Jakarta, CSW – Sebuah deklarasi digalang pada Jumat, 15 Juli lalu di Masjid Al Azhar, Jakarta Selatan. Deklarasi tersebut diberi nama Gerakan Nasional Anti Islamofobia atau GNAI.
Beberapa nama inisiator atau pendiri GNAI sudah dikenal publik dan sering muncul di media. Mereka antara lain: Wakil Ketua MUI Anwar Abbas, Sekjen PP Syarikat Islam Ferry Juliantono.
Juga, musisi Ahmad Dhani, Habib Mukhsin, Ustadz Umar Husein, Refly Harun, hingga Ustadz Alfian Tandjung. Hadir juga di deklarasi: Tokoh PKS Hidayat Nur Wahid, Ketua Persaudaraan Alumni 212 Slamet Maarif, Wakil Ketua Partai Ummat Buni Yani.
Juga, Ketua Umum Partai Masyumi Reborn Ahmad Yani, Mustofa Nahrawardaya, Hatta Taliwang, dan lain-lain. Sejumlah tokoh juga memberikan testimoni lewat video yang di tayangkan di lokasi acara.
Antara lain Ustadz Abdul Somad dan Ketua Umum PP Syarikat Islam Hamdan Zoelva. Deklarasi dan pernyataan sikap GNAI dibacakan oleh Presidium Ferry Juliantono. Ferry mengatakan, pasca-era perang dingin, dunia Barat menggeser sumber ancaman dari komunisme ke Islam.
Anncaman ini termanifestasi dalam bentuk radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme. Menurut Ferry, kondisi itu mengakibatkan munculnya stigma terhadap ajaran Islam. Islam dianggap ajaran yang berbahaya dan menakutkan atau dikenal sebagai Islamofobia.
Namun, kata Ferry, kini muncul kesadaran baru. Kesadaran baru itu diwujudkan dalam pencanangan hari Anti Islamofobia se-Dunia pada 15 Maret 2022 oleh PBB. Kesadaran baru ini diikuti oleh berbagai negara, khususnya negara Barat.
Dari sini, Ferry anehnya melontarkan tudingan kepada pemerintah Indonesia. Menurutnya, kekuasaan di Indonesia saat ini masih membiarkan Islamofobia berkembang. Karena itulah, pihaknya mendeklarasikan berdirinya GNAI.
Deklarasi GNAI ini sebetulnya boleh-boleh saja. Tetapi ketika tudingan Islamofobia diarahkan ke pemerintah Indonesia, jadi terasa aneh dan mengada-ada. Per definisi, istilah fobia biasanya digunakan untuk pengidap gangguan psikologis.
Pengidap fobia menunjukkan ketakutan atau kebencian berlebihan, yang tidak beralasan, terhadap sesuatu hal. Ada yang takut pada serangga, takut ruang sempit, atau takut keramaian. Maka, Islamofobia adalah ketakutan, kebencian, atau prasangka berlebihan yang tidak beralasan.
Baik terhadap agama Islam atau Muslim pada umumnya. Misalnya, itu dikaitkan dengan Islam sebagai kekuatan geopolitik atau sumber aksi terorisme. Yang biasa terjadi, fenomena ini muncul di negara di mana populasi Muslim adalah minoritas.
Misalnya, di negara-negara Eropa Barat atau Amerika Serikat. Tetapi Islamofobia tidak ujug-ujug muncul begitu saja dari ruang hampa. Islamofobia biasanya terkait dengan masalah-masalah sosial lainnya, yang ada di negara bersangkutan.
Misalnya, banjirnya pengungsi Muslim dari daerah konflik dari Timur Tengah atau Asia. Kehadiran mereka dituduh menghabiskan dana sosial oleh warga di negara-negara penampung pengungsi.
Kemudian ada soal persaingan ekonomi dan rebutan lahan mencari nafkah. Imigran Muslim dituding merampas atau menggerogoti lapangan kerja warga lain setempat. Atau, komunitas imigran Muslim yang dianggap tidak mau membaur.
Juga tidak mau menerima nilai-nilai dan budaya setempat. Bahkan komunitas Muslim ini menuntut pemberlakuan hukum Syariah Islam. Padahal posisi mereka adalah minoritas. Dan, kejadian yang sangat mewarnai munculnya Islamofobia adalah serangan teroris.
Khususnya serangan 11 September 2001 ke Gedung WTC, New York, Amerika. Sekitar 3.000 orang tewas dalam serangan itu, sedangkan 25.000 lainnya luka-luka. Serangan ini memunculkan reaksi keras pemerintah Amerika.
Ini memunculkan program perang melawan teror, War on Terror. Berujung ke invasi militer ke Irak dan pendudukan di Afganistan. Tetapi semua itu tidak terjadi di Indonesia. Di negeri ini, Islam adalah agama mayoritas.
Dasar Negara Pancasila selaras dengan Islam dan sejak awal didukung oleh para tokoh Islam. Presiden, Wakil Presiden, Panglima TNI, Ketua DPR, Ketua MPR, semuanya Muslim. Wakil Presiden bahkan mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia.
Umat Islam bebas menjalankan semua ibadah dan ritual agama. Kementerian Agama memfasilitasi ratusan ribu jamaah haji ke Makkah tiap tahun. Pemerintah membantu pembangunan masjid-masjid di seluruh negeri.
Umat Islam bebas melamar menjadi pegawai negeri dan memegang jabatan apapun. Lalu letak Islamofobia nya di mana? Dua ormas Islam terbesar dan mainstream, NU dan Muhammadiyah, tak pernah bilang ada Islamofobia.
Maka Guru Besar Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Noorhaidi Hasan mengkritik narasi Islamofobia itu. Noorhaidi memandang, narasi Islamofobia itu sebagai fitnah terhadap pemerintah.
Islamofobia menjadi istilah yang cukup populer digunakan kelompok radikal beberapa waktu belakangan ini. Narasi ini muncul untuk memfitnah pemerintah. Pemerintah dituding sebagai aktor yang berusaha memecah belah umat Islam di Indonesia.
Noorhadi menilai, narasi Islamofobia belakangan ini tak lebih dari pertarungan kepentingan politik. Islamofobia hanya dijadikan framing oleh kelompok yang tidak suka pada pemerintah, kata Noorhadi, Februari lalu.
Noorhadi pun memperingatkan, narasi dan tudingan Islamofobia terhadap pemerintah ini tak boleh dibiarkan. Sebab bisa menimbulkan perpecahan dan kebingungan di tengah masyarakat. Ayo kita lawan narasi Islamofobia yang memecah belah tersebut!