KAWAL REVISI UU ITE YANG SUDAH MAKAN RATUSAN KORBAN!

157

Jakarta, CSW – Saat ini ada ancaman serius ke warga yang berani mengeritik dan memprotes dengan nada keras di media sosial. Sudah banyak orang yang bicara terbuka harus berurusan dengan polisi dan pengadilan.

Yang dipakai untuk membungkam hak orang bicara adalah UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Yang biasa digunakan adalah pasal tentang pencemaran nama baik dan penyebaran kebencian.

Karena batasan ‘pencemaran nama baik’ itu bisa sangat lentur, pasal itu bisa digunakan begitu saja untuk membungkam hak orang bicara. Lihat saja nih kasus mutakhir yang terjadi di Kabupaten Bogor.

Seorang pedagang pakaian dilaporkan dan ditahan polisi gara-gara memprotes Majelis Taklim Al-Busyro. Wahyu, nama pedagangnya dia itu memprotes majelis taklim yang meminta jemaahnya untuk membeli produk hanya dari toko dan warung yang masuk dalam jaringan majelis taklim itu.

Karena kebijakan itu, Wahyu kehilangan banyak pelanggan.
Ia pun lantas membuat konten di medsos yang mengeluhkan kebijakan Majelis Taklim itu. Sialnya nih, pimpinan Majelis membalas dengan melaporkan Wahyu ke polisi.

Wahyu sebenarnya sudah minta maaf secara terbuka, tapi nggak mengurangi kemarahan Majelis. Akibatnya Wahyu sempat ditahan dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Yang dilakukan Wahyu sebenarnya hal yang biasa saja dalam alam demokrasi.

Kata-katanya mungkin memang agak pedas, tapi itu bukan berarti ia sedang berusaha mencemarkan nama baik Majelis itu. Nah, apa yang terjadi dalam kasus Wahyu sering terjadi di Indonesia.

Karena sebenarnya banyak pihak bergembira waktu tahun 2021, Presiden Jokowi memerintahkan revisi UU ITE. Tapi ternyata usulan itu tidak langsung disambut DPR.
Selama dua tahun, rencana revisi UU itu terbengkalai.

Baru pada tahun ini, rencana itu dilanjutkan sejak bulan Mei. Masalahnya, pembahasan revisi UU itu tidak dilakukan secara terbuka. Dari Mei sampai 7 Juli 2023, Panitia Kerja RUU ITE sudah menggelar 12 kali rapat.

Tapi hanya 5 kali rapat yang diumumkan secara resmi di situs DPR. Bahkan pembahasan revisi UU bukan saja dilakukan secara tertutup, tapi juga tergesa-gesa dan mengabaikan masukan publik.

Padahal ini kan menyangkut kemasalahatan banyak orang. Selama ini UU ITE sudah menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat. Menurut sebuah LSM yang memberi perhatian pada kebebasan berbicara, SAFENET, sudah ada 500 warga Indonesia yang dijerat dengan pasal UU ITE.

Bahkan dalam jumlah kasus kriminalisasi hak berbicara terus meningkat. Pada 2022 saja, tercatat 97 kasus kriminalisasi UU ITE, dengan 107 korban, yang paling banyak melapor adalah institusi atau lembaga (48 kasus). Pejabat publik (10 kasus) dan warga (10 kasus).

Sejak 2013, yang dikriminalisasi mencakup: ibu rumah tangga, konsumen, buruh, jurnalis, aktivis, akademisi. Ada sejumlah LSM bergabung dalam upaya menolak pengesahan Revisi UU ITE, yaitu: PPMN, Jaring.id. SAFEnet dan Paku ITE.

Di dalam website mereka, semuabisakena.jaring.id, ditampilkan beragam kasus pemidanaan warga dengan menggunakan UU ITE. Ada contoh-contoh lain yang menunjukkan begitu banyaknya warga yang menjadi korban.

Misalnya pada Februari 2023, seorang warga bernama Dian Patria dituntut 2,5 tahun penjara dan denda Rp 750 juta karena dianggap mencemarkan nama baik saat menagih utang Rp 25 juta lewat media sosial. Dian hendak menagih uang ke Bayu Pambirat Angkoro pada November 2023.

