Jakarta, CSW – Greenpeace Indonesia dilaporkan ke polisi. Mereka diadukan karena dituduh melanggar UU ITE. Ini dikarenakan komentar mereka terhadap pidato Presiden Jokowi di KTT Iklim di Glasgow.
Greenpeace bilang pidato Presiden itu omong kosong. Dalam siaran persnya, mereka membantah pernyataan Presiden bahwa deforestasi di Indonesia menurun. Lantas mereka menyajikan data yang seolah-olah menunjukkan penggundulan hutan di Indonesia terus naik.
Masalahnya, Greenpeace tidak jujur. Yang mereka gunakan sebagai data deforestasi adalah yang terjadi di era sebelum Jokowi. Kalau mereka jujur dan menggunakan data sejak 2015, kelihatan sekali deforestasi di Indonesia menurun signifikan.
Penurunannya sangat jelas kok. Di tahun 2015, di tahun pertama Jokowi jadi Presiden, penggundulan hutan mencapai 1,1 juta hektar. Itu tentu saja adalah warisan pemerintahan SBY.
Tapi sejak saat itu, angkanya terus menurun tajam. Bahkan pada 2019-2020, penggundulan hutan di Indonesia tinggal 115 ribu hektar pertahun.
Jadi nggak bisa dong pernyataan Jokowi dianggap sebagai omong kosong. Apa yang dilakukan Greenpeace ini memang memalukan. Padahal nama mereka sudah besar.
Tahun ini, Greenpeace Internasional baru saja merayakan ulangtahun ke-50. Mereka bisa dibilang salah satu LSM terpenting di dunia. Karena itu agak menyedihkan kalau Greenpeace sampai merasa perlu memanipulasi data seperti ini.
Tapi, di sisi lain, kita sebenarnya juga tidak perlu kaget dengan gaya mereka.
Di Indonesia, sikap Greenpeace sudah tidak bisa dibilang kritis. Mereka terkesan bersedia melakukan langkah apapun untuk menyerang pemerintah. Pokoknya apapun yang dilakukan pemerintah, salah dan perlu dihajar.
Greenpeace kelihatan sekali seperti ingin menjatuhkan reputasi pemerintah Indonesia di mata dunia.
Jadi, walaupun pemerintah Indonesia sudah melakukan banyak hal, ini tetap tidak akan dihargai. Kampanye internasional mereka yang paling menonjol adalah soal kelapa sawit.
Secara terus menerus, Greenpeace melakukan kampanye yang menyerang kelapa sawit Indonesia. Greenpeace misalnya melancarkan kampanye dengan judul “Minyak Sawit Kotor.” Kampanye itu dilancarkan bukan hanya di dalam negeri, tapi terutama di luar negeri.
Tujuan utama mereka adalah menstop ekspor minyak sawit Indonesia ke pasar internasional. Mereka nampaknya berharap dunia internasional memboikot penjualan minyak sawit dari Indonesia.
Ada beberapa narasi yang mereka kembangkan. Pertama, minyak sawit Indonesia dianggap Kotor karena diperoleh dari hasil merusak hutan. Kedua, minyak sawit di Indonesia dianggap melanggar komitmen deforestasi.
Ketiga, minyak sawit Indonesia dianggap melanggar komitmen penghentian pembukaan dan pengeringan lahan gambut. Keempat, minyak sawit Indonesia dianggap diperoleh dengan pelanggaran HAM, eksploitasi buruh, diskriminasi, dan perampasan lahan masyarakat adat.
Apa yang dituduhkan Greenpeace itu memang lazim terjadi di masa lalu. Namun sejak di masa pemerintahan Jokowi, sudah banyak sekali perbaikan dilakukan.
Sedihnya, hal itu diabaikan oleh Greenpeace. Mereka terus menyuarakan kampanye bahwa industri minyak sawit Indonesia adalah Minyak Sawit Kotor. Dan itu terus-menerus mereka ulang ke dunia internasional.
Mereka bahkan tidak segan memasang iklan di media massa internasional untuk memperjuangkan isu tolak sawit Indonesia ini. Kampanye Minyak sawit Kotor ini kemudian digunakan musuh-musuh Indonesia dalam persaingan industri minyak nabati dunia.
