Jakarta, CSW – Wartawan Indonesia itu terkadang berperilaku manja. Mereka maunya serba enak saja. Yang lebih buruk lagi, wartawan itu tidak mengerti tugas pokok profesinya. Karena nggak paham, dia tidak tahu bagaimana mesti memposisikan diri dengan pemerintah.
Hal ini berkaitan dengan adanya usulan dari sekelompok wartawan. Usulnya, agar wartawan yang telah dinyatakan kompeten, mendapat gaji atau tunjangan dari pemerintah. Maklum, bisnis media sedang sulit karena pandemi Covid-19 dan sebab-sebab lain.
Padahal, wartawan melalui medianya berperan penting menyebarkan informasi. Juga mensosialisasikan berbagai program strategis pemerintah. Jadi, kelompok wartawan ini beranggapan, wajar jika ada gaji atau tunjangan buat wartawan dari pemerintah.
Tentu, bukan buat semua wartawan, karena jumlahnya akan banyak sekali. Tetapi buat sebagian wartawan, yang sudah dinyatakan kompeten oleh Dewan Pers. Ukuran kompeten adalah mereka sudah lulus uji kompetensi wartawan. Usulan ini kedengarannya seperti angin surga buat sejumlah wartawan.
Jika pemerintah setuju dan mengabulkannya, pasti rasanya nikmat sekali. Kapan lagi akan ada tunjangan gratis seperti itu? Modal untuk memperoleh tunjangan pun tidak berat. Cukup dengan lulus uji kompetensi wartawan.
Uji kompetensi itu biasanya diadakan oleh organisasi profesi wartawan. Seperti: Persatuan Wartawan Indonesia, dan Aliansi Jurnalis Independen. Juga, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Pewarta Foto Indonesia, dan sebagainya. Hasil uji kompetensi wartawan itu lalu disahkan oleh Dewan Pers.
Menyadari isu ini cukup serius, organisasi profesi wartawan pun memberi respons. Persatuan Wartawan Indonesia atau PWI Pusat mengadakan rapat, awal Juli lalu. Dalam rapat itu, Ketua Umum PWI Pusat, Atal S Depari, menolak tegas usulan itu.
Pimpinan PWI menyebut, ide tunjangan untuk wartawan oleh pemerintah itu keliru. Bahkan gagasan itu bisa berkembang menjadi isu yang liar. Ketua Dewan Kehormatan PWI, Ilham Bintang, pun bersuara. Kata Ilham, usulan itu bertentangan dengan isi Undang-undang Pers No.40 tahun 1999.
Undang-undang itu menyebutkan, fungsi pers dan wartawan salah satunya adalah melakukan kontrol sosial. Pihak yang dikontrol antara lain adalah penguasa atau Pemerintah. Kode Etik Jurnalistik, yang mengatur cara pemberitaan dan perilaku jurnalis, juga punya spirit yang sama.
Kode Etik itu tegas melarang wartawan menerima sesuatu apapun dari sumber berita. Para pejabat pemerintah adalah termasuk sumber berita. Jadi, wartawan yang menerima tunjangan pemerintah merupakan pelanggaran berat.
Bagaimana fungsi kontrol bisa jalan, jika wartawan menerima gaji atau tunjangan dari pihak yang mau dikontrolnya? Rapat Dewan Kehormatan PWI menilai, usulan ini terlontar dari segelintir wartawan yang memiliki pikiran sesat.
Usulan itu, kata PWI, jelas bertentangan dengan tuntutan dasar profesi wartawan. Wartawan harus menyampaikan kebenaran apa adanya. Untuk menyampaikan kebenaran, wartawan harus bebas dan independen. Terutama, bebas dari intervensi dan kepentingan penguasa.
Anggota Dewan Pers, Tri Agung Kristanto, juga menyuarakan hal yang sama. Dewan Pers menolak semua hal, yang berpotensi mengurangi independensi profesi wartawan. Meskipun, Tri Agung sepakat tentang satu hal. Yakni, tugas pengembangan lembaga pers harus tetap dilakukan bersama.
Artinya, dilakukan oleh seluruh komponen bangsa. Dalam kaitan ini Atal menyebut, ada bantuan dari pemerintah pusat maupun daerah. Bantuan ke lembaga pers itu dapat terus dilanjutkan. Yakni, dalam upaya pengembangan institusi pers secara keseluruhan.
Bantuan itu diharapkan dalam bentuk program. Misalnya, seperti uji kompetensi wartawan, pendidikan wartawan, dan sebagainya. Jadi yang dibantu adalah institusi, bukan personal wartawannya, tegas Atal. Dalam rapat PWI, diakui adanya beban berat yang ditanggung insan pers akhir-akhir ini.
Khususnya, beban akibat adanya pandemi COVID-19 selama dua tahun terakhir. Banyak media gulung tikar, tak kuat bertahan. Padahal Undang-Undang Pers menegaskan, lembaga pers harus mampu menghidupi dan menjaga kesejahteraan wartawan. Hal ini tak bisa dianggap remeh.
Karena, wartawan yang tidak sejahtera akan sulit menjaga idealismenya. Wartawan yang kembang-kempis nafkahnya, juga sulit dituntut bersikap profesional. Di sinilah letak tantangan bagi perusahaan media. Ada fungsi ekonomi yang tetap harus dipenuhi.
Namun, dalam pelaksanaan fungsi ekonomi itu, pers dan wartawan tetap harus menjaga integritasnya. Pers yang bebas adalah bagian dari civil society. Maka, fungsi pers hakikatnya merupakan salah satu instrumen demokrasi.
Itulah sebabnya, pers harus terus dijaga independensinya. Menurut Atal, bantuan pemerintah kepada pers bisa dalam bentuk pengurangan pajak. Atau, bisa juga dalam bentuk program-program kemitraan lainnya. Singkat kata, masih banyak pekerjaan rumah untuk pers Indonesia. Mereka harus profesional, bebas dan independen. Ayo kita dorong pers Indonesia, agar selalu menjaga independensinya!