Jakarta, CSW – Ada Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang kabarnya akan disahkan dalam bulan-bulan ini. Menurut bocoran, dalam RUU KUHP itu ada pasal yang memuat ancaman pidana bagi masyarakat yang menghina pemerintah. Ancamannya, bila penghinaan dilakukan secara lisan, adalah penjara 3 tahun.
Bila penghinaan dilakukan melalui media massa dan media sosial, ancamannya menjadi empat tahun. Menurut kami di CSW, ini adalah sebuah langkah mundur bagi demokrasi. Bila pasal ini gol, masyarakat akan takut untuk mengeritik pemerintah. Padahal kontrol masyarakat adalah hal yang penting bila kita ingin pemerintah bekerja dengan baik.
Kita bisa melihat pengalaman masa lalu. Semula di KUHP memang ada pasal pelarangan penghinaan terhadap pemerintah dan presiden. Di era Orde Baru, pasal ini sangat biasa digunakan oleh pemerintah untuk membungkam mereka yang berani mengeritik pemerintah. Sekadar catatan isi KUHP ini memang merupakan warisan hukum yang berlaku di era pemerintahan Belanda.
Ada dua pasal yang bisa membungkam suara kritis masyarakat. Pertama pelarangan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Ancamannya 6 tahun penjara. Kedua, pelarangan permusuhan, kebencian dan penghinaan terhadap pemerintah. Ancamannya tujuh tahun penjara.
Dengan adanya pasal ini, pemerintah bisa menangkapi warga yang berani mengecam pemerintah dengan kata-kata yang keras. Setelah reformasi, pasal ini semula masih digunakan. Di era Presiden Megawati, ada wartawan yang harus dihukum pidana karena dianggap menghina Presiden.
Wartawan Rakyat Merdeka tersebut menulis besar-besar di headline korannya bahwa mulut Megawati bau solar dan Megawati kejam seperti Sumanto. Megawati marah, sehingga si wartawan akhirnya harus masuk penjara. Pasal itu kemudian digugat ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap bertentangan dengan UUD 45.
Dalam UUD 45, ada jaminan atas kebebasan warga berpendapat dan menyebarkan informasi. Gugatan itu dikabulkan. Akibatnya, pada 2017, MK menghapus kedua pasal tersebut dari KUHP. Karena itulah, kami katakan, kalau sekarang pasal-pasal tersebut dihidupkan kembali, itu adalah langkah mundur bagi demokrasi Indonesia.
Kami menganggap sebaiknya pasal penghinaan pemerintah itu tidak dihidupkan kembali. Kalau kita ingin Indonesia maju, kita memerlukan pemerintah yang kuat, yang percaya diri, meski dicaci maki rakyatnya. Pemerintah yang memimpin Indonesia tidak boleh lemah, tidak boleh cengeng hanya karena dihina.
Di semua negara demokrasi, tidak ada larangan bagi warga untuk menghina pemerintah. Ini terjadi karena pemerintah pada dasarnya adalah pelayan masyarakat. Pemerintah dipilih oleh masyarakat untuk mengatur negara. Kalau kerja pemerintah tidak beres, pemerintah harus bersedia dimarah-marahi rakyat.
Begitu juga presiden dan DPR. Di Indonesia, kita sudah punya contoh tentang Presiden yang otoriter dan Presiden yang demokratis. Yang otoriter, ya Soeharto. Di masanya bahkan ada aturan bahwa media tidak boleh menyiarkan kabar negative mengenai keluarga Presiden.
Karena itu selama, Orde Baru, ada banyak media ditutup, ada banyak aktivis dan mahasiswa ditangkap. Mereka ditangkap hanya karena mereka berani mengecam pemerintah. Presiden Jokowi menunjukkan contoh sebaliknya. Dia jalan terus meski dicacimaki oleh musuh-musuhnya.
Begitu juga keluarganya. Gibran dan Kaesang selama ini kenyang dihina. Tapi mereka cool saja. Kita bisa lihat bahwa kinerja pemerintah Jokowi jauh dari mengecewakan. Bahkan mereka yang menghinanya harus kecewa. Dan kita tidak melihat adanya kekacauan, konflik, atau kerusuhan yang diakibatkan oleh penghinaan terhadap pemerintah.
Jadi prinsipnya, kalau pemerintah bekerja baik, pemerintah tidak perlu risau dengan penghinaan. Kalau hasil kerjanya baik, apapun kata pengecamnya, pemerintah akan tetap didukung masyarakat. Tentu saja ini tidak berarti warga bisa mengatakan apapun tentang pemerintah.
Kalau fitnah dan pencemaran nama baik, tetap harus dilarang. Hinaan dan fitnah itu dua hal berbeda. Penghinaan itu contohnya disebut ‘bodoh’, ‘tidak becus’, ‘cebong’, ‘pembohong’, ‘bikin bangkrut Indonesia’ dan semacamnya. Atau wajah Jokowi dikarikaturkan menjadi pinokio, itu namanya penghinaan.
Sementara masuk dalam kategori fitnah adalah kalau Presiden disebut ‘korupsi’, ‘anak PKI’, atau ‘memiliki saham di pertambangan’, dan sejenisnya. Kalau yang kedua ini memang bisa saja pelakunya dipidanakan. Tapi kalau cuma mengejek dan menghina, ya tidak apa apalah. Nah ini yang sekarang menjadi ancaman dalam RUU KUHP.
Kalau pasal pelarangan penghinaan ini nanti berlaku, masyarakat akan takut mengeritik pemerintah. Akibatnya, pemerintah akan menjadi kekuatan yang menjalankan kekuasaan dengan semena-mena. Memang kalimat dalam RUU KUHP itu dikataan juga bahwa yang dilarang adalah penghinaan terhadap pemerintah yang ‘berakibat pada terjadinya kerusuhan’.
Namun penggalan ‘berakibat pada terjadinya kerusuhan’ itu bisa ditafsirkan beragam. Misalnya saja bila terjadi keributan antar demonstran dan polisi yang diawali oleh kritik atau penghinaan terhadap pemerintah, maka orang yang mengeluarkan kritik akan berpeluang ditangkap. Karena itu kami menghimbau pada DPR dan pemerintah untuk membatalkan pasal penghinaan terhadap pemerintah. Kami juga menghimbau teman-teman masyarakat sipil untuk mengkritisinya.