Baru saja memasuki tahun baru 2022, kita kembali dikejutkan dengan 2 kasus kekerasan seksual. Pertama, kasus kekerasan seksual berupa tindak pemerkosaan, yang menimpa mahasiswi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta oleh aktivis mahasiswa BEM UMY. Kedua, kasus yang dilakukan oleh seorang anak anggota DPRD Riau kepada siswi SMP, yang baru berusia 15 tahun.
Pada 2021, berdasarkan data statistik yang diperoleh melalui KemenPPPA, per November 2021 jumlah kekerasan seksual mencapai 12.566 kasus, di mana 51% di antaranya terjadi di lingkungan pendidikan.
Melihat serangkaian kasus dan data kekerasan seksual yang ada, tentunya sangat dibutuhkan payung hukum, yang mampu melindungi dan menjadi jaminan bagi para korban kekerasan seksual. Untuk itulah, RUU TPKS (Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) hadir.
RUU TPKS tidak hanya mengatur definisi pidana kekerasan seksual dan hukumannya, namun juga mengatur penanganan dan pemulihan korban. Bahkan, Draft RUU TPKS juga mengatur tentang kekerasan seksual digital atau elektronik, yang berisi ancaman hukuman bagi pelaku penyebarluasan segala bentuk media bermuatan seksual yang berbasis elektronik.
RUU TPKS merupakan perubahan dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang diusulkan Badan Legislatif (Baleg DPR). Sayangnya, menurut pengamatan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS), terdapat 85 pasal kekerasan seksual yang krusial justru dipangkas di RUU TPKS ini.
“Draf lama (RUU PKS) lebih komprehensif mengatur penanganan kekerasan seksual. Mulai dari pencegahan sampai pemulihan korban. Termasuk tindak pidana, dan bagaimana pelaku bisa kembali ke masyarakat tanpa mencederai hak-hak korban. Ini yang tidak diatur dalam RUU TPKS,” kata perwakilan KOMPAKS, Naila Rizqi Zakiah, 7 September lalu.
Sebenarnya, RUU TPKS ini sudah lama dibuat DPR sejak 2016. Namun, kebijakan ini nyatanya mandek dan tidak terealisasi selama 4 tahun, sampai akhirnya pada 2020 kembali dibahas.
Sampai saat ini, RUU TPKS mengalami hambatan dalam pengesahan, dan masih menjadi draft final karena belum melewati tahapan di Badan Musyawarah (Bamus). Ditambah lagi banyaknya tentangan dari berbagai pihak, yang menjadi kendala RUU TPKS ini disahkan.
Pihak yang paling vokal dalam menentang adanya RUU TPKS adalah fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera). PKS berdalih, RUU TPKS masih memuat frasa sexual consent atau hubungan seks yang tidak dilarang meski di luar nikah, asalkan dengan syarat suka sama suka.
Sikap seperti PKS ini menunjukkan, pihak-pihak yang menolak RUU TPKS tidak mempedulikan nasib perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
Sejauh ini pemerintah terus berupaya mendorong percepatan pembahasan RUU TPKS, dengan membentuk gugus tugas. Gugus tugas ini beranggotakan Kemenkum dan HAM, Kantor Staf Presiden, Kementerian Agama, Kejaksaan, Kepolisian, dan instansi terkait lainnya.
Kegiatan yang sudah dilakukan gugus tugas ini, yakni mendorong DPR melalui Badan Legislasi (Baleg) DPR, untuk cepat menyelesaikan RUU TPKS di kubu internal DPR. Sehingga dapat dilakukan pembahasannya, serta membuat Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terlebih dahulu.
Memang, proses perumusan RUU TPKS terkesan “molor,” sampai-sampai Presiden Jokowi harus turun tangan, untuk mendesak DPR agar RUU TPKS ini dapat disahkan sesegera mungkin.
Saat ini Indonesia sudah masuk zona darurat kekerasan seksual. Banyak sekali perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan seksual, baik secara fisik maupun psikis. Mari bersama kita kawal pengesahan RUU TPKS, agar kasus kekerasan seksual di masyarakat tidak semakin merajalela! #