Mereka bersorak dan berharap ekspor minyak sawit Indonesia bisa dihabisi. Sejumlah supermarket di Eropa saja sudah menyatakan menolak semua produk yang dibuat dengan bahan minyak sawit.
Banyak negara di Eropa yang juga menerapkan berbagai hambatan nontarif untuk menghambat masuknya minyak kelapa sawit Indonesia. Misalnya saja dengan menetapkan standar kelayakan tinggi yang menjadikan biaya pengolahan minyak sawit semakin tinggi.
Memang sih, tidak semua negara-negara asing itu termakan dengan kampanye Greenpeace. Beberapa waktu yang lalu, lembaga pengawas iklan televisi di Inggris melarang iklan kampanye anti-sawit dari Greenpeace.
Larangan itu diberikan mengingat Greenpeace dianggap memiliki ‘misi politik’. Dengan kata lain, organisasi ini dianggap tidak murni memperjuangkan lingkungan hidup, tapi dianggap sebagai organisasi yang berpolitik.
Ini tentu saja tidak membuat semangat Greenpeace berkurang. Greenpeace terus melancarkan serangannya. Enam aktivis Greenpeace, termasuk dari Indonesia, juga pernah ramai diberitakan karena tiba-tiba naik ke sebuah kapal di teluk Spanyol.
Di kapal itu mereka lantas melakukan aksi protes, karena kapal itu membawa produk minyak kelapa sawit yang merusak hutan di Sumatra.
Jadi, terlihat sekali Greenpeace habis-habisan berusaha menghajar industri sawit di Indonesia.
Ini jadinya menimbulkan pertanyaan. Kenapa mereka melakukannya? Ini kritis atau ada kepentingan lain? Kalau cuma kritis, kok sampai harus memanipulasi data?
Kalau kritis, kok Greenpeace tidak mengakui adanya langkah-langkah positif dari pemerintah. Dan sikap Greenpeace ini menjadi sangat mengganggu, karena industri sawit ini memiliki nilai yang sangat positif bagi Indonesia.
Indonesia adalah salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia. Nilai ekonomi industri kelapa sawit mencapai Rp750 triliun per tahun dan menyerap lebih dari 5 juta tenaga kerja.
Rp300 triliun disumbang dari devisa ekspor. Minyak kelapa sawit digunakan untuk memproduksi beragam barang konsumen yang dipasarkan di seluruh dunia. Minyak kelapa sawit digunakan untuk pengolahan dan pembuatan permen, margarin, selai, cokelat, es krim, sabun, kue kering, deterjen, mi instan, lipstick, biodiesel.
Dan dibandingkan dengan minyak nabati, kelapa sawit jauh lebih efisien dalam hal kebutuhan lahan, pupuk, dan pestisida. Minyak kelapa sawit juga bisa membuat selai lebih mudah dioles, permen menjadi kenyal, dan es krim menjadi lembut.
Selain itu, minyak kelapa sawit juga bebas lemak trans berbahaya yang merupakan sumber utama kolesterol tinggi. Lebih dari itu, hampir 50% sumber bahan baku hilir sawit berasal dari perkebunan rakyat.
Jadi dilihat dari berbagai sisi, industri minyak sawit ini akan membawa kesejahteraan luas bagi Indonesia.
Memang ada persoalan lingkungan, tapi pemerintah Jokowi terus meresponsnya dengan beragam langkah yang diperlukan. Sebagai contoh, pada 2019 pemerintah mengeluarkan moratorium pembukaan hutan baru.
Pemerintah juga mengeluarkan berbagai standar operasi yang harus dipatuhi dalam pengelolaan kebun kelapa sawit, untuk memenuhi prinsip-prinsip perlindungan lingkungan. Mungkin belum optimal, namun terus dilakukan.
Karena itu, memang memprihatinkan kalau Greenpeace terus melancarkan kampanye anti kelapa sawit Indonesia. Bila Greenpeace memang peduli pada kesejahteraan rakyat Indonesia, hentikanlah kampanye itu.
Para aktivis Greenpeace barangkali tidak perlu dipenjara. Tapi tolonglah berpihak pada rakyat Indonesia. Bukan kepada kepentingan mereka yang ingin menghabisi industri sawit Indonesia.