sih orang yang mau pindah ke tempat jin buang anak? Dia juga mengatakan, daerah Penajam itu dihuni ‘genderuwo dan kuntilanak’. Wajarlah kalau masyarakat di Kalimantan Timur itu marah. Dan karena itulah polisi menahan Edy. Kuasa hukum Edy meminta agar kliennya tidak ditahan dengan menggunakan hukum pidana.
Kata kuasa hukum Edy, Herman Kadir, polisi seharusnya menggunakan UU Pers. Kata Herman, Edy itu wartawan senior. Wartawan seharusnya mendapat perlindungan UU Pers. Menurut Herman, ketika Edy bicara soal pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur, dia itu bicara sebagai seorang jurnalis. Karena itu seharusnya yang turun tangan bukanlah polisi, melainkan Dewan Pers.
Kata Herman, seharusnya Dewan Pers memeriksa apakah Edy memang sudah melanggar kode etik. Baru sesudahnya, Dewan Pers menyelesaikan kasus itu tanpa membawanya ke pengadilan. Bisa diterimakah pendapat sang kuasa hukum? Begini ya..
Di Indonesia memang ada Undang-undang khusus tentang pers. Di dalamnya ada ketetapan yang menyatakan bahwa wartawan di Indonesia dilindungi, Jadi mereka tidak boleh dihambat kerjanya untuk mengumpulkan, membuat dan menyebarkan berita. Bahkan sebenarnya ada ancaman terhadap mereka yang menghalangi kerja wartawan. Karena itulah, wartawan tidak begitu saja dipenjara.
Di dalam undang-undang itu ada yang namanya Kode Etik Wartawan. Yang mengawasi pelaksanaan Kode Etik adalah Dewan Pers. Wartawan harus patuh pada Kode Etik tersebut, Kalau kita lihat kasus Edy Mulyadi, sebenarnya banyak sekali pelanggaran kode etik yang dilakukan. Misalnya saja, pernyataan Edy jelas ‘tidak akurat’. Pernyataan Edy juga bisa dianggap ‘beritikad buruk’. Pernyataan Edy juga dapat dinilai bersifat diskriminatif.
Itu semua yang dilarang menurut Kode Etik. Tapi kalau UU Pers ini yang diterapkan, yang akan memeriksa Edy hanyalah Dewan Pers. Biasanya Dewan Pers akan memeriksa karya jurnalistik seseorang serta memanggil orang itu untuk mempertanggungjawabkan karyanya. Baru setelah itu Dewan Pers memutuskan apakah wartawan itu melanggar Kode Etik.
Hukuman yang diberikan Dewan Pers adalah peringatan, pencabutan berita, dan permintaan maaf. Itu sudah berulangkali dilakukan Dewan Pers. Tahun lalu misalnya ada lebih dari 20 media sekaligus dipanggil Dewan Pers Gara-garanya, mereka bersama memberitakan bahwa Jokowi harus minta maaf pada rakyat Papua. Padahal fakta sesungguhnya tidak begitu.
Para wartawan itu tertipu oleh informasi palsu yang disebarkan aktivis anti pemerintah. Dewan Pers menyatakan mereka bersalah. Dan mereka harus bersama-sama mencabut berita salah tersebut. Sampai di situ saja. Tidak ada hukuman lebih serius dari itu.
Kalau ada yang bertanya, kenapa seringan itu sanksinya. Jawabannya, ya karena di Indonesia kebebasan pers dijunjung tinggi. Wartawan harus dibuat leluasa ketika bekerja. Wartawan harus dilindungi karena demokrasi hanya bisa berjalan kalau media di Indonesia bebas. Kalau wartawan melakukan kesalahan, jangan buru-buru diadukan ke polisi.
Asumsinya, kalau wartawan merasa terancam, mereka tidak akan berani mengungkapkan kebenaran. Mereka jadi was-was. Karena itu media harus dilindungi. Itu yang menyebabkan, menurut UU Pers, wartawan tidak boleh gampang dipolisikan. Sekarang kembali ke kasus Edy. Perlukah dia dilindungi dengan UU Pers? Edy selalu menyatakan diri sebagai wartawan. Dia juga mengaku pernah bekerja di harian Neraca dan Media Indonesia. Tapi itu sudah lama sekali.
Sekarang dia memang memiliki kanal program sendiri di kanal youtube grup Forum News Network. Tapi masalahnya, pernyataan dia itu tidak dia sampaikan dalam program Youtubenya. Dia menyebut Kalimantan Timur sebagai tempat jin buang anak ketika dia menjadi pembicara dalam acara diskusi. Karena itu, bisa dikatakan bahwa dia ketika menghina Kalimantan Timur, dia tidak berposisi sebagai jurnalis.
Karya jurnalistik itu adalah karya yang merupakan hasil dari kerja mengumpulkan , membuat dan menyebarkan informasi. Jadi seorang wartawan mengumpulkan data di lapangan, mengolahnya jadi berita dan kemudian menyampaikannya kepada khalayak. Penyebarannya pun harus melalui media pers.
Edy tidak melakukan itu. Pertama, dia tidak bicara dengan menggunakan data. Jelas ketika dia mengatakan bahwa Kalimantan adalah tempat jin buang anak, dia melakukannya tanpa menggunakan informasi yang dikumpulkan di lapangan. Kedua, dia melakukannya bukan di media melainkan di sebuah tempat diskusi.Jadi apa yang diucapkannya tidak bisa dipandang sebagai karya jurnalistik. Ketika dia bicara soal Kalimantan, dia bukan sedang menjalankan profesi sebagai wartawan.
Dia sedang menjadi provokator politik. Dia sedang berusaha mempengaruhi publik agar ramai-ramai menolak pemindahan ibukota negara. Tentu saja dia berhak mengeluarkan opini semacam itu.Tapi dia tidak berhak mengaku sebagai wartawan ketika melakukan provokasi politik semacam itu. Kami di CSW berharap, kalau dia dinyatakan bersalah, Edy tidak harus sampai dipenjara lama. Tapi kami juga tidak ingin warga di Indonesia dengan seenaknya menghina orang lain atas dasar ras, etnik, agama, kelas dan wilayah. Semoga kasus Edy bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.