Sebuah film dokumenter di Netflix, Seaspiracy, beberapa bulan lalu menjadi perbincangan masyarakat dunia. Film dokumenter ini menjadi kontroversial karena pada akhirnya penonton seakan-akan digiring pada sebuah kesimpulan: “berhentilah makan ikan.”
Sutradara yang sekaligus menjadi host film Seaspiracy, Ali Tabrizi, merangkum kesimpulan tersebut lewat hasil wawancaranya dengan para ahli dan aktivis kelautan. Tabrizi juga melakukan investigasi khusus, yang mengungkap kejahatan manusia melalui industri perikanan.
Ada yang menarik dari hasil investigasinya. Selain membahas kampanye untuk berhenti makan ikan, Tabrizi menemukan adanya eksploitasi laut secara gila-gilaan, yang ditopang oleh industri perikanan raksasa, kaum pemodal, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tulisan ini akan banyak mengulas hal tersebut.
Sutradara asal London ini memulai narasinya dengan menggambarkan, betapa dia mengagumi segala hal yang berhubungan dengan laut. Namun, pandangannya berubah ketika dia menemukan fakta tentang keterlibatan manusia terhadap kerusakan laut. Khususnya, penggunaan sampah plastik yang akhirnya mencemari lautan.
Dari sini penonton mulai disuguhi gambaran, bagaimana sampah plastik bisa bertebaran di laut. Penonton diajak berpikir, solusi apa yang tepat untuk memerangi permasalahan tersebut. Pada titik ini, Tabrizi menggambarkan dirinya membiasakan diri untuk berhenti menggunakan plastik, demi menyelamatkan kehidupan di laut.
Seaspiracy oun memulai kontroversinya. Penonton yang awalnya ikut menelusuri soal sampah plastik di laut, lalu malah menemukan banyak fakta mengenai industri perikanan, para buruh kapal, dan penangkapan ikan.
Pembantaian Hiu dan Lumba-lumba
Fakta pertama, mengenai pembantaian hiu dan lumba-lumba di Teluk Taiji, Jepang. Berdasarkan hasil investigasi Tabrizi, setiap pagi para nelayan menggiring hiu dan lumba-lumba ke Teluk Taiji. Kemudian ikan-ikan itu dibantai habis-habisan, demi mengambil sirip-sirip hiu.
Sirip-sirip itu akan dikirimkan ke sebuah restoran terkenal di Hong Kong, yang menyajikan sup sirip ikan hiu. Padahal, tidak ada nilai istimewa dari makanan itu. Dalam Seaspiracy, Tabrizi meyakinkan penonton, tidak ada nilai tambah dari sirip hiu tersebut, bahkan secara bisnis pun tidak.
Lalu, Tabrizi mendapat penjelasan dari seorang aktivis kelautan di Jepang, yang menceritakan bahwa hiu dan lumba-lumba di Teluk Taiji dibantai bukan karena nilai ekonominya, tapi karena dianggap sebagai hama yang memakan banyak ikan-ikan kecil. Itu berarti nelayan di Teluk Taiji menganggap hiu dan lumba-lumba sebagai pesaingnya dalam menjaring ikan.
Fakta kedua, penangkapan ikan tuna sirip biru telah mengorbankan lumba-lumba dan hiu di laut. Jadi, untuk menangkap ikan termahal di dunia itu, nelayan harus menggunakan pukat dan alat penangkapan besar lainnya.
Alih-alih mendapatkan ikan tuna sirip biru, hewan lainnya seperti lumba-lumba, hiu, dan singa laut pun secara tidak sengaja ikut terjaring. Akhirnya, mereka mati dan dibuang begitu saja ke laut. Mereka menyebutnya dengan “tangkapan sampingan.” Hampir setengah dari hiu yang terbunuh di dunia disebabkan oleh tangkapan sampingan dari penggunaan pukat besar.
Fakta ketiga, Tabrizi banyak menemukan produk tuna kaleng yang beredar di pasar swalayan dengan label “dolphin safe.” Artinya, tuna dengan label tersebut telah menjamin penangkapan ikan tanpa membunuh lumba-lumba.