Dian bolak-balik mendatangi rumah Bayu, tanpa hasil. Bayu selalu tidak ada di rumah. Merasa putus harapan, Dian menagih hutangnya di kolom komentar akun Facebook milik istri Bayu. Karena merasa terhina, istri Bayu pun menuntut balik Dian dengan menggunakan UU ITE.

Kemudian ada pula kasus pasangan Ghina dan Alwi. Mereka tertipu kerjasama berkedok bisnis ekspor biji kopi. Karena laporan mereka ke polisi ini nggak kunjung ditanggapi, Ghina mengunggah perkaranya ke Instagram.

Bukannya uang kembali, Ghina malah disomasi dan dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik. Ada lagi nih aktvis nelayan, Rusdianto yang dilaporkan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Ia dijatuhi hukuman 6 bulan penjara setelah berulang-ulang mengajukan banding sampai ke tingkat Mahkamah Agung. Rusdianto adalah Ketua Divisi Advokasi Buruh Tani dan Nelayan di PP Muhammadiyah.

Melalui akun Facebooknya dia menyebut kebijakan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan ugal-ugalan. Dia juga menulis bahwa ada bau korupsi di Kebijakannya. Gara-gara tulisan itu dia dilaporkan ke polisi dan selama empat tahun menjalani peradilan.

Begitu juga seorang warga Bernama Benni Eduward harus masuk penjara selama 8 bulan cuma gara-gara menyampaikan kritik terhadap pembayaran pajak kendaraan melalui Youtube. Ia dianggap melanggar pasal pencemaran nama baik menurut UU ITE.

Jadi memang banyak sekali kasus pemidanaan warga dengan menggunakan pasal-pasal karet di UU ITE. UU ITE ini dilahirkan pada tahun 2008, di tahun terakhir masa jabatan Presiden SBY.

Seperti terlihat dalam namanya, UU ini sebenarnya dibuat untuk mencegah terjadinya kejahatan di dunia internet, terutama yang terkait dengan soal bisnis dan transaksi elektronik. Tapi di saat-saat terakhir sebelum UU itu disahkan, pasal-pasal tentang pencemaran nama baik dan penyebaran kebencian dimasukkan Bahkan terkesan, pasal-pasal soal pencemaran nama baik dan penyeberan kebencian itu dipaksakan untuk masuk tanpa melalui proses melalui diskusi yang matang.

Tapi justru pasal-pasal yang dipaksakan masuk itulah yang akhirnya memakan banyak korban. Karena banyaknya kasus pemidanaan inilah, Presiden Jokowi meminta revisi UU ITE, dalam dua kali kesempatan.

Pertama kali revisi dilakukan pada 2015, hanya setahun setelah Jokowi menduduki jabatan kepresidenan. Tapi ketika itu revisi yang dilakukan hanya bersifat permukaan. Misalnya saja dalam revisi UU ITE 2016, lama penjara untuk kasus pencemaran nama baik diturunkan dari enam tahun menjadi empat tahun.

Juga dikatakan bahwa pasal pencemaran nama baik adalah delik aduan bukan delik umum.
Ternyata revisi UU pada 2016 itu tidak mengurangi gelombang pemidanaan warga. Setelah 2016 jumlah kasus pemidanaan warga dengan menggunakan UU ITE malah meningkat.

Karena itulah pada 2021, Presiden Jokowi meminta agar UU ITE direvisi kembali. Ketika itu secara tegas, Jokowi mengatakan UU ITE bisa direvisi apabila tidak memberi rasa keadilan di masyarakat.

Kita berharap bahwa revisi UU ITE kali ini benar-benar dapat melindungi hak warga untuk bicara. Untuk itu, proses revisi seharusnya dapat melibatkan partisipasi public yang tinggi.
Bila tidak, revisi UU ini tidak akan banyak berarti. Dalam alam demokrasi, hak berbicara masyarakat harus dilindungi.