Jakarta, CSW – Gejala perilaku keagamaan yang eksklusif dan radikalisasi di lingkungan birokrasi (ASN) dan BUMN menunjukkan tren yang memprihatinkan. Oleh karena itu, patut dihargai ketika ada elemen-elemen civil society yang menaruh perhatian serius pada isu-isu tersebut. Hal ini mengingat potensi paham radikalisme yang merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal itu yang terpantau oleh CSW, ketika mengikuti diskusi webinar yang diselenggarakan oleh Fokus Wacana UI bekerja sama dengan Posderat (Pos Moderasi & Deradikalisasi) di Jakarta, Sabtu (7/8/2021). Diskusi itu diikuti oleh sejumlah aktivis senior dari berbagai kalangan.
Di webinar yang dimoderatori Bob Randilawe itu hadir sebagai peserta: Hadidjojo Nitimihardjo, Suryo Susilo, Togap Marpaung, Anto Kusumayuda, Sulaiman Haikal, Rudy Suhendra, Pande K. Trimayuni, Dhia Prekasha Yoedha, Satrio Arismunandar, dan lain-lain.
Isu radikalisasi di kalangan ASN dan BUMN itu memang menimbulkan banyak pertanyaan, karena terkesan kurang tertangani dengan baik. Ada aktivis yang mengingatkan, adanya miskalkulasi dalam penanganan isu radikalisasi ini bisa menghasilkan kekeliruan pemosisian di pihak pemerintah.
Namun, salah seorang aktivis yang dekat dengan kalangan pemerintah menyatakan, pemerintah memiliki keterbatasan. Pemerintah tidak bisa jalan sendiri. Pemerintah butuh kalangan masyarakat sebagai mitra, untuk mendukung dan mendorong tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah. Perlu ada unsur masyarakat yang melakukan pemantauan dan pengaduan.
Jangan Malah Melemahkan
Ditambahkan, birokrasi dan BUMN banyak yang terpapar unsur radikalisme. Namun, seolah-olah ada pihak-pihak yang melemahkan sikap tegas pemerintah, ketika mau melakukan law enforcement.
“Sangat diharapkan agar elemen masyarakat jangan justru memberi feedback yang melemahkan posisi pemerintah. Seperti, menuduh pemerintah melanggar HAM, dan sebagainya. Padahal, justru yang radikal itu yang melanggar HAM,” ujar aktivis tersebut.
Seorang peserta diskusi menambahkan, sampai tahap tertentu sebetulnya biasa saja jika ada kepentingan politik yang bermain di birokrasi. Misalnya, ada kementerian yang “dikuasai” partai tertentu. Dulu pernah Kementerian Pertanian “dikuasai” PKS. Namun, jika sudah mengganggu Pancasila dan kepentingan nasional, tentu tidak boleh dibiarkan.
Yang lebih parah, fenomena ini bukan cuma terjadi di birokrasi dan BUMN, tetapi kalangan purnawirawan TNI juga digarap. Paham agama yang transnasional itu pendekatannya adalah surga-neraka. Bagi para purnawirawan yang sudah tidak punya kesibukan, yang kerjanya cuma memantau media sosial dan mengejar akhirat, bisa saja terpapar radikalisme. Hal ini diungkapkan oleh sumber dari kalangan purnawirawan sendiri.
Di dunia pendidikan juga ada gejala yang memprihatinkan. Di sejumlah lembaga pendidikan negeri, siswa yang masih kecil dididik dan diajari perilaku keagamaan yang eksklusif. Ini bukan hal baru di sekolah-sekolah berbasis agama, tetapi sangat memprihatinkan jika terjadi di sekolah negeri. Pendidikan harus dikembalikan ke-khittah-nya, seperti yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara.
Tak Cukup Reformasi Birokrasi
Hal-hal seperti ini tidak bisa diselesaikan dengan sekadar menggelindingkan reformasi birokrasi, karena reformasi birokrasi itu tidak menyentuh nilai-nilai Pancasila. Saat ini di tengah situasi pandemi, birokrasi sangat berperan dalam menggerakkan ekonomi. Tetapi gotong royong dan sinergi di antara kementerian-kementerian tidak terjadi.
Para pejabat di birokrasi harus mengubah pola pikir dan pola tindak mereka, yang tidak kondusif bagi kemajuan dan perbaikan. Jika perilaku mereka tidak berubah, mereka hanya akan memberi angin bagi munculnya ajaran-ajaran dan “prinsip-prinsip alternatif” terhadap Pancasila. Alternatif-alternatif ini menguat, karena Pancasila dianggap gagal mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.
Survei Alvara juga disebut dalam webinar itu. Seperti dilaporkan CNN Indonesia (Maret 2018), survei Alvara Research Center menemukan ada sebagian milenial atau generasi kelahiran akhir 1980-an dan awal 1990-an, setuju pada konsep khilafah sebagai bentuk negara. Survei dilakukan terhadap 4.200 milenial, yang terdiri dari 1.800 mahasiswa dan 2.400 pelajar SMA di Indonesia.
Mayoritas milenial memang memilih Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara. Namun, ada 17,8 persen mahasiswa dan 18,4 persen pelajar, yang setuju khilafah sebagai bentuk negara ideal sebuah negara.
Paparan konservatisme dan radikalisme di kalangan milenial tak lepas dari konsumsi internet yang sangat tinggi dari kelompok usia yang lahir pada era 1990-an awal ini. Bibit konservatif itu akan berbahaya jika millenial tidak dikawal dalam bermedia sosial, yang banyak mengandung konten radikalisme. (rio)