Tapi apa iya benar? Ternyata ada organisasi Earth Island Institute di balik label sertifikasi “Dolphin Safe.” Ketika Tabrizi mewawancarai salah satu anggota Dolphin Safe/Earth Island Institute, mereka ternyata tidak dapat menjamin bahwa setiap kaleng aman dan bebas dari pembunuhan lumba-lumba.
Setelah diselidiki, ternyata yang mereka lakukan hanyalah mempercayai begitu saja catatan kapten kapal nelayan. Ini fakta baru, di mana label makanan laut yang diakui secara internasional terbukti adalah penipuan, karena sebenarnya label itu tidak menjamin apa-apa.
LSM Antiplastik
Fakta keempat, adalah mengenai keterlibatan LSM antiplastik dalam industri perikanan global. Temuan mengenai “tangkapan sampingan” dari penggunaan pukat besar, yang mengorbankan berbagai satwa laut lainnya, membuat Tabrizi semakin penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini?
Tabrizi bertanya-tanya, kenapa LSM antiplastik yang ia amati selama ini tidak pernah mengkampanyekan masalah penjaringan dan penangkapan ikan di laut? Mereka selalu mengajak masyarakat untuk berhenti menggunakan sedotan dan plastik, tetapi tidak pernah menyinggung sama sekali soal jaring ikan.
Padahal sebanyak 46% limbah di laut adalah dari jaring ikan dan alat tangkap ikan. Jaring ikan yang dibuang di laut jauh lebih berbahaya untuk satwa laut dibandingkan sampah plastik, karena jaring ikan memang dirancang untuk membunuh.
Ketika Ali mewawancarai pendiri LSM Plastic Pollution Coalition, nara sumber itu enggan membahas masalah limbah jaring dan alat tangkap ikan. Bahkan, dia terlihat sangat emosional ketika ditanya soal masalah tersebut dan meminta Tabrizi mematikan kameranya. Tentu hal ini membuat Tabrizi semakin penasaran dengan apa yang sebenarnya mereka tutup-tutupi.
Hanya satu pilihan Tabrizi, yaitu menelusuri aliran dana LSM Plastic Pollution Coalition (PPC). Ketika ditelusuri, ternyata PPC adalah LSM yang sama dengan Earth Island Institute.
Earth Island Institute memiliki dua organisasi di bawahnya, yaitu PPC dan “Dolphin Safe,” organisasi yang bekerja sama dengan industri perikanan yang menjual makanan laut. Maka, tidak heran PPC tak mau membahas jaring ikan sebagai penyumbang sampah terbanyak di laut.
Industri Perikanan
Kampanye LSM untuk tidak menggunakan plastik, memang benar adanya. Tapi kenapa LSM ini tidak mengkampanyekan isu penjaringan ikan di laut? Padahal, tujuannya sama-sama untuk menyelamatkan kehidupan laut di dunia.
Ya, ternyata karena mereka memang dimodali oleh sebuah industri perikanan global. Mengkampanyekan “stop penggunaan jaring ikan” sama saja seperti mengkhianati pendonornya. Suatu saat aliran dana bisa saja dihentikan, ketika mereka sudah tidak loyal lagi pada pendonornya. Akhirnya, semua aktivitas LSM akan terhambat atau bahkan bisa saja bubar.
Sebenarnya, LSM tidak perlu khawatir, seandainya mereka tidak bergantung pada satu pendonor. Perlu diingat, lembaga donor tidak bisa kita lihat secara simplistis sebagai organisasi murni pembawa kebaikan. Mereka tak datang begitu saja dengan segudang uang, tanpa kepentingan.
Kasus seperti ini tak hanya terjadi pada LSM-LSM di luar negeri. Nyatanya, banyak kasus LSM di Indonesia yang memberlakukan standar ganda pada kepentingan tertentu. Ketergantungan LSM pada satu sumber pendanaan mengakibatkan hubungan yang tidak seimbang antara LSM dan lembaga donor.
Dalam posisi sebagai pendana tunggal, lembaga donor akan leluasa mengarahkan atau bahkan mendikte LSM yang didanainya. Dalam kondisi ketergantungan yang akut, LSM akan sulit mengangkat atau mengkampanyekan isu-isu lain di luar agenda dari lembaga donor. Perjuangan ke arah independensi memang adalah isu krusial bagi LSM di Indonesia ataupun di dunia internasional. (rio)